PERKEMBANGAN
ISTILAH HADIS
MAKALAH
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Qur’an Hadits
PROGAM
MAGISTER ILMU AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UIN
WALISONGO SEMARANG
2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam
sebagai agama mempunyai dua sumber primer, yaitu al Qur’an dan hadis yang wajib
kita ikuti dan berpegang erat pada keduanya.[1]
Dua sumber itu bermuara kepada Nabi Muhammad SAW semuanya. Lafadz al Qur’an dan
maknanya berasal dari Allah sedangkan lafadz Hadis berasal dari Nabi Muhammad SAW,
hanya saja maknanya dari Allah SWT. Al Qur’an menduduki posisi pertama, karena
dalam tradisi periwayatanya bersifat mutawatir. Nabi memberi intruksi
kepenulisan pada setiap ayat yang turun kepadanya, sedangkan hadis tidak ada
intruksi untuk menuliskanya. Jadi derajat valditas dari keduanya berbeda, ulama
salaf memberi predikat al Qur’an qath’iy
as stubut dan Hadis pada posisi dzanny
as stubut.
Hadis
sebagai sumber primer menjadi objek kajian yang menarik, banyak tema yang
menarik untuk dibahas. Kali ini penulis akan membahas tentang sejarah
perkembangan istilah hadis. Tapi sebelum membahas sejarahnya, penulis akan
mengupas definisi dari hadis, dan istilah-istilah yang sering dinisbatkan
kepadanya seperti sunnah, khabar, dan atsar. Apakah keempat istilah itu berbeda
satu sama lainya (?), ataukah mempunyai arti yang sama.
Setelah
itu penulis akan membahas tentang Ilmu Hadis, sebuah disiplin ilmu yang
berkembang dari sumber primer kedua agama Islam. Mulai dari definisi ilmu
tersebut hingga pembagian objek bahasan, yaitu riwayah dan dirayah. Dari ilmu
dirayah ini, muncul dan berkembang istilah-istilah lain untuk menisbatkan ilmu
ini. Para ahli hadis ada yang menyebut ulumul hadis, musthalah hadis, dan
ushulul hadis.
Inti
pembahasan tentang sejarah perkembangan ilmu ini dimulai sejak zaman Rasulullah
hingga masa sekarang. Hingga memunculkan buku-buku terbaik dalam ilmu ini yang
menjadi rujukan hingga zaman sekarang
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa definisi hadis,
sunnah, khabar dan atsar?
2.
Apa yang dimaksud dengan Ilmu Hadis?
3.
Bagaimana sejarah perkembangan Ilmu Hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI SUNNAH, HADIS, KHABAR DAN ATSAR
1.
SUNNAH
Sunnah secara bahasa berarti
jalan ( الطريق ) atau perbuatan ( السيرة ). Pengertian ini didasarkan pada firman
Allah SWT dalam surat al Ahzab dan hadis Nabi Muhammad SAW:
"و لن تجد لسنة الله تبديلا ( الأحراب: 62 )"
“Dan kamu sekali-kali tiada akan mendapat
perubahan pada sunnah Allah”. (QS. 33 Al
Ahzab: 62)
"و في الحديث: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من سن في
الاء سلام سنة حسنة فله أجرها و أجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص في أجورهم
شيء, و من سن في الاءسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير
أن ينقص من أوزارهم شيء.(رواه مسلم في صحيحه كتاب الزكاة, باب الحث على الصدقة,
حديث رفم 2398)[2]"
“Rasulullah SAW bersabda:
barang siapa berbuat kebaikan dalam Islam, maka dia mendapatkan pahala dan
pahala bagi orang yang telah mengamalkanya tanpa terkurangi pahalanya, dan
barang siapa berbuat kejahatan dalam Islam maka dia akan mendapatkan dosa dan
dosa orang yang melakukanya tidak terkurangi.”
Ulama’
berbeda pendapat tentang definisi sunnah berdasarkan objek kajianya
masing-masing, secara garis besar mereka terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama
adalah Ahli Hadis, menurut mereka sunnah secara istilah berarti segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, sahabat, atau tabiin baik berupa ucapan,
perbuatan, ketetapan, ataupun sifat.[3] Objek
kajian mereka adalah Nabi Muhammad, jadi semua yang berkaitan dengan Nabi
diteliti.
Pendapat
lain mengatakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah hadis,
sedangkan sunnah sendiri bersifat lebih umum. Dikatakan umum karena hadis Nabi
masuk dalam kategori sunnah al hasanah
(perbuatan baik) atau at thariq al
mahmudah (jalan atau perilaku yang terpuji), sedangkan bukti lain yang
menunjukkan hadis Nabi masuk dalam Sunnah adalah firman Allah:
"و ما ينطق عن الهوى 3 ان هو الا وحي يوحى 4 (النجم: 3-4)"
“Dan tiadalah yang diucapkanya itu menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapanya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). (QS. 53: 3-4)”
Kelompok
kedua adalah ulama ushul fiqh, mereka
berpendapat lain terkait dengan definisi sunnah. Mereka mengatakan sunnah
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa
ucapan, perbuatan, ataupun ketetapan.[4]
Ulama ushul dalam memberikan definisi
sunnah, tidak menyertakan sifat Nabi, karena objek kajian mereka adalah
dalil-dalil syari’ah. Baik itu dalil qauli, fi’li, atau taqriri.[5]
Kelompok
ketiga adalah ulama’ fiqh, objek
pembahsan mereka adalah hukum-hukum yang terkandung dalam syariat islam yaitu fardlu, wajib, mandub, makruh, dan haram. Sunnah menurut pandangan mereka
adalah suatu ketentuan dari Nabi apabila dikerjakan maka akan mendapatkan
pahala, dan tidak mendapatkan siksa ketika meninggalkanya.[6]
2. HADIS
Hadis secara bahasa adalah baru,
antonim dari kata qadim yang berarti
lama.[7] Al
qur’an adalah mu’jizat Nabi Muhammad yang langgeng hingga akhir zaman, dia
bersifat qadim karena lafadz dan maknanya berasal dari Allah SWT. Ahli hadis
baik dari kalangan salaf maupun khalaf sepakat bahwasanya al qur’an
adalah kalamullah yang merupakan
salah satu dari sifatnya Allah[8]. Sedangkan Hadis adalah sesuatu yang
baru, dalam hal ini adalah Nabi Muhammad SAW. Karena Nabi adalah makhluk dan
segala sesuatu yang berkaitan dengan makhluq bersifat hadis.[9]
Secara estimologi Hadis berarti
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan,
perbuatan, ketetapan,[10]
ataupun sifat khilqiyyah maupun khulqiyyah[11].
Ibnu Hajar berpendapat, Hadis tidak hanya disandarkan kepada Nabi saja,
melainkan kepada sahabat dan tabiin[12]
Di kalangan sahabat Nabi hadis
bukan istilah baru, kata Hadis pernah diutarakan oleh Nabi ketika ditanya oleh
Abu Hurairah seputar syafaat.
سال ابو
هريرة رسول الله صل الله عليه و سلم,
فقال: يا رسول الله من أسعد الناس بشفاعتك يوم الفيامة؟ فقال له الرسول: لقد ظننت
يا ابى هريرة ألا يسئلني هذا الحديث احد أول منك, لما رئيت من حرصك على الحديث...
“Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah
SAW: Ya Rasulallah siapa orang yang beruntung/ bahagia mendapatkan syafaatmu di
hari kiamat? Nabi berkata kepadanya: Sungguh aku mengira bahwa tidak ada
seorangpun yang mendahului engkau untuk bertanya kepadaku tentang hadis ini,
karena aku melihat semangatmu yang besar untuk mempelajari Hadis... (HR.
Bukhori)[13]
3.
KHABAR
Khabar
secara bahasa adalah informasi, baik valid maupun non valid. Dalam hal ini
khabar adalah antonim dari Insya’[14],
karena Insya’ bukanlah sebuah informasi tetapi merupakan sebuah kalimat yang
tidak terdeksi kesalahan ataupun kebenaranya contohnya adalah perintah untuk
mendengarkan[15].
Berbeda dengan Insya’, hadis dengan
definisi seperti di atas berarti masuk dalam kategori khabar. Karena setiap
hadis adalah khabar tetapi tidak sebaliknya. Adapun hubungan antar keduanya
bersifat umum dan khusus mutlak, bagi orang yang berkecimpung dalam bidang
sejarah dia bisa dikategorikan Ikhbari
atau pemberi khabar sejarah dalam hal ini adalah sejarawan. Sedangkan mereka
yang berkecimpung dalam bidang hadis disebut muhaddis[16].
Khabar adalah
sinonim hadis yang secara istilah berarti sesuatu yang disandarkan pada Nabi
Muhammad SAW. Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwasanya hadis hanya
disandarkan kepada Nabi, sedangkan khabar disandarkan kepada selain Nabi
Muhammad SAW[17].
Oleh karenanya berdasarkan objek sandaranya, ilmu hadis ini terbagi menjadi
tiga bagian yaitu marfu’, mauquf, dan
maqthu’.
Marfu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Adapun mauquf adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
sahabat Nabi dan maqthu’ adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada tabiin. Melihat diskripsi di atas kita
bisa menyebut marfu’ dengan hadis.
Sedangkan mauquf dan maqthu’ dengan sebutan khabar.[18]
4.
ATSAR
Secara bahasa
astar berarti jejak peninggalan atau sisa dari rumah.[19]
Menurut pendapat yang mu’tamad astar
merupakan sinonim dari hadis[20],
jadi astar mempunyai pengertian yang sama dengan hadis yaitu segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Mengapa demikian, karena pada
hakikatnya yang kita pelajari tidak lain adalah peninggalan atau jejak laku
Nabi Muhammad SAW.
Astar
lebih umum dari khabar dan hadis, karena semua yang termasuk kategori
peniggalan Nabi masuk pada ranah astar. Ahli Hadis berpendapat bahwa yang
termasuk astar adalah marfu’ dan mauquf. Pendapat ini berbeda dengan
Fuqaha Khurasan yang mengatakan bahwasanya yang termasuk astar adalah mauquf, sedangkan marfu’ masuk kategori khabar[21]. Ada
juga yang berpendapat, termasuk astar adalah maqthu’, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada tabiin.
Dengan
demikian pendapat terkuat seperti yang dikemukakan oleh Imam Nawawi,
muhaddisin, ulama’ salaf dan sebagian khalaf, yaitu sunnah, hadis, khabar, dan
astar, merupakan sinonim, yang mana berdefinisi sama antara satu dan lainya.[22]
B.
PENGERTIAN ILMU
HADIS
Ilmu
Hadis sangat banyak dan bermacam-macam pembahasanya, pakar hadis mengerucutkan
pada dua pembahasan pokok. Yaitu ilmu riwayah
dan dirayah, semua pembahasan dalam
ilmu hadis adalah cabang dari kedua pembahasan ilmu di atas, oleh karena itu
Ilmu hadis dibagi menjadi dua, riwayah
dan dirayah.
1. Ilmu Hadis Riwayah
Ahli
hadis yang berkecimpung dalam ilmu riwayah
meneliti sunnah Nabi baik dari sisi ucapan, perbuatan, ketetapan, hingga
sifat khilqiyah dan khulqiyyah. Banyak ahli hadis yang
mencoba memberikan definisi terhadap ilmu riwayah,
di antara yang paling masyhur adalah Ibn
al-Akfani.
Imam Suyuthi
dalam kitabnya mengutip pendapat al
Akfani, ilmu hadis riwayah adalah
Ilmu Hadis yang berhubungan khusus dengan pembahsan riwayah, maksudnya yaitu: ilmu yeng mencakup pembahasan tentang penukilan
(transmisi) sabda Rasulullah, perbuatan, periwayatan, pencatatan dan penguraian
lafadz-lafadznya.[23]
Pendapat
al Akfani dikritik oleh Dr. Nuruddin Itr, karena definisi yang ditawarkan tidak
jami’, maksudnya tidak mencakup
poin-poin penting yang dikehendaki. Di antara poin penting yang dilupakan oleh
al Akfani adalah tidak menyebutkan ketetapan (التقرير) dan sifat Nabi Muhammad SAW. Selain itu al
Akfani juga tidak mencantumkan sahabat dan tabi’in dalam definisinya, padahal
keduanya juga menjadi komponen penting dalam kajian hadis.
Adapun pendapat yang mukhtar, berdasarkan
objek kajianya Ilmu hadis riwayah
adalah ilmu yeng mencakup pembahasan tentang penukilan (transmisi) sabda
Rasulullah, perbuatan, ketetapan, sifat khilqiyyah
dan khulqiyyah, periwayatan, pencatatan
serta penguraian lafadz-lafadznya (redaksi),[24] baik
mengandung hukum ataupun tidak. Seperti bergerak, berdiam saat sadar maupun
tidur. Termasuk dalam ranah kajian riwayah
adalah kehidupan (sirah) Nabi
Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Nabi maupun sesudahnya. Selain Nabi, para
pakar juga memasukkan sahabat dan tabi’in pada objek kajian ilmu riwayah.
Manfaat
atau faidah mempelajari Ilmu riwayah
adalah terjaga dari kesalahan saat menukil atau mentransimisikan sebuah hadis[25].
Dengan begitu para ulama yang concern
di bidang ilmu ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW;
"عن ريد بن تابث قال: سمعث
رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول: نضر الله امرأ سمع منا حديثا فحقظه حتى يبلغه
فرب حامل فقه الى من هو أفقه منه و رب حامل فقه ليس بفقيه. (رواه ابو داود في سننه
كتاب العلم, باب فضل نشر العلم)"[26]
“Semoga Allah SWT mencerahkan orang yang
mendengar hadis dariku, lalu dia menghafalnya hingga dia menyampaikanya kepada
orang yang lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu tidak
memahaminya.” (HR. Abu Daud)
Orang pertama
yang menulis ilmu riwayah secara
resmi adalah Al Imam al Jalil Abu Bakar
Muhammad bin Muslim bin Syihab Az Zuhri ( 50-125 H) atas instruksi dari
Khalifah Dinasti Umayyah saat itu yaitu Umar
bin Abdul Aziz yang dikerjakan pada abad 1 hijriyah.[27]
2.
Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu
hadis dirayah juga dikenal dengan
nama ilmu musthalah hadis, ulumul
hadis, ushulul hadis, atau ilmul hadis. Banyaknya sebutan itu
dikarenakan banyak pembahsan dalam ilmu dirayah,
sehingga ketika seorang ulama hadis mengkaji dalam satu segi dengan perinci
lalu memisahkanya dalam satu karya sehingga menjadi ilmu baru. Maka tumbuhlah
cabang-cabang ilmu baru dari Ulumul Hadis.
Ada
beberapa definisi yang ditawarkan oleh ulama hadis diantaranya adalah Ibnu
Hajar al Asqallani, Izzudin bin Jama’ah, dan Imam Suyuthi. Masing-masing dari
mereka menggunakan redaksi yang berbeda walaupun maksudnya sama, karena dalam
ilmu dirayah objek pembahsanya ada
dua macam yaitu sanad atau rawi dan matan atau marwiy.
Menurut Ibnu Hajar al Asqallani, ini merupakan
pendapat yang sering dipakai untuk mendifinisikan Ilmu Hadis dirayah, adalah: ilmu yang mempunyai
beberapa kaidah untuk mengetahui keadaan rawi
(yang mentransimisikan hadis) dan marwiy[28],
baik dari segi penerimaan maupun ditolaknya sebuah periwayatan.[29]
Rawi
adalah orang yang mentransmisikan sebuah hadis, sedangkan Marwiy adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi atau para
sahabat atau para tabiin. Untuk mengetahui keadaan rawi dari segi diterimanya dan ditolaknya hadis, para ahli
menggunakan ilmu yang disebut jarh wa ta’dil.
Sedangkan
yang dimaksud dari keadaan atau kondisi marwiy
adalah semua yang berhubungan dengan sambung (ittisal) dan putusnya (inqitha’)
sanad. Di dalamnya memuat ilmu untuk mengetahui cacatnya hadis (ilal), dan hal-hal yang berkaitan dengan
sahih dan tidaknya hadis[30].
Sedangkan
pendapat kedua dikemukakan oleh Izzuddin bin Jama’ah yang didukung dan dipuji
oleh Dr. Nuruddin Itr, menurutnya definisi ilmu hadis dirayah yang ditawarkan Ibnu Jama’ah adalah yang paling bagus. Ilmu
hadis dirayah atau ilmul hadis adalah: ilmu yang mempunyai
beberapa kaidah (qawanin) untuk
mengetahui keadaan sanad dan matan.
Uraian
dari definisi Ibnu jama’ah sebagai berikut, Ilmu berarti menemukan sesuatu yang
sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil. Sedangkan kaidah yang dikehendaki
oleh Ibnu jama’ah adalah kaidah-kaidah dalam ilmu hadis. Termasuk yang disinggung Ibnu Jama’ah adalah sanad, yaitu orang yang mentransmisikan
sebuah hadis dari satu orang, hingga bersambung kepada Rasulullah SAW.
Sedangkan matan adalah akhir dari
transmisi sebuah hadis yang disandarkan kepada Nabi, sahabat, atau tabi’in[31].
Imam
Suyuthi dalam kitabnya mendefinisikan Ilmu dirayah
sebagai sebuah ilmu yang denganya kita mengetahui hakikat riwayah, syarat-syaratnya, macam-macamnya, hukum-hukumnya, juga
mengetahui keadaan perawi, syarat-syaratnya, buku-buku hasil periwayatan, dan
yang berhubungan dengan periwayatan hadis.
Hakikat
dari sebuah periwayatan adalah mentransmisikan hadis hingga tersambung sampai
sumber hadis, adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu menggunakan
tatacara periwayatan, baik itu mendengar sama’,
atau ijazah. Setelah itu, proses pentransmisian sebuah hadis diteliti apakah
tersambung (ittisal) ataukah terputus
(inqitha’). Baru diakhir dari
rangkaian proses diketahui hukumnya apakah khabar
itu valid ataukah tidak.
Termasuk
materi pembahasan dalam ilmu dirayah
ini adalah karya ulama hadis dan mengetahui istilah yang digunakan dari
masing-masing ulama’, di antaranya adalah masanid
dan ma’ajim[32].
Objek pembahasan dalam ilmu ini adalah sanad
dan matan sebuah hadis, sedangkan
tujuan dari ilmu ini adalah mengetahui ke-shahihan
sebuah sebuah hadis.[33].
C. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADIS
Sejarah perkembangan ilmu hadis mencakup
tiga hal, yaitu sejarah ilmu hadis riwayah,
sejarah ilmu rijalul hadis, dan
sejarah musthalah hadis[34].
Dalam kesempatan kali ini penulis akan menitik beratkan pembahasan pada dua
poin terakhir, yang keduanya merupakan inti pembahasan ilmu dirayah atau ulumul hadis.
1.
Sejarah Perkembangan Ilmu Rijalul
Hadis
Ilmu
Rijalul Hadist yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat,
dari tabi`in, mupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang terpenting di
dalam ilmu Rijal al-Hadits adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut,
meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana saja
tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja
mereka memperoleh hadis dan kepada siapa saja mereka menyampaikan Hadis. Ada
beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang mempelajari persoalan ini. Ada yang
menyebut Ilmut Tarikh, ada yang menyebut Tarikh al-Ruwat, ada
juga yang menyebutnya Ilmu Tarikh al-Ruwat[35].
Periode
pertama
Ilmu rijalul Hadis sudah ada zejak zaman
Rasulullah SAW. Sahabat yang hidup di zaman itu tidak semuanya ber-mulazamah terus menerus bersama Nabi, di
antara mereka ada yang berdagang, bertani, dan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu Rasulullah memerintahkan untuk
menyampaikan kepada yang tidak hadir dalam majlisnya. Bersamaan dengan itu,
Rasulullah mewanti-wanti kepada para sahabat untuk tidak berbohong dalam hal
penyampaian sebuah hadis. Dari sini embrio ilmu rijalul hadis sudah mulai tumbuh, karena objek pembahasan dalam
ilmu ini adalah keadaan seorang rawi,
apakah dapat dipercaya ataukah tidak.
Sahabat nabi yang berbicara
dalam ilmu rijalul hadis diantaranya
adalah Ibnu Abbas, Ubadah bin Samit, Anas bin Malik, Aisyah radliyallahu anhum ajmain. Lalu diikuti
oleh senior para tabi’in di antaranya adalah As Sya’bi, Ibnu Musayyab, dan Ibnu
Sirin. Pada saat itu pembahasan tentang tajrih
sangat sedikit, karena para sahabat Nabi semuanya adil. Begitu juga dengan
mayoritas dari senior tabi’in mereka juga adil. Sangat jarang ditemui
dikalangan mereka yang masuk kategori pembohong, meskipun ada tetapi jumlah
mereka sedikit. Di antara contoh pembohong pada masa ini adalah al A’war dan al
Mukhtar.
Periode
kedua
Di akhir
masa tab’in, tepatnya pada abad dua hijriyah banyak ditemui perawi hadis yang
bermasalah dalam keadalahanya. Banyak
ditemukan kasus pembohongan pada sebuah riwayat, yang didasarkan pada fanatisme
antara golongan politik dan madzhab. Para ulama dimasa ini banyak mengkritik (naqd) pada ucapan yang dibawa setiap
rawi. Orang pertama yang berbicara tentang Ilmu Rijalul Hadits adalah Syu’bah
di Iraq, diikuti oleh Imam Malik, Imam Tsauri, Al Auza’i, A’masy dan Imam
Laits. Mereka semua hidup di masa Imam Malik[36].
Pembicaraan
tentang ilmu Rijalul Hadits terus dilanjutkan setelah generasi Imam Malik
seperti Imam Syafi’i (w 204 H), yang membahas tentang kehujjahan hadist ahad
dalam bukunya yang bernama Ar Risalah
dan al Umm. Selain Imam Syafi’i, ada
Yahya Ibnu Said al Qattan. Dia adalah orang pertama orang yang mengumpulkan
pembahasan tentang Rijalul Hadits.
Tokoh
lain yang berbicara tentang Ilmu Rijalul Hadist ini adalah Imam Ahmad bin
Hambal (w 241 H) murid Imam Syafi’i yang bergelar Amirul Mukminin fil Hadist[37],
Yahya bin Ma’in (w 233 H), Ali bin Al Madini, Abu Zar’ah (w 264 H), Imam
Bukhori (w 256 H) dalam bukunya yang berjudul at tarikh al kabir, at tarikh al awsath, at tarikh as soghir. Imam
Muslim bin Hajjaj an Nisaburi (w 261 H) dalam muqaddimah al jami’ as sahih. Imam Sulaiman bin Asy’ast Abu Daud as
Sajastani (w 275 H). Al Imam al Jalil Abu Hatim ar Razi (w 277 H) penjelasanya
tentang rijalul hadis dikumpulkan
oleh putranya dalam kitab al jarh wa at
ta’dil. Imam Muhammad bin Isa Abu Isa at Tirmidzi (w 279 H) dalam bukunya
yang berjudul ilalul hadis. Imam
Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman An Nasa’i (w 303 H), al Ajli dan Ibnu Syahim
dalam buku mereka yang berjudul as Siqat,
Abu Ahmad al ‘Askali, Ibnu Qoni’, Abu Nu’aim, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Al Atsir dan
Ibnu Hajar dalam kitabnya yang berjudul as
Sahabah.Ibnu Mandah dalam kitabnya Tabaqat
al Tabiin, Imam Dzahabi dan Imam Suyuti dalam bukunya yang berjudul Tabaqat al Khuffadz, Imam al Mizi, dan
Imam Khazraji dalam kitabnya Rijalul
Kutub as Sitttah, Abdul Ghani bin Said dalam kitabnya Musytabihul Asma, Imam Dar al Qutni dalam kitabnya al Mu’talif dan Mukhtalif, Imam Khatib dalam kitabnya al Mutasyabih[38].
