KAIDAH TAFSIR
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : ULUMUL QUR’AN
Dosen Pengampu :
DisusunOleh :
GhoyatulQoshwa 1401036001
RizaFadli 1401036002
Ahmad Jazuli 1401036003
Riska Dewi Khoiun Nisa’ 1401036004
M.Ressi Wicaksana 1401036005
Nur Kholidah 1401036006
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
PENDAHULUAN
Ada
satu pandangan teologis dalam Islam bahwa al-Qur’an shalihun li kulli zaman wa
makan. Sebagian umat Islam memandang keyakinan tersebut sebagai doktrin
kebenaran yang bersifat pasti. Perlu adanya
penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam mengembangkan
kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur kerja para
ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga penafsiran tersebut dapat
digunakan secara fungsional oleh masyarakat Islam dalam menghadapi berbagai
persoalan kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan sebagai
referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan kaidah penafsiran
yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai alat justifikasi benar-salah terhadap suatu penafsiran al-Qur’an. Kaidah-kaidah ini lebih berfungsi sebagai pengawal metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan.
Namun kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai alat justifikasi benar-salah terhadap suatu penafsiran al-Qur’an. Kaidah-kaidah ini lebih berfungsi sebagai pengawal metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan.
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan kaidah-kaidah penafsiran?
2. Apakah kaidah utama tafsir?
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KAIDAH TAFSIR
Kaidah tafsir dalam bahasa arab yakni qawaid
al-Tafsir yang terdiri atas dua kata : qawaid dan tafsir. Qawaid adalah kata
jamak dari kata qaidah. Secara harfiah, qaidah berarti dasar, asas, panduan,
prinsip, dan juga bisa diartikan dengan peraturan, model, dan cara. Kaidah
dalam istilah para ahli tafsir adalah :
حَكَم كلي يتعرف به على احكام جزئياته
Hukum (aturan) yang bersifat menyeluruh, umum (kulli)
yang dengan aturan-aturan yang umum itu bisa dikenali (dideteksi) hukum-hukum
yang pertikular (juz’i).
Adapun yang dimaksud dengan kata tafsir ialah tafsir
Al-Qur’an.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan qawaid al-tafsir (kaidah-kaidah penafsiran) seperti
diformulasikan Khalid Utsman al-Sabt ialah :
قواعدالتفسير هي الأحكام الكلية التي يتوصل بها
الي استنباط معاني القرأن العظيم ومعرفة كيفية الأِستفادة منها
Kaidah-kaidah tafsir ialah rangkaian aturan yang bersifat
umum (global) yang mengantarkan seorang (mufassir) untuk mengistinbatkan
(menggali) makna-makna Al-Qur’an al-Azhim dan mengenali cara memperoleh atau
menghasilkan pemahaman itu sendiri.
Dapat dipahami bahwa yang dimaksud kaidah-kaidah tafsir
ialah tata aturan yang mengatur tentang cara dan mekanisme penafsiran Al-Qur’an
yang tepat, benar, dan baik. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, ada
norma-norma dasar penafsiran (qawaid al-tafsir) yang harus dipedomani oleh
mufassir.
Muhammad bin Alawi al-Makki al-Hasani, umpamanya,
menghubungkan kaidah-kaidah tafsir dengan pendekatan kebahasaan. Dalam bukunya
Zubdah al-Itqan fi’ulum Al-Qur’an di bawah topik (في
قواعد مهمة يحتاج المفسر أِلى معرفتها) kaidah-kaidah penting yang perlu diketahui
mufassir, menyebutkan kaidah kebahasaan, yaitu kaidah dalam (memahami) dhamir,
kaidah dalam (memahami) al-ta’rif wa al-tankir, kaidah tentang alifrad wa
aljami’ dan kaidah tentang al-su’al wa al-jawab.
Demekian pula halnya dengan Manna’ al-Qaththan, yang
mengedepankan sub bab (القواعد التي
يحتاج أِليها المفسر) (kaidah-kaidah yang dibutuhkan mufassir)
yang mengetengahkan kaidah-kaidah kebahasaan. Bahkan juga Khalid bin Utsman
al-Sabt dalam bukunya Qawaid al-tafsir Jam’an wa Dirasatan, mengedepankan
kaidah-kaidah tafsir yang berhubungan dengan kebahasaan.
B. Macam Kaidah Tafsir
Macam kaidah penafsiran di antaranya :
1. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Langkah pertama
bagi mufassir yang hendak menafsirkan Al-Qur’an sebelum mengacu kpada yang lain
ialah harus merujuk kepada Al-Qur’an itu sendiri. Ulama tafsir sepakat untuk
menyatakan bahwa tafsir Al-Qur’an bi Al-Qur’an sebagai tafsir yang terbaik dan
paling berkualitas atau istilah al-Syanqithi, model tafsir yang paling utama
dan paling agung adalah penafsiran kitab Allah dengan kitab Allah. Alasannya,
karena tak seorang pun ahli tafsir lebih mengetahui kalam Allah sendiri.
Tentang
penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ini kenyataannya memang bisa dilakukan
dalam praktik. Sebab seperti dipaparkan al-Zarkasyi dan ulama lain, Al-Qur’an
itu dilihat dari segi ada atau tidak adanya keterangan tentang dirinya, dapat
dibedakan ke dalam dua kelompok yaitu :
Pertama:
Kelompok ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan dirinya sendiri sehingga tidak
lagi membutuhkan keterangan baik dari ayat yang sama maupun ayat yang berbeda.
Kedua: Kelompok
ayat yang tidak menjelaskan dirinya sendiri sehingga memerlukan penjelasan dan
penjelasannya adakalanya dijumpai pada ayat yang bersamaan atau ayat yang
berbeda, bahkan ada juga yang penjelasannya diperoleh pada al-Sunnah mengingat
al-sunnah itu sendiri memang fungsinya antara lain untuk menafsirkan kitab.
2. Menafsirkan Al-Qur’an dengan al-Hadits
Manakala
mufassir tidak mendapatkan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, maka mufassir
dipersilahkan mencari hadits untuk menafsirkan Al-Qur’an. Penafsiran Al-Qur’an
dengan al-Hadis mendapatkan izin langsung dari Al-Qur’an yang memberikan
otoritas penafsiran kepada Nabi Muhammad Saw, antara lain berdasarkan surat
Al-Nisa’ [4]:105, Al-Nahl [16]:44 dan 64.
Disamping itu,
para ulama sepakat bahwa di antara fungsi utama hadis Nabi adalah sebagai
penjelas Al-Qur’an.
3. Merujuk Kepada Pendapat Sahabat bahkan Tabi’in
Jika mufassir
tidak mendapat penafsiran dari Al-Qur’an dan Al-Hadis, maka seyogyanya merujuk
kepada pendapat sahabat (qaul shahabi), terutama menyangkut hal-hal yang
bersifat sima’i seperti sabab nuzul, kisah dan lain-lain.
Pada bagian
lain, sebelum ini telah ditegaskan bahwa paling sedikit dalam hal-hal tertentu,
generasi sahabat memiliki kelebihan dibanding generasi-generasi sesudahnya.
Karena mereka hidup sezaman dengan Nabi dan secara langsung menyaksikan proses
penurunan wahyu dan menerima langsung penafsiran dari Nabi.
Peihal
kelebihan dan keutamaan sahabat bahkan tabi’in kenyataannya memang diakui
Al-Qur’an sendiri seperti terdapat ayat :
والسابقون الأاولون من المهاجرين والأنصاروالذين اتبعوهم بإحسان رضي الله عنهم
ورضوا عنه وأعد لهم جنت تجرى تحتها الأنهار خلدين فيها أبدا.ذلك الفوزالعظيم
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridla kepada mereka dan mereka pun ridla kepada Allah dan Allah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (QS.Al-Taubah [9]: 100)
Senada dengan
ayat di atas, Nabi Muhammad Saw, juga pernah melukiskan kelebihan sahabat dalam
salah satu sabdanya:
عن عمران بن حصين رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلي اللله عليه وسلم : خير
أمتي قرني,ثم الذين يلونهم – قال عمران : فلا أدري أذكر بعد قرنه مرتين أوثلاثا ؟
ثم إن بعدكم قوم يشهدون ولايستشهدون,ويخونونولايؤمنون وينذرون ولايوفون, ويظهر
فيهم السمن (رواه البخاري)
“Dari Imam bin
Hasyin r.a, dia berkata, bersabda Rasulullah Saw : “umatku yang terbaik adalah
generasiku, kemudian generasi setelah mereka (sahabat), kemudian generasi
berikutnya (tabi’in)”. Imran bertutur : “kemudian aku tidak tahu lagi apakah
setelah generasi nabi itu menyebutnya dua kali atau tiga kali ? (yang jelas
setelah itu dikatakan) kemudian setelah generas itu kamu akan menyaksikan suatu
kaum yang bersaksi padahal mereka tidak dimintakan kesaksianya, dan mereka
berkhianat seta tidak dipercaya lagi, mereka berjanji tetapi tidak mereka
penuhi, dan kemudian tampak diantara mereka orang-orang yang buncit
(perutnya)”. (HR.Al-Bukhori)
4. Melakukan Pendekatan kebahasaan.
Penafsiran yang
tidak kalah penting ialah menafsirkan Al-Qur’an dengan kemutlakan bahasa,
terutama menyangkut kosakata dan uslub-nya yang tidak diperoleh langsung dari
sumbernya yaitu, Al-Qur’an dan al-hadis bahkan juga qaul sahabat. Pemahaman
seperti ini menjadi penting mengingat bahasa Al-Qur’an memiliki kekhasan
tersendiri.
5. Penafsiran yang Dilakukan Didasarkan atau
Disesuaikan dengan Makna Teks (Ayat), atau Redaksi dari Kekuatan Syara’
Dalam ilmu
tafsir lazim dikenal dengan istilah: al-tafsir bi al-muqtadlhab min ma’na
al-kalam wa al-muqtadlha min quwwat al-syar’i. Dalam penafsiran seperti ini,
selain dituntut penguasaan bahasa arab yang kuat, juga diperlukan refleksi
kecerdasan yang datang secara tiba-tiba, atau dengan istilah lain penafsiang
yang didasarkan kepada pengetahuan yang diperoleh seseorang secara tiba-tiba
dalam menafsirkan Al-Qur’an yang dalam dunia tafsir mufassirnya lazim dikenal
dengan memiliki memiliki ilm al-mauhibah.
Mekanisme atau
cara penafsiran di atas pada dasarnya terjadi dalam praktik dan mendapatkan
dukungan luas dari kalangan ulama tafsir. Meskipun dalam konteks yang sedikit
agak berbeda dengan yang terjadi dalam lapangan ilmu fikih dan ushul fiqih,
tapi mekanisme penafsiran ini juga sejalan dengan dialog Nabi Muhammad Saw
dengan Mu’adz bin Jabal ketika diangkat Nabi menjadi hakim di daerah Yaman.
Dialog beliau yaitu :
Dari sekelompok
orang dari ahli Hamsh dari para sahabat Muaz bin Jabal, bahwasannya Rasulullah
Saw, bersabda: “Bagaimana cara Anda memutuskan perkara jika suatu perkara
diajukan kepadamu ?” Mu’adz menjawab: “Akan aku putuskan berdasarkan kitab
Allah (Al-Qur’an). Nabi bertanya: “kalau tidak kamu jumpai dalam Al-Qur’an?”
Mu’adz menjawab: “Akan aku putuskan berdasarkan al-hadis”. Nabi bertanya: “kalau
kamu tidak menjumpai dalam Al-Qur’an dan al-hadis?” Mu’adz menjawab: “ Aku akan
berijtihad dengan seksama”. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Mu’adz,
seraya beliau berucap “Alhamdulillah dzat yang telah memberikan kecocokan pada
utusan Rasulullah terhadap apa yang diridhai Rasulullah.” (HR Abu Dawud).
C. Kaidah Penafsiran Al-Qur’an Dalam Skema
Lima kaidah penafsiran Al-Qur’an
1. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Hadis atau
al-Sunnah
3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan perkataan
sahabat/tabi’in (menyangkut hal-hal tertentu terutama yang bersifat riwayat)
4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan
pendekatan keluasan dan keluwesan bahasa Al-Qur’an itu sendiri secara mutlak
5. Memahami Al-Qur’an dengan tuntunan teks dan
konteks ayat serta refleksi kekuatan syara’.[1]
PENUTUP
KESIMPULAN
Kaidah tafsir dalam bahasa arab yakni qawaid
al-Tafsir yang terdiri atas dua kata : qawaid dan tafsir. Qawaid adalah kata
jamak dari kata qaidah. Secara harfiah, qaidah berarti dasar, asas, panduan, prinsip,
dan juga bisa diartikan dengan peraturan, model, dan cara. Kaidah dalam istilah
para ahli tafsir adalah :
حَكَم كلي يتعرف به على احكام جزئياته
Hukum (aturan)
yang bersifat menyeluruh, umum (kulli) yang dengan aturan-aturan yang umum itu
bisa dikenali (dideteksi) hukum-hukum yang pertikular (juz’i). Kaidah-kaidah
tafsir ialah rangkaian aturan yang bersifat umum (global) yang mengantarkan
seorang
KESIMPULAN
Kaidah tafsir dalam bahasa arab yakni qawaid
al-Tafsir yang terdiri atas dua kata : qawaid dan tafsir. Qawaid adalah kata
jamak dari kata qaidah. Secara harfiah, qaidah berarti dasar, asas, panduan,
prinsip, dan juga bisa diartikan dengan peraturan, model, dan cara. Kaidah
dalam istilah para ahli tafsir adalah :
حَكَم كلي يتعرف به على احكام جزئياته
Hukum (aturan)
yang bersifat menyeluruh, umum (kulli) yang dengan aturan-aturan yang umum itu
bisa dikenali (dideteksi) hukum-hukum yang pertikular (juz’i). Kaidah-kaidah
tafsir ialah rangkaian aturan yang bersifat umum (global) yang mengantarkan
seorang
(mufassir)
untuk mengistinbatkan (menggali) makna-makna Al-Qur’an al-Azhim dan mengenali
cara memperoleh atau menghasilkan pemahaman itu sendiri.
Macam Kaidah Tafsir :
1. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2. Menafsirkan Al-qur’an dengan al-hadis
3. Merujuk kepada
Pendapat sahabat bahkan Tabi’in
4. Melakukan pendekatan kebahasaan
5. Penafsiran yang dilakukan didasarkan atau
disesuaikan dengan makna teks (ayat), atau redaksi dari kekuatan syara’
PENUTUP
Demikian makalah kami, dengan
harpan dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami sadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran serta masukan yang
membangun senantiasa kami harapkan dan semoga kita bisa mengambil hikmah dan
pembelajaran kali ini. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Suma, Muhammad Amin, Ulumul Qur’an, Jakarta : PT
Rajagrafindo Persada,2013.
[1]Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta : PT
Rajagrafindo persada,2013.) hlm. 417
Demikian makalah kami, dengan
harpan dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami sadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran serta masukan yang
membangun senantiasa kami harapkan dan semoga kita bisa mengambil hikmah dan
pembelajaran kali ini. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Suma, Muhammad
Amin, Ulumul Qur’an, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada,2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar