Senin, 21 November 2016

KAIDAH TAFSIR

KAIDAH TAFSIR
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : ULUMUL QUR’AN
Dosen Pengampu :







DisusunOleh :
GhoyatulQoshwa                             1401036001
RizaFadli                                          1401036002
Ahmad Jazuli                                   1401036003
Riska Dewi Khoiun Nisa’                1401036004
M.Ressi Wicaksana                          1401036005
Nur Kholidah                                   1401036006

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014



PENDAHULUAN

Ada satu pandangan teologis dalam Islam bahwa al-Qur’an shalihun li kulli zaman wa makan. Sebagian umat Islam memandang keyakinan tersebut sebagai doktrin kebenaran yang bersifat pasti. Perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur kerja para ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga penafsiran tersebut dapat digunakan secara fungsional oleh masyarakat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan sebagai referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan kaidah penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai alat justifikasi benar-salah terhadap suatu penafsiran al-Qur’an. Kaidah-kaidah ini lebih berfungsi sebagai pengawal metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan.

RUMUSAN MASALAH
1.       Apakah yang dimaksud dengan kaidah-kaidah penafsiran?
2.       Apakah kaidah utama tafsir?




PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN KAIDAH TAFSIR
Kaidah tafsir dalam bahasa arab yakni qawaid al-Tafsir yang terdiri atas dua kata : qawaid dan tafsir. Qawaid adalah kata jamak dari kata qaidah. Secara harfiah, qaidah berarti dasar, asas, panduan, prinsip, dan juga bisa diartikan dengan peraturan, model, dan cara. Kaidah dalam istilah para ahli tafsir adalah :
حَكَم كلي يتعرف به على احكام جزئياته
Hukum (aturan) yang bersifat menyeluruh, umum (kulli) yang dengan aturan-aturan yang umum itu bisa dikenali (dideteksi) hukum-hukum yang pertikular (juz’i).
Adapun yang dimaksud dengan kata tafsir ialah tafsir Al-Qur’an.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan qawaid al-tafsir (kaidah-kaidah penafsiran) seperti diformulasikan Khalid Utsman al-Sabt ialah :
قواعدالتفسير هي الأحكام الكلية التي يتوصل بها الي استنباط معاني القرأن العظيم ومعرفة كيفية الأِستفادة منها
Kaidah-kaidah tafsir ialah rangkaian aturan yang bersifat umum (global) yang mengantarkan seorang (mufassir) untuk mengistinbatkan (menggali) makna-makna Al-Qur’an al-Azhim dan mengenali cara memperoleh atau menghasilkan pemahaman itu sendiri.
Dapat dipahami bahwa yang dimaksud kaidah-kaidah tafsir ialah tata aturan yang mengatur tentang cara dan mekanisme penafsiran Al-Qur’an yang tepat, benar, dan baik. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, ada norma-norma dasar penafsiran (qawaid al-tafsir) yang harus dipedomani oleh mufassir.
Muhammad bin Alawi al-Makki al-Hasani, umpamanya, menghubungkan kaidah-kaidah tafsir dengan pendekatan kebahasaan. Dalam bukunya Zubdah al-Itqan fi’ulum Al-Qur’an di bawah topik (في قواعد مهمة يحتاج المفسر أِلى معرفتها) kaidah-kaidah penting yang perlu diketahui mufassir, menyebutkan kaidah kebahasaan, yaitu kaidah dalam (memahami) dhamir, kaidah dalam (memahami) al-ta’rif wa al-tankir, kaidah tentang alifrad wa aljami’ dan kaidah tentang al-su’al wa al-jawab.
Demekian pula halnya dengan Manna’ al-Qaththan, yang mengedepankan sub bab (القواعد التي يحتاج أِليها المفسر) (kaidah-kaidah yang dibutuhkan mufassir) yang mengetengahkan kaidah-kaidah kebahasaan. Bahkan juga Khalid bin Utsman al-Sabt dalam bukunya Qawaid al-tafsir Jam’an wa Dirasatan, mengedepankan kaidah-kaidah tafsir yang berhubungan dengan kebahasaan.

B.     Macam Kaidah Tafsir
Macam kaidah penafsiran di antaranya :
1.      Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Langkah pertama bagi mufassir yang hendak menafsirkan Al-Qur’an sebelum mengacu kpada yang lain ialah harus merujuk kepada Al-Qur’an itu sendiri. Ulama tafsir sepakat untuk menyatakan bahwa tafsir Al-Qur’an bi Al-Qur’an sebagai tafsir yang terbaik dan paling berkualitas atau istilah al-Syanqithi, model tafsir yang paling utama dan paling agung adalah penafsiran kitab Allah dengan kitab Allah. Alasannya, karena tak seorang pun ahli tafsir lebih mengetahui kalam Allah sendiri.
Tentang penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ini kenyataannya memang bisa dilakukan dalam praktik. Sebab seperti dipaparkan al-Zarkasyi dan ulama lain, Al-Qur’an itu dilihat dari segi ada atau tidak adanya keterangan tentang dirinya, dapat dibedakan ke dalam dua kelompok yaitu :
Pertama: Kelompok ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan dirinya sendiri sehingga tidak lagi membutuhkan keterangan baik dari ayat yang sama maupun ayat yang berbeda.
Kedua: Kelompok ayat yang tidak menjelaskan dirinya sendiri sehingga memerlukan penjelasan dan penjelasannya adakalanya dijumpai pada ayat yang bersamaan atau ayat yang berbeda, bahkan ada juga yang penjelasannya diperoleh pada al-Sunnah mengingat al-sunnah itu sendiri memang fungsinya antara lain untuk menafsirkan kitab.

2.      Menafsirkan Al-Qur’an dengan al-Hadits
Manakala mufassir tidak mendapatkan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, maka mufassir dipersilahkan mencari hadits untuk menafsirkan Al-Qur’an. Penafsiran Al-Qur’an dengan al-Hadis mendapatkan izin langsung dari Al-Qur’an yang memberikan otoritas penafsiran kepada Nabi Muhammad Saw, antara lain berdasarkan surat Al-Nisa’ [4]:105, Al-Nahl [16]:44 dan 64.
Disamping itu, para ulama sepakat bahwa di antara fungsi utama hadis Nabi adalah sebagai penjelas Al-Qur’an.

3.      Merujuk Kepada Pendapat Sahabat bahkan Tabi’in
Jika mufassir tidak mendapat penafsiran dari Al-Qur’an dan Al-Hadis, maka seyogyanya merujuk kepada pendapat sahabat (qaul shahabi), terutama menyangkut hal-hal yang bersifat sima’i seperti sabab nuzul, kisah dan lain-lain.
Pada bagian lain, sebelum ini telah ditegaskan bahwa paling sedikit dalam hal-hal tertentu, generasi sahabat memiliki kelebihan dibanding generasi-generasi sesudahnya. Karena mereka hidup sezaman dengan Nabi dan secara langsung menyaksikan proses penurunan wahyu dan menerima langsung penafsiran dari Nabi.
Peihal kelebihan dan keutamaan sahabat bahkan tabi’in kenyataannya memang diakui Al-Qur’an sendiri seperti terdapat ayat :
والسابقون الأاولون من المهاجرين والأنصاروالذين اتبعوهم بإحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه وأعد لهم جنت تجرى تحتها الأنهار خلدين فيها أبدا.ذلك الفوزالعظيم
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan mereka pun ridla kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (QS.Al-Taubah [9]: 100)
Senada dengan ayat di atas, Nabi Muhammad Saw, juga pernah melukiskan kelebihan sahabat dalam salah satu sabdanya:
عن عمران بن حصين رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلي اللله عليه وسلم : خير أمتي قرني,ثم الذين يلونهم – قال عمران : فلا أدري أذكر بعد قرنه مرتين أوثلاثا ؟ ثم إن بعدكم قوم يشهدون ولايستشهدون,ويخونونولايؤمنون وينذرون ولايوفون, ويظهر فيهم السمن (رواه البخاري)

“Dari Imam bin Hasyin r.a, dia berkata, bersabda Rasulullah Saw : “umatku yang terbaik adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka (sahabat), kemudian generasi berikutnya (tabi’in)”. Imran bertutur : “kemudian aku tidak tahu lagi apakah setelah generasi nabi itu menyebutnya dua kali atau tiga kali ? (yang jelas setelah itu dikatakan) kemudian setelah generas itu kamu akan menyaksikan suatu kaum yang bersaksi padahal mereka tidak dimintakan kesaksianya, dan mereka berkhianat seta tidak dipercaya lagi, mereka berjanji tetapi tidak mereka penuhi, dan kemudian tampak diantara mereka orang-orang yang buncit (perutnya)”. (HR.Al-Bukhori)

4.      Melakukan Pendekatan kebahasaan.
Penafsiran yang tidak kalah penting ialah menafsirkan Al-Qur’an dengan kemutlakan bahasa, terutama menyangkut kosakata dan uslub-nya yang tidak diperoleh langsung dari sumbernya yaitu, Al-Qur’an dan al-hadis bahkan juga qaul sahabat. Pemahaman seperti ini menjadi penting mengingat bahasa Al-Qur’an memiliki kekhasan tersendiri.

5.      Penafsiran yang Dilakukan Didasarkan atau Disesuaikan dengan Makna Teks (Ayat), atau Redaksi dari Kekuatan Syara’
Dalam ilmu tafsir lazim dikenal dengan istilah: al-tafsir bi al-muqtadlhab min ma’na al-kalam wa al-muqtadlha min quwwat al-syar’i. Dalam penafsiran seperti ini, selain dituntut penguasaan bahasa arab yang kuat, juga diperlukan refleksi kecerdasan yang datang secara tiba-tiba, atau dengan istilah lain penafsiang yang didasarkan kepada pengetahuan yang diperoleh seseorang secara tiba-tiba dalam menafsirkan Al-Qur’an yang dalam dunia tafsir mufassirnya lazim dikenal dengan memiliki memiliki ilm al-mauhibah.
Mekanisme atau cara penafsiran di atas pada dasarnya terjadi dalam praktik dan mendapatkan dukungan luas dari kalangan ulama tafsir. Meskipun dalam konteks yang sedikit agak berbeda dengan yang terjadi dalam lapangan ilmu fikih dan ushul fiqih, tapi mekanisme penafsiran ini juga sejalan dengan dialog Nabi Muhammad Saw dengan Mu’adz bin Jabal ketika diangkat Nabi menjadi hakim di daerah Yaman. Dialog beliau yaitu :
Dari sekelompok orang dari ahli Hamsh dari para sahabat Muaz bin Jabal, bahwasannya Rasulullah Saw, bersabda: “Bagaimana cara Anda memutuskan perkara jika suatu perkara diajukan kepadamu ?” Mu’adz menjawab: “Akan aku putuskan berdasarkan kitab Allah (Al-Qur’an). Nabi bertanya: “kalau tidak kamu jumpai dalam Al-Qur’an?” Mu’adz menjawab: “Akan aku putuskan berdasarkan al-hadis”. Nabi bertanya: “kalau kamu tidak menjumpai dalam Al-Qur’an dan al-hadis?” Mu’adz menjawab: “ Aku akan berijtihad dengan seksama”. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Mu’adz, seraya beliau berucap “Alhamdulillah dzat yang telah memberikan kecocokan pada utusan Rasulullah terhadap apa yang diridhai Rasulullah.” (HR Abu Dawud).

C.     Kaidah Penafsiran Al-Qur’an Dalam Skema
Lima kaidah penafsiran Al-Qur’an
1.      Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2.      Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Hadis atau al-Sunnah
3.      Menafsirkan Al-Qur’an dengan perkataan sahabat/tabi’in (menyangkut hal-hal tertentu terutama yang bersifat riwayat)
4.      Menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan keluasan dan keluwesan bahasa Al-Qur’an itu sendiri secara mutlak
5.      Memahami Al-Qur’an dengan tuntunan teks dan konteks ayat serta refleksi kekuatan syara’.[1]
PENUTUP
KESIMPULAN

Kaidah tafsir dalam bahasa arab yakni qawaid al-Tafsir yang terdiri atas dua kata : qawaid dan tafsir. Qawaid adalah kata jamak dari kata qaidah. Secara harfiah, qaidah berarti dasar, asas, panduan, prinsip, dan juga bisa diartikan dengan peraturan, model, dan cara. Kaidah dalam istilah para ahli tafsir adalah :
حَكَم كلي يتعرف به على احكام جزئياته
Hukum (aturan) yang bersifat menyeluruh, umum (kulli) yang dengan aturan-aturan yang umum itu bisa dikenali (dideteksi) hukum-hukum yang pertikular (juz’i). Kaidah-kaidah tafsir ialah rangkaian aturan yang bersifat umum (global) yang mengantarkan seorang  

KESIMPULAN

Kaidah tafsir dalam bahasa arab yakni qawaid al-Tafsir yang terdiri atas dua kata : qawaid dan tafsir. Qawaid adalah kata jamak dari kata qaidah. Secara harfiah, qaidah berarti dasar, asas, panduan, prinsip, dan juga bisa diartikan dengan peraturan, model, dan cara. Kaidah dalam istilah para ahli tafsir adalah :
حَكَم كلي يتعرف به على احكام جزئياته
Hukum (aturan) yang bersifat menyeluruh, umum (kulli) yang dengan aturan-aturan yang umum itu bisa dikenali (dideteksi) hukum-hukum yang pertikular (juz’i). Kaidah-kaidah tafsir ialah rangkaian aturan yang bersifat umum (global) yang mengantarkan seorang  
 (mufassir) untuk mengistinbatkan (menggali) makna-makna Al-Qur’an al-Azhim dan mengenali cara memperoleh atau menghasilkan pemahaman itu sendiri.
Macam Kaidah Tafsir :
1.      Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2.      Menafsirkan Al-qur’an dengan al-hadis
3.      Merujuk kepada  Pendapat sahabat bahkan Tabi’in
4.      Melakukan pendekatan kebahasaan
5.      Penafsiran yang dilakukan didasarkan atau disesuaikan dengan makna teks (ayat), atau redaksi dari kekuatan syara’
 PENUTUP
Demikian makalah kami, dengan harpan dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami sadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran serta masukan yang membangun senantiasa kami harapkan dan semoga kita bisa mengambil hikmah dan pembelajaran kali ini. Amin.


DAFTAR PUSTAKA
Suma, Muhammad Amin, Ulumul Qur’an, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada,2013.









[1]Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta : PT Rajagrafindo persada,2013.) hlm. 417
































Demikian makalah kami, dengan harpan dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami sadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran serta masukan yang membangun senantiasa kami harapkan dan semoga kita bisa mengambil hikmah dan pembelajaran kali ini. Amin.


DAFTAR PUSTAKA
Suma, Muhammad Amin, Ulumul Qur’an, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada,2013.























Tidak ada komentar:

Posting Komentar