2.
Sejarah perkembangan Mustolah Hadist
Musthalah hadis bagian dari ilmu dirayah, objek kajian dari ilmu ini adalah semua yang berhubungan
dengan sambung dan putusnya sanad, mengetahui cacatnya hadis, dan hal-hal yang
berkaitan dengan sahih dan tidaknya sebuah hadis. Tradisi meneliti sebuah hadis
sudah dimulai sejak zaman sahabat dilanjutkan hingga masa pembukuan hadis yang
dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memerintah Abu Bakar
Muhammad bin Syihab Az Zuhri. Pada periode ini kajian tentang musthalah hadis
belum mustaqil (mandiri), dalam
artian masih tercecer dalam buku induk hadis seperti Muqaddimah Sahih Imam
Muslim dan Imam Tirmidzi dalam kitabnya ilal. Bahkan mungkin juga masih lewat
lisan dan belum tercatat, misalnya ketika para Imam meneliti satu hadis dengan
cara mengupas rawi dan membandingkanya dengan riwayat yang lain.
Selanjutnya
di awal abad ke empat hingga akhir abad kelima ilmu muthalah hadis mulai dibukukan.
Di antara ahli yang membukukan Ilmu musthalah hadis adalah Imam Muhammad bin
Khalad ar Ramahurmuzi (w 360 H) dalam Al
Muhaddis al Fashil[39],
Abu Abdillah al Hakim (w 405 H) dalam Ma’rifah
Ulumil Hadis, Abu Bakar Khatib Al Baghdadi (w 463 H) dalam Al Kifayah. Keistemwaan pada masa ini
yaitu, semua menyertakan riwayat dan sanadnya. Maksudnya, setiap satu
pembahasan didasari dengan sanad suatu pendapat yang bermuara kepada sumbernya
(yang mengucapkan).
Setalah
abad kelima pembukuan ilmu musthalah hadis semakin marak, para ahli mulai
mengumpulkanya dalam satu buku tanpa menyebutkan sanad atau riwayatnya. Pada
masa ini pembahasanya mulai tertib, di antara tokoh abad ini yang masyhur
adalah Al Hafidz Abu Amr bin Salah (w 643 H) dalam bukunya yang berjudul Muqaddimah fi Ulumil Hadis. Turunan dari
kitab Ibnu Salah sangat banyak, contohnya adalah Tqrib lil Imam Nawawi dan Ikhtishar
Ulumil Hadis oleh Ibnu Kastir. Al Iraqi, Zarkasyi, dan Ibnu Hajar dalam An Nukat. Ada juga yang membuat nadzam
terhadap buku Ibnu Salah yaitu al Iraqi dan Imam Suyuthi. Ada juga yang memberi
syarh misalnya Sirojuddin Bulqini (w 805 H) dalam Mahasinul Isthilah wa Tadlminu Kitab Ibnu Salah. Dan masih banyak
yang lainya[40].
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas, bahwasanya
sunnah, hadis, khabar dan atsar bermakna sama yaitu Segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi, Sahabat, Tabi’in baik berupa ucapan, perbuatan,
ketetapan, sifat khilqiyyah dan khulqiyyah. Keempatnya merupakan
sinonim, ikhtilaf ulama dalam
definisi ini berdasarkan objek yang dikajinya. Ahli Hadis, Ulama Ushul Fiqh,
dan Fuqaha memiliki kajian yang berbeda satu dan yang lainya.
Keempat istilah di atas yang sering dipakai adalah kata hadis, dalam hal
ini kata hadis menjadi qayyid dari kata ilmu sehingga menjadi satu disiplin
ilmu yang bernama Ilmu Hadis. Ilmu Hadis dibagi menjadi dua cabang ilmu, yaitu
riwayah dan dirayah. Ilmu dirayah adalah satu ilmu yang membahas tentang
keadaan rawi dan marwiy. Nama lain dari Ilmu dirayah adalah Ilmu Hadis,
Musthalah hadis, Ulumul Hadis, atau Ushulul Hadis.
Sejarah perkembangan ilmu hadis dimulai sejak zaman Rasulullah dan
sahabat, dilanjutkan pada zaman tabi’in, hingga abad ketiga, empat, lima,
sampai sekarang. Objek pembahasan ilmu dirayah adalah rijalul hadis (rawi) dan musthalah
hadis (marwiy). Perkembangan keduanya berjalan beriringan, mulai dari masa
sebelum pencatatan, kemudian masa pencatatan meski masih tercampur dalam buku
induk hadis, kemudian pembahasanya mulai mustaqil dalam satu kitab dengan
cirikhas menggunakan sanad dari setiap pendapat yang ditulis. Dan yang terakhir
masa pembukuan yang lebih rapi, dengan tidak menyebutkan sanad dan tersusun
rapi, tokoh yang masyhur dalam hal ini Ibnu Salah.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Al Qur’an, Al Qur’an dan
Terjemahannya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Penafsiran Al
Qur’an, Departemen Agama RI, 2005
Abu Imarah, Musthafa Muhammad, Al Irsyad fi Ulumil Hadis, Cairo, Egypt:
t.p., 2015
Abu Zahrah, Muhammad Muhammad,
Al
Hadis wal Muhaddisun,
Riyadl, Arab Saudi: t.p 1984
Al Asqalani, Ibnu Hajar, Nuzhatun Nadzar fi Tawdihi Nukhbatul Fikr, Cairo, Egypt: Dar el
Bashair, 2011
Al Asqallani, Ibnu Hajar, Nukhbatul
Fikr, Cairo, Egypt: Musthafa el Halabi, 1934.
Al Kattani, Muhammad Ibrahim Abdul Baits, Al Furqan Baina Nisbatai al Qoul wal Kalam
fi al Qur’an, Beirut, Lebanon: Muassasah Fuad, 2013.
Al Khatib, Muhammad Ajjaj, As Sunnah Qabla at Tadwin, Beirut, Lebanon: Dar el Fikr, 1981.
Al Khusyu’i, Al Khusyu’i al Khusyui Muhammad, Buhuts fi Ulumil Hadis, Cairo, Egypt:
t.p., 2014
Al Mas’udi, Hafidz Hasan, Minhatul Mughits, Surabaya: al Hidayah, tt.
Al Qaththan, Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadis, DKI Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005
As Suyuthi, Jalaluddin, Tadrib ar Rawi, Cairo, Egypt: Dar el hadis, 2010
As Suyuthi, Jalaluddin, Uqudul Juman, Surabaya: al Hidayah, tt.
Bajuri, Imam, Tuhfatul
Murid ala Jawharat tauhid, Cairo, Egypt : Dar el Salam, 2015.
Bukhori, Imam, Sahih
Bukhari, Stuttgart, Germany: al Maknaz al Islami, 2000.
Daud , Abu, Sunan Abi Daud,
Stuttgart, Germany: al Maknaz al Islami, t.t, 623. Hadis nomor 3662, Kitabul Ilm, bab fadlu nasyri ilmi, vol. 2.
Itr, Nuruddin, Manhaj
an Naqd fi Ulumil Hadis, Beirut, Lebanon: Darul Fikr, 1997.
Khalaf, Abdul Wahab, Ilm Ushulil Fiqh, Cairo, Egypt: Maktabah al Iman, 2012
Majlis A’la lis Syu’un al
Islamiyah, Mausuah Ulumul Hadis as Syarif, Cairo, Egypt: Wizaratul Awqaf, 2013
Muhammad Alwi, Al
Manhal al Lathif, Beirut, Lebanon: Muassasah Fuad, 1999.
Muslim, Imam, Sahih
Muslim, Stuttgart, Germany: al Maknaz al Islami, 400.
Sirajuddin, Abdullah, Syarh Mandzumah Baiquniyyah, Beirut, Lebanon: Dar el Syuruq, 1975.
Turmusi, Muhammad Mahfudz, Manhaj
Dzawin Nadzar fi Syarhi Mandzumati Ilmi al Astar, Beirut, Lebanon: Dar Ibnu
Kastir, 2014.
[1] Muhammad Alwi, Al Manhal al Lathif, Beirut, Lebanon,
1999, hal. 11
[3] Nuruddin Itr, Manhaj an Naqd fi Ulumil Hadis, (Beirut,
Lebanon: Darul Fikr, 1997), 28.
[4] Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushulil Fiqh, (Cairo, Egypt:
Maktabah al Iman, 2012), 29.
[5] Al Khusyu’i al Khusyui Muhammad
al Khusyu’i, Buhuts fi Ulumil Hadis,
(Cairo, Egypt: t.p., 2014), 10.
[6] Muhammad Alwi, Al Manhal al Lathif, (Beirut, Lebanon:
Muassasah Fuad, 1999), 10.
[7] Muhammad Alwi, Al Manhal al Lathif, (Beirut, Lebanon:
Muassasah Fuad, 1999), 39.
[8] Muhammad Ibrahim Abdul Baits al
Kattani, Al Furqan Baina Nisbatai al Qoul
wal Kalam fi al Qur’an, (Beirut, Lebanon: Muassasah Fuad, 2013),
45.
[9] وكل ما
جاز عليه العدم # عليه فطعا يسثحيل الفدم, (segala sesuatu yang memungkinkan sirna, maka mustahil baginya
bersifat qodim). Bukti Nabi bagian dari alam adalah meninggal, meski dalam adab
tradisi muslim kita menyebut intaqala ila
rafiqil a’la (berpindah menemui kekasihnya). Imam Bajuri, Tuhfatul Murid ala Jawharat tauhid,
(Cairo, Egypt : Dar el Salam, 2015), 88.
[10] Muhammad Mahfudz Turmusi, Manhaj Dzawin Nadzar fi Syarhi Mandzumati
Ilmi al Astar, (Beirut, Lebanon: Dar Ibnu Kastir, 2014),
31.
[11] (Khilqiyyah adalah sifat
fisik Nabi sedangkang Khulqiyyah adalah akhlaq atau etika Nabi). Muhammad Ajjaj
al Khatib, As Sunnah Qabla at Tadwin, (Beirut,
Lebanon: Dar el Fikr, 1981), 22.
[12] Ibnu Hajar al As qallani, Nuzhatun Nadzar fi Tawdihi Nukhbatul Fikr,
(Cairo, Egypt: Dar el Bashair, 2011),
41.
[13] Imam Bukhori, Sahih Bukhari, (Stuttgart, Germany: al
Maknaz al Islami), 27. Hadis nomor 99,
bab al Hirs alal Hadis
[14] Muhammad Alwi, Al Manhal al Lathif, 47.
[15] Jalaluddin as Suyuthi, Uqudul Juman, (Surabaya: al Hidayah,
TT), 9.
[16] Ibnu hajar al Asqallani, Nukhbatul Fikr, (Cairo, Egypt: Musthafa
el Halabi, 1934), 3.
[17] Jalaluddin as Suyuthi, Tadrib ar Rawi, (Cairo, Egypt: Dar el
hadis, 2010), 27.
[18] Abdullah Sirajuddin, Syarh Mandzumah Baiquniyyah, (Beirut,
Lebanon: Dar el Syuruq, 1975), 33.
[19] Muhammad Alwi, Al Manhal al Lathif, 47.
[20] Hafidz Hasan al Mas’udi, Minhatul Mughits, (Surabaya: al Hidayah,
TT), 8.
[21] Jalaluddin as Suyuthi, Tadrib ar Rawi, 27.
[23] Jalaluddin Suyuthi, Tadribur Rawi, 24.
[24] Nuruddin Itr, Manhajun Naqd fi Ulumil Hadis, 31.
[25] Abdullah Sirajuddin, Syarh Mandzumah Baiquniyah, 4.
[26] Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Stuttgart, Germany: al Maknaz al Islami, t.t.),
623. Hadis nomor 3662, Kitabul Ilm,
bab fadlu nasyri ilmi, vol. 2.
[27] Al Khusyu’i al Khusyu’i Muhammad
al Khusyu’i, Buhus fi Ulumil Hadis, 16.
[28] Manna’ al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (DKI Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2005), 73.
[29] Majlis A’la lis Syu’un al Islamiyah, Mausuah Ulumul Hadis as Syarif, (Cairo,
Egypt: Wizaratul Awqaf, 2013), 191.
[30] Manna’ al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (DKI
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), 73.
[31] Nuruddin Itr, Manhaj an Naqd fi Ulumil Hadis, 32.
[32] Musnad: adalah nama kitab yang di dalamnya memeuat riwayat hadis
dari sahabat nabi. Tata cara penulisanya ada yang menggunakan urutan huruf
abjad, nama qabilah, nama daerah atau negara,
menurut dahulunya masuk islam.
Contoh: Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
Ma’ajim: adalah sebuah kitab yang di
dalamnya memuat riwayat hadis baik dari sahabat, syuyukh, atau daerah yang mana cara penulisanya berdasarkan urutan
abjad mulai dari alif hingga ya’. Contohnya Mu’jam Imam Thabrani.
[35] Musthafa Muhammad Abu Imarah, Al Irsyad fi Ulumil Hadis, (Cairo,
Egypt: t.p., 2015), 74.
[37] Muhammad
Muhammad Abu Zahrah, Al Hadis wal
Muhaddisun, (Riyadl, Arab Saudi: t.p, 1984), 370.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar