KONSEP AHWAL
Mata
Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen
Pengampu : Safrudin Halimi, M.Ag

Disusun Oleh :
‘Ainy Nur
Syarifah (1401036021)
Sumber
:
Muhammad,
Hasyim, “Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002.
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
A.
Pengertian
Ahwal
Ahwal
adalah jamak dari hal yang berarti
keadaan atau situasi kejiwaan (state).
Secara terminologi Ahwal berarti
keadaan spiritual yang menguasai hati. Hal
masuk dalam hati seseorang sebagai anugerah dari Allah, hal datang dan pergi dari diri seseorang secara tiba-tiba dan
tidak disengaja. Sehingga kadangkala hal
datang pada diri seseorang dalam waktu yang cukup lama dan kadang datang hanya
sekejap. Hanya saja hal tidak datang dengan tanpa kesadaran namun
kedatangan hal bahkan harus menjadi
kepribadian seseorang.
Terlepas dari semua pengertian dan
karakteristik dari hal , banyak
kalangan yang menyatakan bahwa jika dipahami lebih dalam, pada dasarnya hal tidak lebih merupakan bagian dari
manifestasi tercapainya maqam sesuai
dengan hasil usaha spiritual yang sungguh-sungguh dengan amalan-amalan yang
baik dan dengan penuh kepasrahan kepada Allah. Sebab meskipun hal merupakan kondisi yang bersifat
karunia (mawahib) namun seseorang
yang ingin memperolehnya tetap harus melalui upaya dengan memperbanyak amalan
baik atau ibadah. [1]
Struktur Ahwal
a)
Muraqabah
Yang
dimaksud muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan
sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Sehingga segala daya
piker dan imajinasinya tertuju pada satu fokus kesadaran tentang dirinya. Lebih
jauh, muraqabah akan penyatuan antara Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai
manusia. [2]
Muraqabah
merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya segala perilaku
peribadatan adalah dalam rangka muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah.
Dengan kata lain muraqabah juga dapat diartikan sebagai kondisi kejiwaan, di
mana seorang individu senantiasa merasakan kehadiran Allah, serta menyadari
sepenuhnya bahwa Allah selalu mengawasi segenap perilaku hambanya. Dengan
kesadaran semacam ini, seorang hamba akan selalu mawas diri, menjaga diri untuk
tetap pada kualitas kesempurnaan penciptanya.
b)
Mahabbah
Mahabbah
(cinta), mengandung arti keteguhan dan kemantapan. Seorang yang dilanda rasa
cinta pada sesuatu tidak akan beralih atau berpaling pada sesuatu yang lain. Ia
senantiasa teguh dan mantap, serta senantiasa mengingat dan memikirkan yang
dicinta.[3]
c)
Khauf
Al-Qusyairi
mengemukakan bahwa khauf (takut)
terkait dengan kejadian yang akan datang. Yakni akibat datangnya sesuatu yang
dibenci dan sirnanya sesuatu yang dicintai. Takut kepada Allah berarti takut
terhadap hokum-hukumnya baik didunia maupun akhirat.[4]
Dengan
kata lain, seorang yang Khauf (takut),
adalah mereka yang berpikiran luas dan dalam jangka panjang ke depan, bukan
sosok yang berpikiran sempit dan untuk kepuasan sementara.
d)
Raja’
Sebagaimana
halnya dengan khauf (takut), raja’ (harapan) adalah keterikatan hati
dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang.[5]
Seorang yang mengharapkan sesuatu akan berupaya semaksimal mungkin untuk meraih
dan merealisasikan harapan-harapannya.
Ibnu
Khubaiq membagi harapan menjadi tiga :
1) Manusia
yang melakukan amal kebaikan, dengan harapan amal baiknya akan diterima oleh
Allah
2) Manusia
yang melakukan amal buruk, kemudian bertaubat, dengan harapan akan mendapatkan
ampunan dari Allah
3) Orang
yang menipu diri dengan terus-menerus melakukan kesalahan dengan mengharapkan
ampunan.[6]
Harapan
(raja’) akan membawa seseorang pada
perasaan optimis dalam menjalankan segala aktivitasnya, serta menghilangkan
segala keraguan yang menyelimutinya. Dengan demikian, ia akan melakukan segala
aktifitas terbaiknya dengan penuh keyakinan.
e)
Shauq
Rindu
(Shauq) merupakan luapan perasaan
seorang individu yang mengharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang
dicintai.[7]
Luapan perasaan kerinduan terhadap sesuatu akan menghapuskan segala sesuatu
selain yang dirindukan. Begitu pula seorang hamba yang dilanda kerinduan pada
Allah SWT akan terlepas dari segala hasrat selain Allah. Oleh karenanya sebagai
bukti dari perasaan rindu (shauq)
adalah terbebasnya diri seseorang dari hawa nafsu.[8]
f) Uns
Perasaan
suka cita (uns) merupakan kondisi
kejiwaan, di mana seorang merasakan kedekatan dengan Tuhan. Atau dalam
pengertian lain disebut sebagai pencerahan dalam kebenaran. [9]
seorang yang ada pada kondisi uns akan merasakan
kebahagiaan,kesenangan,kegembiraan serta sukacita yang meluap-luap. Kondisi
kejiwaan seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika merasakan kedekatan
dengan Allah. Yang mana, hati dan perasaanya diliputi oleh cinta, kelembutan,
keindahan serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga sangat sulit untuk
dilukiskan.
g) Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah
keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat mempengaruhinya. Ibnu
Qayyim membagi tuma’ninah dalam tiga tingkatan :
1)
Ketenangan hati dengan
mengingat Allah, yakni ketentraman seorang yang takut (kepada Allah) pada raja’, dan ketentraman orang yang
tertimpa bala pada karunia.[10]
2)
Ketentraman jiwa pada Khasf, ketentraman perindu pada batas
penantian, dan ketentraman perpisahan pada pertemuan.[11]
3)
Ketentraman menyaksikan
Tuhan pada kelembutan kasihnya, ketentraman pertemuan baqa’ (keabadian), dan ketentraman maqam pada cahaya keabadian.
Tingkatan ini berkaitan dengan konsep fana’
dan baqa’.[12]
h) Musyahadah
Penjelasan
mengenai musyahadah sering dikaitkan dengan uraian tentang muhadharah dan mukasyafah.
Muhadharah berarti kehadiran kalbu
dan mukasyafah adalah kehadiran kalbu
dengan sifat nyatanya, sedangkan musyahadah
adalah kehadiran al-haqq dengan tanpa dibayangkan.[13]
Orang
yang berada pada puncak musyahadah, kalbunya senantiasa dipenuhi oleh
cahaya-cahaya ketuhanan, sehingga ibarat kilatan cahaya di malam hari yang
tiada putus sama sekali, sehingga malam pun laksana siang hari yang nikmat.
Begitulah gambaran orang yang diselimuti cahaya ketuhanan dalam musyahadah.
i)
Yaqin
Al-yaqin
dalam terminologi sufi adalah merupakan perpaduan antara ‘ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin dan haqq al-yaqin. ‘ilm al-yaqin
dalam terminologi para ulama adalah sesuatu yang ada dengan syarat adanya
bukti. Sedangkan ‘ain al-yaqin,
sesuatu yang ada dengan disertai kejelasan. Haqq
al-yaqin, adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang menyertai
kenyataanya.
‘ilm al-yaqin,
dibutuhkan untuk mereka yang cenderung rasional. ‘ain al-yaqin, bagi para ilmuwan. Sedangkan haqq al-yaqin, bagi orang-orang yang ma’rifah.[14]
Jelasnya
al-yaqin adalah sebuah kepercayaan yang kuat dan tak tergoyahkan tentang
kebenaran pengetahuan yang dimiliki, karena penyaksiannya dengan segenap
eksistensinya.
[1] Prof. Drs. Rifa’I Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme,
Jakarta : Rajawali Pres, 1999, hlm. 132.
[2] Amatullah Armstrong, hlm.
197.
[3] Al-Qusyairi, hlm. 320.
[4] ibid, hlm. 125.
[5] Ibid., hlm. 132
[6] Ibid
[7] Al-Qusyairi, Op. Cit., hlm. 229.
[8] Ibid., hlm. 330.
[9] Digambarkan oleh
al-qusyairi, bahwa kondisi kejiwaan terendah dalam uns adalah ketika seorang
dilemparkan ke dalam neraka jahannam, namun tidak menghilangkan perasaan
sukacitanya. Al-Qusyairi, Op. Cit,
III, hlm. 60.
[10] Ibnu Qayyim, hlm. 534.
[11] Ibid., hlm. 539-540
[12] Ibid., hlm 540-1
[13] Al-Qusyairi, Op. Cit. hlm. 75.
[14] Ibid., hlm. 85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar