Sabtu, 22 Desember 2018

Perkembangan Istilah Hadis


PERKEMBANGAN ISTILAH HADIS

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Qur’an Hadits











PROGAM MAGISTER ILMU AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UIN WALISONGO SEMARANG
2018



BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Islam sebagai agama mempunyai dua sumber primer, yaitu al Qur’an dan hadis yang wajib kita ikuti dan berpegang erat pada keduanya.[1] Dua sumber itu bermuara kepada Nabi Muhammad SAW semuanya. Lafadz al Qur’an dan maknanya berasal dari Allah sedangkan lafadz Hadis berasal dari Nabi Muhammad SAW, hanya saja maknanya dari Allah SWT. Al Qur’an menduduki posisi pertama, karena dalam tradisi periwayatanya bersifat mutawatir. Nabi memberi intruksi kepenulisan pada setiap ayat yang turun kepadanya, sedangkan hadis tidak ada intruksi untuk menuliskanya. Jadi derajat valditas dari keduanya berbeda, ulama salaf memberi predikat al Qur’an qath’iy as stubut dan Hadis pada posisi dzanny as stubut.
Hadis sebagai sumber primer menjadi objek kajian yang menarik, banyak tema yang menarik untuk dibahas. Kali ini penulis akan membahas tentang sejarah perkembangan istilah hadis. Tapi sebelum membahas sejarahnya, penulis akan mengupas definisi dari hadis, dan istilah-istilah yang sering dinisbatkan kepadanya seperti sunnah, khabar, dan atsar. Apakah keempat istilah itu berbeda satu sama lainya (?), ataukah mempunyai arti yang sama.
Setelah itu penulis akan membahas tentang Ilmu Hadis, sebuah disiplin ilmu yang berkembang dari sumber primer kedua agama Islam. Mulai dari definisi ilmu tersebut hingga pembagian objek bahasan, yaitu riwayah dan dirayah. Dari ilmu dirayah ini, muncul dan berkembang istilah-istilah lain untuk menisbatkan ilmu ini. Para ahli hadis ada yang menyebut ulumul hadis, musthalah hadis, dan ushulul hadis.
Inti pembahasan tentang sejarah perkembangan ilmu ini dimulai sejak zaman Rasulullah hingga masa sekarang. Hingga memunculkan buku-buku terbaik dalam ilmu ini yang menjadi rujukan hingga zaman sekarang

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa definisi hadis, sunnah, khabar dan atsar?
2.      Apa yang dimaksud dengan Ilmu Hadis?
3.      Bagaimana sejarah perkembangan Ilmu Hadis?








BAB II
PEMBAHASAN

A.     DEFINISI SUNNAH, HADIS, KHABAR DAN ATSAR
1.         SUNNAH
Sunnah secara bahasa berarti jalan ( الطريق ) atau perbuatan ( السيرة ). Pengertian ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al Ahzab dan hadis Nabi Muhammad SAW:
"و لن تجد لسنة الله تبديلا ( الأحراب: 62 )"
“Dan kamu sekali-kali tiada akan mendapat perubahan pada sunnah Allah”. (QS. 33 Al Ahzab: 62)
"و في الحديث: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من سن في الاء سلام سنة حسنة فله أجرها و أجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص في أجورهم شيء, و من سن في الاءسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء.(رواه مسلم في صحيحه كتاب الزكاة, باب الحث على الصدقة, حديث رفم 2398)[2]"
“Rasulullah SAW bersabda: barang siapa berbuat kebaikan dalam Islam, maka dia mendapatkan pahala dan pahala bagi orang yang telah mengamalkanya tanpa terkurangi pahalanya, dan barang siapa berbuat kejahatan dalam Islam maka dia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang melakukanya tidak terkurangi.”
Ulama’ berbeda pendapat tentang definisi sunnah berdasarkan objek kajianya masing-masing, secara garis besar mereka terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama adalah Ahli Hadis, menurut mereka sunnah secara istilah berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, sahabat, atau tabiin baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, ataupun sifat.[3] Objek kajian mereka adalah Nabi Muhammad, jadi semua yang berkaitan dengan Nabi diteliti.
Pendapat lain mengatakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah hadis, sedangkan sunnah sendiri bersifat lebih umum. Dikatakan umum karena hadis Nabi masuk dalam kategori sunnah al hasanah (perbuatan baik) atau at thariq al mahmudah (jalan atau perilaku yang terpuji), sedangkan bukti lain yang menunjukkan hadis Nabi masuk dalam Sunnah adalah firman Allah:
"و ما ينطق عن الهوى 3  ان هو الا وحي يوحى 4 (النجم: 3-4)"
“Dan tiadalah yang diucapkanya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapanya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. 53: 3-4)”
Kelompok kedua adalah ulama ushul fiqh, mereka berpendapat lain terkait dengan definisi sunnah. Mereka mengatakan sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun ketetapan.[4] Ulama ushul dalam memberikan definisi sunnah, tidak menyertakan sifat Nabi, karena objek kajian mereka adalah dalil-dalil syari’ah. Baik itu dalil qauli, fi’li, atau taqriri.[5]
Kelompok ketiga adalah ulama’ fiqh, objek pembahsan mereka adalah hukum-hukum yang terkandung dalam syariat islam yaitu fardlu, wajib, mandub, makruh, dan haram. Sunnah menurut pandangan mereka adalah suatu ketentuan dari Nabi apabila dikerjakan maka akan mendapatkan pahala, dan tidak mendapatkan siksa ketika meninggalkanya.[6]

2.      HADIS
Hadis secara bahasa adalah baru, antonim dari kata qadim yang berarti lama.[7] Al qur’an adalah mu’jizat Nabi Muhammad yang langgeng hingga akhir zaman, dia bersifat qadim karena lafadz dan maknanya berasal dari Allah SWT. Ahli hadis baik dari kalangan salaf maupun khalaf sepakat bahwasanya al qur’an adalah kalamullah yang merupakan salah satu dari sifatnya Allah[8]. Sedangkan Hadis adalah sesuatu yang baru, dalam hal ini adalah Nabi Muhammad SAW. Karena Nabi adalah makhluk dan segala sesuatu yang berkaitan dengan makhluq bersifat hadis.[9]
Secara estimologi Hadis berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan,[10] ataupun sifat khilqiyyah maupun khulqiyyah[11]. Ibnu Hajar berpendapat, Hadis tidak hanya disandarkan kepada Nabi saja, melainkan kepada sahabat dan tabiin[12]
Di kalangan sahabat Nabi hadis bukan istilah baru, kata Hadis pernah diutarakan oleh Nabi ketika ditanya oleh Abu Hurairah seputar syafaat.
سال  ابو هريرة  رسول الله صل الله عليه و سلم, فقال: يا رسول الله من أسعد الناس بشفاعتك يوم الفيامة؟ فقال له الرسول: لقد ظننت يا ابى هريرة ألا يسئلني هذا الحديث احد أول منك, لما رئيت من حرصك على الحديث...
“Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah SAW: Ya Rasulallah siapa orang yang beruntung/ bahagia mendapatkan syafaatmu di hari kiamat? Nabi berkata kepadanya: Sungguh aku mengira bahwa tidak ada seorangpun yang mendahului engkau untuk bertanya kepadaku tentang hadis ini, karena aku melihat semangatmu yang besar untuk mempelajari Hadis... (HR. Bukhori)[13]

3.      KHABAR
Khabar secara bahasa adalah informasi, baik valid maupun non valid. Dalam hal ini khabar adalah antonim dari Insya’[14], karena Insya’ bukanlah sebuah informasi tetapi merupakan sebuah kalimat yang tidak terdeksi kesalahan ataupun kebenaranya contohnya adalah perintah untuk mendengarkan[15]. Berbeda dengan Insya’, hadis dengan definisi seperti di atas berarti masuk dalam kategori khabar. Karena setiap hadis adalah khabar tetapi tidak sebaliknya. Adapun hubungan antar keduanya bersifat umum dan khusus mutlak, bagi orang yang berkecimpung dalam bidang sejarah dia bisa dikategorikan Ikhbari atau pemberi khabar sejarah dalam hal ini adalah sejarawan. Sedangkan mereka yang berkecimpung dalam bidang hadis disebut muhaddis[16].
Khabar adalah sinonim hadis yang secara istilah berarti sesuatu yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW. Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwasanya hadis hanya disandarkan kepada Nabi, sedangkan khabar disandarkan kepada selain Nabi Muhammad SAW[17]. Oleh karenanya berdasarkan objek sandaranya, ilmu hadis ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu marfu’, mauquf, dan maqthu’.
Marfu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun mauquf  adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat Nabi dan maqthu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada tabiin. Melihat diskripsi di atas kita bisa menyebut marfu’ dengan hadis. Sedangkan mauquf dan maqthu’ dengan sebutan khabar.[18]

4.   ATSAR
Secara bahasa astar berarti jejak peninggalan atau sisa dari rumah.[19] Menurut pendapat yang mu’tamad astar merupakan sinonim dari hadis[20], jadi astar mempunyai pengertian yang sama dengan hadis yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Mengapa demikian, karena pada hakikatnya yang kita pelajari tidak lain adalah peninggalan atau jejak laku Nabi Muhammad SAW.
Astar lebih umum dari khabar dan hadis, karena semua yang termasuk kategori peniggalan Nabi masuk pada ranah astar. Ahli Hadis berpendapat bahwa yang termasuk astar adalah marfu’ dan mauquf. Pendapat ini berbeda dengan Fuqaha Khurasan yang mengatakan bahwasanya yang termasuk astar adalah mauquf, sedangkan marfu’ masuk kategori khabar[21]. Ada juga yang berpendapat, termasuk astar adalah maqthu’, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada tabiin.
Dengan demikian pendapat terkuat seperti yang dikemukakan oleh Imam Nawawi, muhaddisin, ulama’ salaf dan sebagian khalaf, yaitu sunnah, hadis, khabar, dan astar, merupakan sinonim, yang mana berdefinisi sama antara satu dan lainya.[22]

B.     PENGERTIAN ILMU HADIS
Ilmu Hadis sangat banyak dan bermacam-macam pembahasanya, pakar hadis mengerucutkan pada dua pembahasan pokok. Yaitu ilmu riwayah dan dirayah, semua pembahasan dalam ilmu hadis adalah cabang dari kedua pembahasan ilmu di atas, oleh karena itu Ilmu hadis dibagi menjadi dua, riwayah dan dirayah.
1.      Ilmu Hadis Riwayah
Ahli hadis yang berkecimpung dalam ilmu riwayah meneliti sunnah Nabi baik dari sisi ucapan, perbuatan, ketetapan, hingga sifat khilqiyah dan khulqiyyah. Banyak ahli hadis yang mencoba memberikan definisi terhadap ilmu riwayah, di antara yang paling masyhur adalah Ibn al-Akfani.
Imam Suyuthi dalam kitabnya mengutip pendapat al Akfani, ilmu hadis riwayah adalah Ilmu Hadis yang berhubungan khusus dengan pembahsan riwayah, maksudnya yaitu: ilmu yeng mencakup pembahasan tentang penukilan (transmisi) sabda Rasulullah, perbuatan, periwayatan, pencatatan dan penguraian lafadz-lafadznya.[23]
Pendapat al Akfani dikritik oleh Dr. Nuruddin Itr, karena definisi yang ditawarkan tidak jami’, maksudnya tidak mencakup poin-poin penting yang dikehendaki. Di antara poin penting yang dilupakan oleh al Akfani adalah tidak menyebutkan ketetapan (التقرير) dan sifat Nabi Muhammad SAW. Selain itu al Akfani juga tidak mencantumkan sahabat dan tabi’in dalam definisinya, padahal keduanya juga menjadi komponen penting dalam kajian hadis.
Adapun pendapat yang mukhtar, berdasarkan objek kajianya Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yeng mencakup pembahasan tentang penukilan (transmisi) sabda Rasulullah, perbuatan, ketetapan, sifat khilqiyyah dan khulqiyyah, periwayatan, pencatatan serta penguraian lafadz-lafadznya (redaksi),[24] baik mengandung hukum ataupun tidak. Seperti bergerak, berdiam saat sadar maupun tidur. Termasuk dalam ranah kajian riwayah adalah kehidupan (sirah) Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Nabi maupun sesudahnya. Selain Nabi, para pakar juga memasukkan sahabat dan tabi’in pada objek kajian ilmu riwayah.
Manfaat atau faidah mempelajari Ilmu riwayah adalah terjaga dari kesalahan saat menukil atau mentransimisikan sebuah hadis[25]. Dengan begitu para ulama yang concern di bidang ilmu ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW;
"عن ريد بن تابث قال: سمعث رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول: نضر الله امرأ سمع منا حديثا فحقظه حتى يبلغه فرب حامل فقه الى من هو أفقه منه و رب حامل فقه ليس بفقيه. (رواه ابو داود في سننه كتاب العلم, باب فضل نشر العلم)"[26]
“Semoga Allah SWT mencerahkan orang yang mendengar hadis dariku, lalu dia menghafalnya hingga dia menyampaikanya kepada orang yang lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu tidak memahaminya.” (HR. Abu Daud)
Orang pertama yang menulis ilmu riwayah secara resmi adalah Al Imam al Jalil Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Syihab Az Zuhri ( 50-125 H) atas instruksi dari Khalifah Dinasti Umayyah saat itu yaitu Umar bin Abdul Aziz yang dikerjakan pada abad 1 hijriyah.[27]
2.      Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu hadis dirayah juga dikenal dengan nama ilmu musthalah hadis,  ulumul hadis, ushulul hadis, atau ilmul hadis. Banyaknya sebutan itu dikarenakan banyak pembahsan dalam ilmu dirayah, sehingga ketika seorang ulama hadis mengkaji dalam satu segi dengan perinci lalu memisahkanya dalam satu karya sehingga menjadi ilmu baru. Maka tumbuhlah cabang-cabang ilmu baru dari Ulumul Hadis.
Ada beberapa definisi yang ditawarkan oleh ulama hadis diantaranya adalah Ibnu Hajar al Asqallani, Izzudin bin Jama’ah, dan Imam Suyuthi. Masing-masing dari mereka menggunakan redaksi yang berbeda walaupun maksudnya sama, karena dalam ilmu dirayah objek pembahsanya ada dua macam yaitu sanad atau rawi dan matan atau marwiy.
 Menurut Ibnu Hajar al Asqallani, ini merupakan pendapat yang sering dipakai untuk mendifinisikan Ilmu Hadis dirayah, adalah: ilmu yang mempunyai beberapa kaidah untuk mengetahui keadaan rawi (yang mentransimisikan hadis) dan marwiy[28], baik dari segi penerimaan maupun ditolaknya sebuah periwayatan.[29]
Rawi adalah orang yang mentransmisikan sebuah hadis, sedangkan Marwiy adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi atau para sahabat atau para tabiin. Untuk mengetahui keadaan rawi dari segi diterimanya dan ditolaknya hadis, para ahli menggunakan ilmu yang disebut jarh wa ta’dil.
Sedangkan yang dimaksud dari keadaan atau kondisi marwiy adalah semua yang berhubungan dengan sambung (ittisal) dan putusnya (inqitha’) sanad. Di dalamnya memuat ilmu untuk mengetahui cacatnya hadis (ilal), dan hal-hal yang berkaitan dengan sahih dan tidaknya hadis[30].
Sedangkan pendapat kedua dikemukakan oleh Izzuddin bin Jama’ah yang didukung dan dipuji oleh Dr. Nuruddin Itr, menurutnya definisi ilmu hadis dirayah yang ditawarkan Ibnu Jama’ah adalah yang paling bagus. Ilmu hadis dirayah atau ilmul hadis adalah: ilmu yang mempunyai beberapa kaidah (qawanin) untuk mengetahui keadaan sanad dan matan.
Uraian dari definisi Ibnu jama’ah sebagai berikut, Ilmu berarti menemukan sesuatu yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil. Sedangkan kaidah yang dikehendaki oleh Ibnu jama’ah adalah kaidah-kaidah dalam ilmu hadis. Termasuk yang disinggung Ibnu Jama’ah adalah sanad, yaitu orang yang mentransmisikan sebuah hadis dari satu orang, hingga bersambung kepada Rasulullah SAW. Sedangkan matan adalah akhir dari transmisi sebuah hadis yang disandarkan kepada Nabi, sahabat, atau tabi’in[31].
Imam Suyuthi dalam kitabnya mendefinisikan Ilmu dirayah sebagai sebuah ilmu yang denganya kita mengetahui hakikat riwayah, syarat-syaratnya, macam-macamnya, hukum-hukumnya, juga mengetahui keadaan perawi, syarat-syaratnya, buku-buku hasil periwayatan, dan yang berhubungan dengan periwayatan hadis.
Hakikat dari sebuah periwayatan adalah mentransmisikan hadis hingga tersambung sampai sumber hadis, adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu menggunakan tatacara periwayatan, baik itu mendengar sama’, atau ijazah. Setelah itu, proses pentransmisian sebuah hadis diteliti apakah tersambung (ittisal) ataukah terputus (inqitha’). Baru diakhir dari rangkaian proses diketahui hukumnya apakah khabar itu valid ataukah tidak.
Termasuk materi pembahasan dalam ilmu dirayah ini adalah karya ulama hadis dan mengetahui istilah yang digunakan dari masing-masing ulama’, di antaranya adalah masanid dan ma’ajim[32]. Objek pembahasan dalam ilmu ini adalah sanad dan matan sebuah hadis, sedangkan tujuan dari ilmu ini adalah mengetahui ke-shahihan sebuah sebuah hadis.[33].



C.     SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADIS
Sejarah perkembangan ilmu hadis mencakup tiga hal, yaitu sejarah ilmu hadis riwayah, sejarah ilmu rijalul hadis, dan sejarah musthalah hadis[34]. Dalam kesempatan kali ini penulis akan menitik beratkan pembahasan pada dua poin terakhir, yang keduanya merupakan inti pembahasan ilmu dirayah atau ulumul hadis.
1.      Sejarah Perkembangan Ilmu Rijalul Hadis
Ilmu Rijalul Hadist yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi`in, mupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang terpenting di dalam ilmu Rijal al-Hadits adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja mereka memperoleh hadis dan kepada siapa saja mereka menyampaikan Hadis. Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang mempelajari persoalan ini. Ada yang menyebut Ilmut Tarikh, ada yang menyebut Tarikh al-Ruwat, ada juga yang menyebutnya Ilmu Tarikh al-Ruwat[35].
Periode pertama
Ilmu rijalul Hadis sudah ada zejak zaman Rasulullah SAW. Sahabat yang hidup di zaman itu tidak semuanya ber-mulazamah terus menerus bersama Nabi, di antara mereka ada yang berdagang, bertani, dan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu Rasulullah memerintahkan untuk menyampaikan kepada yang tidak hadir dalam majlisnya. Bersamaan dengan itu, Rasulullah mewanti-wanti kepada para sahabat untuk tidak berbohong dalam hal penyampaian sebuah hadis. Dari sini embrio ilmu rijalul hadis sudah mulai tumbuh, karena objek pembahasan dalam ilmu ini adalah keadaan seorang rawi, apakah dapat dipercaya ataukah tidak.
Sahabat nabi yang berbicara dalam ilmu rijalul hadis diantaranya adalah Ibnu Abbas, Ubadah bin Samit, Anas bin Malik, Aisyah radliyallahu anhum ajmain. Lalu diikuti oleh senior para tabi’in di antaranya adalah As Sya’bi, Ibnu Musayyab, dan Ibnu Sirin. Pada saat itu pembahasan tentang tajrih sangat sedikit, karena para sahabat Nabi semuanya adil. Begitu juga dengan mayoritas dari senior tabi’in mereka juga adil. Sangat jarang ditemui dikalangan mereka yang masuk kategori pembohong, meskipun ada tetapi jumlah mereka sedikit. Di antara contoh pembohong pada masa ini adalah al A’war dan al Mukhtar.
Periode kedua
Di akhir masa tab’in, tepatnya pada abad dua hijriyah banyak ditemui perawi hadis yang bermasalah dalam keadalahanya. Banyak ditemukan kasus pembohongan pada sebuah riwayat, yang didasarkan pada fanatisme antara golongan politik dan madzhab. Para ulama dimasa ini banyak mengkritik (naqd) pada ucapan yang dibawa setiap rawi. Orang pertama yang berbicara tentang Ilmu Rijalul Hadits adalah Syu’bah di Iraq, diikuti oleh Imam Malik, Imam Tsauri, Al Auza’i, A’masy dan Imam Laits. Mereka semua hidup di masa Imam Malik[36].
Pembicaraan tentang ilmu Rijalul Hadits terus dilanjutkan setelah generasi Imam Malik seperti Imam Syafi’i (w 204 H), yang membahas tentang kehujjahan hadist ahad dalam bukunya yang bernama Ar Risalah dan al Umm. Selain Imam Syafi’i, ada Yahya Ibnu Said al Qattan. Dia adalah orang pertama orang yang mengumpulkan pembahasan tentang Rijalul Hadits.
Tokoh lain yang berbicara tentang Ilmu Rijalul Hadist ini adalah Imam Ahmad bin Hambal (w 241 H) murid Imam Syafi’i yang bergelar Amirul Mukminin fil Hadist[37], Yahya bin Ma’in (w 233 H), Ali bin Al Madini, Abu Zar’ah (w 264 H), Imam Bukhori (w 256 H) dalam bukunya yang berjudul at tarikh al kabir, at tarikh al awsath, at tarikh as soghir. Imam Muslim bin Hajjaj an Nisaburi (w 261 H) dalam muqaddimah al jami’ as sahih. Imam Sulaiman bin Asy’ast Abu Daud as Sajastani (w 275 H). Al Imam al Jalil Abu Hatim ar Razi (w 277 H) penjelasanya tentang rijalul hadis dikumpulkan oleh putranya dalam kitab al jarh wa at ta’dil. Imam Muhammad bin Isa Abu Isa at Tirmidzi (w 279 H) dalam bukunya yang berjudul ilalul hadis. Imam Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman An Nasa’i (w 303 H), al Ajli dan Ibnu Syahim dalam buku mereka yang berjudul as Siqat, Abu Ahmad al ‘Askali, Ibnu Qoni’, Abu Nu’aim, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Al Atsir dan Ibnu Hajar dalam kitabnya yang berjudul as Sahabah.Ibnu Mandah dalam kitabnya Tabaqat al Tabiin, Imam Dzahabi dan Imam Suyuti dalam bukunya yang berjudul Tabaqat al Khuffadz, Imam al Mizi, dan Imam Khazraji dalam kitabnya Rijalul Kutub as Sitttah, Abdul Ghani bin Said dalam kitabnya Musytabihul Asma, Imam Dar al Qutni dalam kitabnya al Mu’talif dan Mukhtalif, Imam Khatib dalam kitabnya al Mutasyabih[38].

2.      Sejarah perkembangan Mustolah Hadist
Musthalah hadis bagian dari ilmu dirayah, objek kajian dari ilmu ini adalah semua yang berhubungan dengan sambung dan putusnya sanad, mengetahui cacatnya hadis, dan hal-hal yang berkaitan dengan sahih dan tidaknya sebuah hadis. Tradisi meneliti sebuah hadis sudah dimulai sejak zaman sahabat dilanjutkan hingga masa pembukuan hadis yang dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memerintah Abu Bakar Muhammad bin Syihab Az Zuhri. Pada periode ini kajian tentang musthalah hadis belum mustaqil (mandiri), dalam artian masih tercecer dalam buku induk hadis seperti Muqaddimah Sahih Imam Muslim dan Imam Tirmidzi dalam kitabnya ilal. Bahkan mungkin juga masih lewat lisan dan belum tercatat, misalnya ketika para Imam meneliti satu hadis dengan cara mengupas rawi dan membandingkanya dengan riwayat yang lain.
Selanjutnya di awal abad ke empat hingga akhir abad kelima ilmu muthalah hadis mulai dibukukan. Di antara ahli yang membukukan Ilmu musthalah hadis adalah Imam Muhammad bin Khalad ar Ramahurmuzi (w 360 H) dalam Al Muhaddis al Fashil[39], Abu Abdillah al Hakim (w 405 H) dalam Ma’rifah Ulumil Hadis, Abu Bakar Khatib Al Baghdadi (w 463 H) dalam Al Kifayah. Keistemwaan pada masa ini yaitu, semua menyertakan riwayat dan sanadnya. Maksudnya, setiap satu pembahasan didasari dengan sanad suatu pendapat yang bermuara kepada sumbernya (yang mengucapkan).
Setalah abad kelima pembukuan ilmu musthalah hadis semakin marak, para ahli mulai mengumpulkanya dalam satu buku tanpa menyebutkan sanad atau riwayatnya. Pada masa ini pembahasanya mulai tertib, di antara tokoh abad ini yang masyhur adalah Al Hafidz Abu Amr bin Salah (w 643 H) dalam bukunya yang berjudul Muqaddimah fi Ulumil Hadis. Turunan dari kitab Ibnu Salah sangat banyak, contohnya adalah Tqrib lil Imam Nawawi dan Ikhtishar Ulumil Hadis oleh Ibnu Kastir. Al Iraqi, Zarkasyi, dan Ibnu Hajar dalam An Nukat. Ada juga yang membuat nadzam terhadap buku Ibnu Salah yaitu al Iraqi dan Imam Suyuthi. Ada juga yang memberi syarh misalnya Sirojuddin Bulqini (w 805 H) dalam Mahasinul Isthilah wa Tadlminu Kitab Ibnu Salah. Dan masih banyak yang lainya[40].















BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas, bahwasanya sunnah, hadis, khabar dan atsar bermakna sama yaitu Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, Sahabat, Tabi’in baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat khilqiyyah dan khulqiyyah. Keempatnya merupakan sinonim, ikhtilaf ulama dalam definisi ini berdasarkan objek yang dikajinya. Ahli Hadis, Ulama Ushul Fiqh, dan Fuqaha memiliki kajian yang berbeda satu dan yang lainya.
Keempat istilah di atas yang sering dipakai adalah kata hadis, dalam hal ini kata hadis menjadi qayyid  dari kata ilmu sehingga menjadi satu disiplin ilmu yang bernama Ilmu Hadis. Ilmu Hadis dibagi menjadi dua cabang ilmu, yaitu riwayah dan dirayah. Ilmu dirayah adalah satu ilmu yang membahas tentang keadaan rawi dan marwiy. Nama lain dari Ilmu dirayah adalah Ilmu Hadis, Musthalah hadis, Ulumul Hadis, atau Ushulul Hadis.
Sejarah perkembangan ilmu hadis dimulai sejak zaman Rasulullah dan sahabat, dilanjutkan pada zaman tabi’in, hingga abad ketiga, empat, lima, sampai sekarang. Objek pembahasan ilmu dirayah adalah rijalul hadis (rawi) dan musthalah hadis (marwiy). Perkembangan keduanya berjalan beriringan, mulai dari masa sebelum pencatatan, kemudian masa pencatatan meski masih tercampur dalam buku induk hadis, kemudian pembahasanya mulai mustaqil dalam satu kitab dengan cirikhas menggunakan sanad dari setiap pendapat yang ditulis. Dan yang terakhir masa pembukuan yang lebih rapi, dengan tidak menyebutkan sanad dan tersusun rapi, tokoh yang masyhur dalam hal ini Ibnu Salah.












DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al Qur’an,  Al Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Penafsiran Al Qur’an, Departemen Agama RI, 2005
Abu Imarah, Musthafa Muhammad, Al Irsyad fi Ulumil Hadis, Cairo, Egypt: t.p., 2015
Abu Zahrah, Muhammad Muhammad, Al Hadis wal Muhaddisun, Riyadl, Arab Saudi: t.p 1984
Al Asqalani, Ibnu Hajar, Nuzhatun Nadzar fi Tawdihi Nukhbatul Fikr, Cairo, Egypt: Dar el Bashair, 2011
Al Asqallani, Ibnu Hajar,  Nukhbatul Fikr, Cairo, Egypt: Musthafa el Halabi, 1934.
Al Kattani, Muhammad Ibrahim Abdul Baits, Al Furqan Baina Nisbatai al Qoul wal Kalam fi al Qur’an, Beirut, Lebanon: Muassasah Fuad,  2013.
Al Khatib, Muhammad Ajjaj, As Sunnah Qabla at Tadwin, Beirut, Lebanon: Dar el Fikr,  1981.
Al Khusyu’i, Al Khusyu’i al Khusyui Muhammad, Buhuts fi Ulumil Hadis, Cairo, Egypt: t.p., 2014
Al Mas’udi, Hafidz Hasan, Minhatul Mughits, Surabaya: al Hidayah, tt.
Al Qaththan, Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadis, DKI Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005
As Suyuthi, Jalaluddin, Tadrib ar Rawi, Cairo, Egypt: Dar el hadis, 2010
As Suyuthi, Jalaluddin, Uqudul Juman, Surabaya: al Hidayah, tt.
Bajuri, Imam, Tuhfatul Murid ala Jawharat tauhid, Cairo, Egypt : Dar el Salam, 2015.
Bukhori, Imam, Sahih Bukhari, Stuttgart, Germany: al Maknaz al Islami, 2000.
Daud , Abu, Sunan Abi Daud, Stuttgart, Germany: al Maknaz al Islami, t.t, 623. Hadis nomor 3662, Kitabul Ilm, bab fadlu nasyri ilmi, vol. 2.
Itr, Nuruddin, Manhaj an Naqd fi Ulumil Hadis, Beirut, Lebanon: Darul Fikr, 1997.
Khalaf, Abdul Wahab, Ilm Ushulil Fiqh, Cairo, Egypt: Maktabah al Iman, 2012
Majlis  A’la lis Syu’un al Islamiyah, Mausuah Ulumul Hadis as Syarif,  Cairo, Egypt: Wizaratul Awqaf, 2013
Muhammad Alwi, Al Manhal al Lathif, Beirut, Lebanon: Muassasah Fuad, 1999.
Muslim, Imam, Sahih Muslim, Stuttgart, Germany: al Maknaz al Islami, 400.
Sirajuddin, Abdullah, Syarh Mandzumah Baiquniyyah, Beirut, Lebanon: Dar el Syuruq, 1975.
Turmusi, Muhammad Mahfudz, Manhaj Dzawin Nadzar fi Syarhi Mandzumati Ilmi al Astar, Beirut, Lebanon: Dar Ibnu Kastir,  2014.
                                                                                                                           


[1] Muhammad Alwi, Al Manhal al Lathif, Beirut, Lebanon, 1999, hal. 11
[2] Imam Muslim, Sahih Muslim, (Stuttgart, Germany: al Maknaz al Islami), 400.
[3] Nuruddin Itr, Manhaj an Naqd fi Ulumil Hadis, (Beirut, Lebanon: Darul Fikr, 1997), 28.
[4] Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushulil Fiqh, (Cairo, Egypt: Maktabah al Iman, 2012), 29.
[5] Al Khusyu’i al Khusyui Muhammad al Khusyu’i, Buhuts fi Ulumil Hadis, (Cairo, Egypt: t.p., 2014), 10.
[6] Muhammad Alwi, Al Manhal al Lathif, (Beirut, Lebanon: Muassasah Fuad, 1999), 10.
[7] Muhammad Alwi, Al Manhal al Lathif, (Beirut, Lebanon: Muassasah Fuad, 1999), 39.
[8] Muhammad Ibrahim Abdul Baits al Kattani, Al Furqan Baina Nisbatai al Qoul wal Kalam fi al Qur’an, (Beirut, Lebanon: Muassasah Fuad,  2013),  45.
[9] وكل ما جاز عليه العدم # عليه فطعا يسثحيل الفدم, (segala sesuatu yang memungkinkan sirna, maka mustahil baginya bersifat qodim). Bukti Nabi bagian dari alam adalah meninggal, meski dalam adab tradisi muslim kita menyebut intaqala ila rafiqil a’la (berpindah menemui kekasihnya). Imam Bajuri, Tuhfatul Murid ala Jawharat tauhid, (Cairo, Egypt : Dar el Salam, 2015), 88.
[10] Muhammad Mahfudz Turmusi, Manhaj Dzawin Nadzar fi Syarhi Mandzumati Ilmi al Astar, (Beirut, Lebanon: Dar Ibnu Kastir,  2014),  31.
[11] (Khilqiyyah adalah sifat  fisik Nabi sedangkang Khulqiyyah  adalah akhlaq atau etika Nabi). Muhammad Ajjaj al Khatib, As Sunnah Qabla at Tadwin, (Beirut, Lebanon: Dar el Fikr,  1981),  22.
[12] Ibnu Hajar al As qallani, Nuzhatun Nadzar fi Tawdihi Nukhbatul Fikr, (Cairo, Egypt: Dar el Bashair, 2011),  41.
[13] Imam Bukhori, Sahih Bukhari, (Stuttgart, Germany: al Maknaz al Islami),  27. Hadis nomor 99, bab al Hirs alal Hadis
[14] Muhammad Alwi, Al Manhal al Lathif, 47.
[15] Jalaluddin as Suyuthi, Uqudul Juman, (Surabaya: al Hidayah, TT),  9.
[16] Ibnu hajar al Asqallani, Nukhbatul Fikr, (Cairo, Egypt: Musthafa el Halabi, 1934), 3.
[17] Jalaluddin as Suyuthi, Tadrib ar Rawi, (Cairo, Egypt: Dar el hadis, 2010),  27.
[18] Abdullah Sirajuddin, Syarh Mandzumah Baiquniyyah, (Beirut, Lebanon: Dar el Syuruq, 1975),  33.
[19] Muhammad Alwi, Al Manhal al Lathif, 47.
[20] Hafidz Hasan al Mas’udi, Minhatul Mughits, (Surabaya: al Hidayah, TT), 8.
[21] Jalaluddin as Suyuthi, Tadrib ar Rawi,  27.
[22] Muhammad Mahfudz Turmusi, Manhaj Dzawin Nadzar fi Syarhi Mandzumati Ilmi al Astar, 33.
[23] Jalaluddin Suyuthi, Tadribur Rawi, 24.
[24] Nuruddin Itr, Manhajun Naqd fi Ulumil Hadis, 31.
[25] Abdullah Sirajuddin, Syarh Mandzumah Baiquniyah, 4.
[26] Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Stuttgart, Germany: al Maknaz al Islami, t.t.), 623. Hadis nomor 3662, Kitabul Ilm, bab fadlu nasyri ilmi, vol. 2.
[27] Al Khusyu’i al Khusyu’i Muhammad al Khusyu’i,  Buhus fi Ulumil Hadis, 16.
[28] Manna’ al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (DKI Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), 73.
[29] Majlis  A’la lis Syu’un al Islamiyah, Mausuah Ulumul Hadis as Syarif, (Cairo, Egypt: Wizaratul Awqaf, 2013), 191.
[30] Manna’ al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (DKI Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), 73.
[31] Nuruddin Itr, Manhaj an Naqd fi Ulumil Hadis, 32.
[32] Musnad: adalah nama kitab yang di dalamnya memeuat riwayat hadis dari sahabat nabi. Tata cara penulisanya ada yang menggunakan urutan huruf abjad,  nama qabilah, nama daerah atau negara,  menurut dahulunya masuk islam.  Contoh: Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
Ma’ajim: adalah sebuah kitab yang di dalamnya memuat riwayat hadis baik dari sahabat, syuyukh, atau daerah yang mana cara penulisanya berdasarkan urutan abjad mulai dari alif hingga ya’. Contohnya Mu’jam Imam Thabrani.
[33] Jalaludin Suyuthi, Tadribur Rawi, 25.
[34] Majlis  A’la lis Syu’un al Islamiyah, Mausuah Ulumul Hadis as Syarif,  191.
[35] Musthafa Muhammad Abu Imarah, Al Irsyad fi Ulumil Hadis, (Cairo, Egypt: t.p., 2015), 74.
[36] Majlis  A’la lis Syu’un al Islamiyah, Mausuah Ulumul Hadis as Syarif,  193.
[37] Muhammad Muhammad Abu Zahrah, Al Hadis wal Muhaddisun, (Riyadl, Arab Saudi: t.p, 1984), 370.
[38] Al Khusyu’i al Khusyu’i Muhammad al Khusyu’i,  Buhus fi Ulumil Hadis, 18.
[39] Hafidz Hasan al Mas’udi, Minhatul Mughits, 5.
[40] Majlis  A’la lis Syu’un al Islamiyah, Mausuah Ulumul Hadis as Syarif,  193.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar