Senin, 21 November 2016

KONSEP AHWAL

KONSEP AHWAL
Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Safrudin Halimi, M.Ag
                                                         

      Disusun Oleh :
     ‘Ainy Nur Syarifah  (1401036021)
Sumber :
Muhammad, Hasyim, “Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar          Offset, 2002.

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

A.    Pengertian Ahwal
Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Secara terminologi Ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Hal masuk dalam hati seseorang sebagai anugerah dari Allah, hal datang dan pergi dari diri seseorang secara tiba-tiba dan tidak disengaja. Sehingga kadangkala hal datang pada diri seseorang dalam waktu yang cukup lama dan kadang datang hanya sekejap. Hanya saja hal  tidak datang dengan tanpa kesadaran namun kedatangan hal bahkan harus menjadi kepribadian seseorang.
            Terlepas dari semua pengertian dan karakteristik dari hal , banyak kalangan yang menyatakan bahwa jika dipahami lebih dalam, pada dasarnya hal tidak lebih merupakan bagian dari manifestasi tercapainya maqam sesuai dengan hasil usaha spiritual yang sungguh-sungguh dengan amalan-amalan yang baik dan dengan penuh kepasrahan kepada Allah. Sebab meskipun hal merupakan kondisi yang bersifat karunia (mawahib) namun seseorang yang ingin memperolehnya tetap harus melalui upaya dengan memperbanyak amalan baik atau ibadah. [1]

Struktur Ahwal
a)      Muraqabah
Yang dimaksud muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Sehingga segala daya piker dan imajinasinya tertuju pada satu fokus kesadaran tentang dirinya. Lebih jauh, muraqabah akan penyatuan antara Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai manusia. [2]
Muraqabah merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya segala perilaku peribadatan adalah dalam rangka muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kata lain muraqabah juga dapat diartikan sebagai kondisi kejiwaan, di mana seorang individu senantiasa merasakan kehadiran Allah, serta menyadari sepenuhnya bahwa Allah selalu mengawasi segenap perilaku hambanya. Dengan kesadaran semacam ini, seorang hamba akan selalu mawas diri, menjaga diri untuk tetap pada kualitas kesempurnaan penciptanya.
b)     Mahabbah
Mahabbah (cinta), mengandung arti keteguhan dan kemantapan. Seorang yang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan beralih atau berpaling pada sesuatu yang lain. Ia senantiasa teguh dan mantap, serta senantiasa mengingat dan memikirkan yang dicinta.[3]
c)      Khauf
Al-Qusyairi mengemukakan bahwa khauf (takut) terkait dengan kejadian yang akan datang. Yakni akibat datangnya sesuatu yang dibenci dan sirnanya sesuatu yang dicintai. Takut kepada Allah berarti takut terhadap hokum-hukumnya baik didunia maupun akhirat.[4]
Dengan kata lain, seorang yang Khauf (takut), adalah mereka yang berpikiran luas dan dalam jangka panjang ke depan, bukan sosok yang berpikiran sempit dan untuk kepuasan sementara.
d)     Raja’
Sebagaimana halnya dengan khauf (takut), raja’ (harapan) adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang.[5] Seorang yang mengharapkan sesuatu akan berupaya semaksimal mungkin untuk meraih dan merealisasikan harapan-harapannya.
Ibnu Khubaiq membagi harapan menjadi tiga :
1)      Manusia yang melakukan amal kebaikan, dengan harapan amal baiknya akan diterima oleh Allah
2)      Manusia yang melakukan amal buruk, kemudian bertaubat, dengan harapan akan mendapatkan ampunan dari Allah
3)      Orang yang menipu diri dengan terus-menerus melakukan kesalahan dengan mengharapkan ampunan.[6]
Harapan (raja’) akan membawa seseorang pada perasaan optimis dalam menjalankan segala aktivitasnya, serta menghilangkan segala keraguan yang menyelimutinya. Dengan demikian, ia akan melakukan segala aktifitas terbaiknya dengan penuh keyakinan.
e)      Shauq
Rindu (Shauq) merupakan luapan perasaan seorang individu yang mengharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang dicintai.[7] Luapan perasaan kerinduan terhadap sesuatu akan menghapuskan segala sesuatu selain yang dirindukan. Begitu pula seorang hamba yang dilanda kerinduan pada Allah SWT akan terlepas dari segala hasrat selain Allah. Oleh karenanya sebagai bukti dari perasaan rindu (shauq) adalah terbebasnya diri seseorang dari hawa nafsu.[8]
f)       Uns
Perasaan suka cita (uns) merupakan kondisi kejiwaan, di mana seorang merasakan kedekatan dengan Tuhan. Atau dalam pengertian lain disebut sebagai pencerahan dalam kebenaran. [9] seorang yang ada pada kondisi uns akan merasakan kebahagiaan,kesenangan,kegembiraan serta sukacita yang meluap-luap. Kondisi kejiwaan seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika merasakan kedekatan dengan Allah. Yang mana, hati dan perasaanya diliputi oleh cinta, kelembutan, keindahan serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga sangat sulit untuk dilukiskan.
g)      Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat mempengaruhinya. Ibnu Qayyim membagi tuma’ninah dalam tiga tingkatan :
1)      Ketenangan hati dengan mengingat Allah, yakni ketentraman seorang yang takut (kepada Allah) pada raja’, dan ketentraman orang yang tertimpa bala pada karunia.[10]
2)      Ketentraman jiwa pada Khasf, ketentraman perindu pada batas penantian, dan ketentraman perpisahan pada pertemuan.[11]
3)      Ketentraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan kasihnya, ketentraman pertemuan baqa’ (keabadian), dan ketentraman maqam pada cahaya keabadian. Tingkatan ini berkaitan dengan konsep fana’ dan baqa’.[12]
h)     Musyahadah
Penjelasan mengenai musyahadah sering dikaitkan dengan uraian tentang muhadharah dan mukasyafah. Muhadharah berarti kehadiran kalbu dan mukasyafah adalah kehadiran kalbu dengan sifat nyatanya, sedangkan musyahadah adalah kehadiran al-haqq dengan tanpa dibayangkan.[13]
Orang yang berada pada puncak musyahadah, kalbunya senantiasa dipenuhi oleh cahaya-cahaya ketuhanan, sehingga ibarat kilatan cahaya di malam hari yang tiada putus sama sekali, sehingga malam pun laksana siang hari yang nikmat. Begitulah gambaran orang yang diselimuti cahaya ketuhanan dalam musyahadah.
i)        Yaqin
Al-yaqin dalam terminologi sufi adalah merupakan perpaduan antara ‘ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin dan haqq al-yaqin. ‘ilm al-yaqin dalam terminologi para ulama adalah sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti. Sedangkan ‘ain al-yaqin, sesuatu yang ada dengan disertai kejelasan. Haqq al-yaqin, adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataanya.
‘ilm al-yaqin, dibutuhkan untuk mereka yang cenderung rasional. ‘ain al-yaqin, bagi para ilmuwan. Sedangkan haqq al-yaqin, bagi orang-orang yang ma’rifah.[14]
Jelasnya al-yaqin adalah sebuah kepercayaan yang kuat dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki, karena penyaksiannya dengan segenap eksistensinya.                     



[1]  Prof. Drs. Rifa’I Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta : Rajawali Pres, 1999, hlm. 132.
[2]  Amatullah Armstrong, hlm. 197.
[3]  Al-Qusyairi, hlm. 320.
[4]  ibid, hlm. 125.
[5]  Ibid., hlm. 132
[6]  Ibid
[7]  Al-Qusyairi, Op. Cit., hlm. 229.
[8]  Ibid., hlm. 330.
[9]  Digambarkan oleh al-qusyairi, bahwa kondisi kejiwaan terendah dalam uns adalah ketika seorang dilemparkan ke dalam neraka jahannam, namun tidak menghilangkan perasaan sukacitanya. Al-Qusyairi, Op. Cit, III, hlm. 60.
[10]  Ibnu Qayyim, hlm. 534.
[11] Ibid., hlm. 539-540
[12] Ibid., hlm 540-1
[13]  Al-Qusyairi, Op. Cit. hlm. 75.
[14] Ibid., hlm. 85

Tidak ada komentar:

Posting Komentar