METODOLOGI
BURHANI
Makalah
Mata Kuliah : Pendekatan
Ilmu-ilmu Keislaman
Dosen Pengampu : Dr. H Sholihan, M.Ag
Oleh :
‘AINY NUR SYARIFAH
(1800018004)
Bimbingan Penyuluhan Islam
PROGRAM MAGISTER ILMU AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UIN WALISONGO SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai agama wahyu, Islam
memberikan peluang kepada umat manusia untuk mengembangkan pemahaman ajarannya
dan dituntut mengaktualisasikan tugas kekhalifahan sesuai dengan potensi akal
budi dan kreatifitasnya. Sedangkan
sebagai agama (keyakinan), pengetahuan tentang metafisik, tuntunan normative,
etik dan moral yang akan membentuk kepribadian serta corak umat manusia, memang
sangat tidak memadai untuk dipahami secara verbal dan diyakini secara a-priori.
Sebagaimana ketika Islam harus difungsikan untuk mengatur tata kehidupan
individu, masyarakat maupun makhluk lain. Bertitik tolak dari sini kita dapat
melihat bagaimana cara orang mendekati dan memahami Islam, maka terdapat tiga
model pendekatan. Pertama adalah model naqli (tradisional), kedua model
pendekatan aqli (rasional), dan ketiga model kasyf (mistik). Sekalipun
dengan pendekatan berbeda-beda dan membawa implikasi yang berbeda-beda pula, namun
yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana mereka membangun sebuah paradigma
itu, dalam memahami ajaran Islam, yang hingga dewasa ini masih berlaku. [1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Islam pada zaman klasik ?
2.
Apa itu metodologi Burhani?
3. Bagaimana perkembangan dan metodologi
Burhani?
4.
Bagaimana kekarakteristik dan unsur-unsur metodologi
Burhani?
5.
Bagaimana logika dalam metodologi Burhani?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Islam pada Zaman Klasik
Harun Nasution
menuliskan tentang sejarah Islam yang dibagi dalam tiga periode, yaitu klasik,
pertengahan dan modern. Pertama adalah periode klasik.
Periode klasik
ini terjadi pada tahun 650 Masehi hingga 1250 Masehi (650-1250 M). Dalam
periode ini pun dibagi lagi menjadi dua fase. Fase pertama adalah fase expansi,
integrasi dan puncak kemajuan. Fase ini terjadi pada tahun 650 Masehi hingga
1000 Masehi (650-1000 M).
Fase expansi,
integrasi dan puncak kemajuan adalah fase dimana Islam menyebar dengan pesat
(expansi). Melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol pada daerah Barat. Dan
melalui Persia sampai ke India pada daerah Timur. Seluruh negeri Islam dikuasai
Khalifah yang beribu kota di Madinah, kemudian pindah di Damsyik dan terakhir
di Baghdad. Fase ini juga dikatakan puncak kemajuan karena dari fase ini
lahirlah para pemuka-pemuka agama dan ilmuwan-ilmuwan muslim, seperti Imam
Malik, Imam Syafi'i, Abu Hanifah dan Ibn Hambal dalam bidang hukum. Al Razi, Al
Khawarizmi, Al Farabi, Ibnu Sina dan sebagainya.
Kedua adalah
fase disintegrasi yang terjadi pada tahun 1000 Maseh hingga 1250 Masehi
(1000-1250 M). Seperti nama dalam fase tersebut, disintegrasi, yaitu fase
dimana umat muslim mulai pecah karena masalah politik. Baghdad yang merupakan
ibu kota Khalifah muslim dapat direbut oleh Hulagu pada tahun 1258 M. Khilafah
yang merupakan lambang kesatuan politik muslim pun sudah tidak dipergunakan
lagi.[2]
2.
Pengertian Metodologi
Menurut bahasa
(etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta
(sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu
tentang cara atau langkah-langkah
yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga
disebut pengajaran atau penelitian. Menurut
istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan,
dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo
F. Reading mengatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem
tentang prosedur dan teknik riset.[3]
Ketika metode
digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti “studi tentang”
atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lagi sekedar kumpulan
cara yang sudah diterima (well
received) tetapi berupa berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi
dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Ringkasnya, bila dalam
metode tidak ada perbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu
pengetahuan, sebaliknya dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat,
dan merefleksi cara kerja suatu ilmu. Maka dari itu, metodologi menjadi menjadi
bagian dari sistematika filsafat, sedangkan metode tidak. [4]
Dengan pengertian lain metodologi adalah ilmu cara- cara dan langkah- langkah yang
tepat (untuk
menganalisa sesuatu) penjelasan serta menerapkan cara.[5]
3. Metodologi
Burhani
Secara bahasa kata burhan berarti argumentasi yang jelas dan terpilah untuk
memperoleh kebenaran dan pengetahuan melalui proses berfikir. Burhani sangat
menekankan proses dan peranan analisis rarasional (al-Qiyas, al-Jami’) untuk
memperoleh pengetahuan sekaligus sebagai suatu kebenaran. Dalam istilah logika,
Burhani berarti aktivitas berfikir dalam rangka menetapkan kebenaran proposisi
(qadyah) melalui metode penyimpulan (istintaj) dengan mengaitkan satu proposisi
dengan proposisi lain yang diperoleh tanpa berfikir panjang yang kebenarannya
terbukti secara aksiomatik. Sementara dalam pengertian umum burhani dapat
diartikan sebagai aktifitas pikiran untuk menetapkan proposisi melalui metode
penyimpulan.[6]
Dalam
bahasa Inggris al-Burhan diterjemahkan demonstration,
bahwa suatu pengetahuan yang demontratif adalah pengetahuan yang integrative, sistemik,
dan sistematis. Ciri-ciri pengetahuan tersebut antara lain; pokok bahasannya jelas,
universal tidak partikular, memiliki peristilahan teknis tertentu. [7] Adapun metodologi burhani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio
atau akal semata. Prinsip pengetahuan rasional dapat diterapkan pada pengalaman
indera, tetapi tidak disimpulkan dari pengalaman indera. [8]
Secara spesifik
pengertian metodologi burhani, dalam bahasa Arab, berasal dari kata
“al-burhan” yang berarti argumen (al-hujjah)
yang jelas (al-bayyinah). Dan distinc (al-fashl),
dalam bahasa Inggris adalah demonstration, yang mempunyai akar
bahasa latin dari kata demontratio (berarti memberi isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam
perspektif logika (al-mantiq), burhani merupakan
aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran melalui metode penyimpulan (al-istintaj),
dengan menghubungkan presmis tersebut terhadap premis yang lain dan dibenarkan
oleh nalar atau telah terbukti kebenarannya. Sedang dalam pengertian
umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran
suatu premis.[9]
Istilah burhani yang
mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, digunakan oleh
al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah sistem pengetahuan (nidham ma’rifi)
yang menggunakan metode tersendiri dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia
tertentu, tanpa bersandar pada otoritas pengetahuan yang lain. Ia bertumpu pada
kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empiris dan penilaian akal yang
mengikat pada sebab akibat. Cara berfikir seperti ini tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh logika Aristoteles.
Nalar burhani masuk
pertama kali ke dalam peradaban Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi (185-252 H)
melalui sebuah tulisannya, yaitu al-Falsafah al-Ula. Sebuah
tulisan tentang filsafat yang didasari oleh filsafat Aristoteles. Al-Kindi
menghadiahkan tulisan ini kepada khalifah al-Makmun (218 H-227 H). Di
dalam al-Falsafah al-Ula, al-Kindi menegasakan bahwa filsafat
merupakan ilmu pengetahuan manusia yang menempati posisi paling tinggi dan
paling agung, karena dengannya hakikat segala sesuatu dapat diketahui. Melalui
tulisan itu pula, al-Kindi menepis keraguan orang-orang yang selama ini menolak
keberadaan filsafat dan menyatakan bahwa filsafat adalah jalan mengetahui kebenaran.[10]
Dalam hal
ini, Aristoteles merupakan orang pertama
yang membangun metodologi burhani yang
populer dengan logika mantiq yang meliputi persoalan alam,
manusia dan Tuhan. Aristoteles sendiri menyebut logika itu dengan metode
analitik. Analisis ilmu pada dasarnya baik amaliyah maupun syari’yyah pada
hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan berupa aturan-aturan untuk menjaga
kesalahan berpikir. Wilayah yang menjadi obyeknya meliputi 10 persoalan substansi,
yang pertama dan yang sembilan adalah oksiden dengan segala derivasinya;
kuantitas (panjang), kualitas, hubungan (idafah), tempat, waktu,
kepemilikan, fiil (pasi), infi’al (affectif) atau ilmu
pengetahuan.
Adapun kecakapan untuk berpikir lurus dalam penalaran dibedakan
menjadi dua kegiatan: analitika dan dialektika. Analitika dipakai untuk
menyebut cara penalaran dan argumentasi yang berdasarkan pada
pernyataan-pernyataan yang benar, akan tetapi burhani adalah
aktifitas berpikir secara mantiqi yang identik dengan silogisme atau al-qiyas
al–jami` yang tersusun dari beberapa proposisi. Dengan
demikian, burhani (al-qiyas al-‘ilmi) menekankan tiga
syarat, yaitu:
a. Pertama,
mengetahui terma perantara yang ‘illah (causa) bagi
kesimpulan (ma’rifat al-hadd al-ausat wa al-natijah);
b. Kedua,
keserasian hubungan relasional antara terma-terma dan kesimpulan (tartib
al-`alaqah bayn al-illah wa al-ma’lul), antara terma perantara dan
kesimpulan-kesimpulan sebagai sistematika qiyas; dan
c. Ketiga, natijah (kesimpulan)
harus muncul secara otomatis dan tidak mungkin muncul kesimpulan yang lain.
Qiyas ketiga ini yang inheren dengan metodologi burhani.
Dari uraian tersebut, jelas bahwa logika Aristoteles lebih memperlihatkan
nilai metodologi dari pada logika formal. Demikian pula halnya dengan diskursus
filsafat kita dewasa ini yang melihat persoalan alam (alam, Tuhan dan manusia)
bukan lagi persoalan proposisi metafisika karena metodologi burhani dikedepankan
untuk menghasilkan pengetahuan yang valid dan konstruksi pengetahuan yang
meyakinkan tentang persoalan duniawi dan alam.
Berdasarkan
uraian di atas, jelas bahwa metodologi burhani dapat dipandang dari dua sisi,
yaitu: sebagai aktivitas pengetahuan dan sebagai diskursus pengetahuan.
a)
Metodologi burhani sebagai aktivitas pengetahuan.
Burhani adalah episteme berargumentasi secara deduktif.
b)
Metodologi burhani sebagai diskursus pengetahuan. Burhani merupakan dunia pengetahuan falsafah
yang masuk ke budaya Arab Islam melalui terjemahan dari karya-karya
Aristoteles. Para pemikir muslim yang menerapkan episteme burhani
di antaranya seperti, Ibn Rusyd, al-Syatibi, dan Ibn Khaldun. Ibn Rusyd
berusaha menerapkan dasar-dasar episteme burhani dengan cara
membela argumen secara kausalitas, yakni proses penelusuran terhadap akibat-akibat
sesuatu ke sebab-sebabnya sebelum menuju ke sebab utamanya, yakni Allah swt.
Usaha Ibn Rusyd tersebut kemudian dilanjutkan oleh al-Syatibi dalam disiplin
ilmu ushul fiqh. Beliau mengemukakan bahwa disiplin ushul fiqh didasarkan pada
prinsip “kulliyyah al-syar’iyah” (ajaran-ajaran universal dari agama)
dan pada prinsip “al-maqasid al-syar’i” yang befungsi sebagai pembentuk
unsur-unsur penalaran burhani. Sedangkan Ibn Khaldun menerapkan episteme burhani
yang dituangkan dalam karyanya berjudul “al-Muqaddimah”. Pada
awalnya, Ibn Khaldun menjelaskan riwayat hidup para pendahulu, kemudian
menganalisis satu peristiwa ke peristiwa berikutnya dalam setiap babnya
kemudian menarik kesimpulan dan pelajaran dari setiap kasus dan peristiwa itu.
Jika dilihat, dalam kitab “al-Muqaddimah” tersebut, Ibn Khaldun
ingin menunjukkan pengetahuan tentang bagaimana negara-negara dari awal
terbentuknya hingga proses kejatuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Khaldun
berusaha menjadikan sejarah sebagai ilmu Burhani. Sejarah yang ditulisnya
adalah sejarah ilmiah yang berintikan “penelitian, penyelidikan, dan analisis
yang mendalam akan sebab-sebab dan latar belakang terjadinya sesuatu. Selain
itu sejarah juga berintikan pengetahuan
yang akurat tentang asal usul, perkembangan serta riwayat hidup dan matinya
kisah peradaban manusia”.[11]
4. Perkembangan
dan Metodologi Burhani
a. Perkembangan Metodologi Burhani
Prinsip burhani
pertama kali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode
analitik (tahlili), yaitu suatu cara berpikir yang didasarkan atas proposisi
tertentu pada masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles,
digunakan istilah logika dan ketika masuk pada khasanah pemikiran Islam
berganti nama menjadi burhani. Cara berpikir analitik
Aristoteles ini, masuk ke dalam pemikiran Islam pertama kali lewat program
penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa pemerintahan
Al-Makmun.
Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode burhani adalah
Al-Khindi. Namun, karena masih dominannya kaum bayani dan minimnya referensi
maka metode burhani tidak begitu bergema. Metode burhani ini semakin berkembang
dalam sistem pemikiran Islam Arab setelah masa Al-Rozi. Metode burhani akhirnya
benar-benar mendapat tempat dalam sistem pemikiran Islam setelah masa
Al-Farabi.[12]
b. Metode pemikiran Burhani
Burhan adalah
pengetahuan yang diperoleh dari indra, percobaan dan hukum-hukum logika. Burhani atau
pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan
diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi,
simbolik, proses, dll) dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini
menjadikan realitas maupun tesk dan hubungan antara keduanya
sebagai sumber kajian.
Menurut Abid
al-Jabiri, burhan dalam logika adalah aktivitas intelektual untuk membuktikan
kebenaran suatu proposisi dengan cara konklusi atau deduksi. Sedangkan dalam
pengertian umum, burhan merupakan semua aktivitas intelektual untuk membuktikan
kebenaran suatu proposisi. Istilah burhani juga dipakai dalam pengertian yang
cukup beragam.
Beberapa di
antaranya;
a) Cara atau jenis argumentasi
b) Argumen itu sendiri
c) Bukti yang terlihat dari suatu argumen yang
menyakinkan.
Dalam
bahasa lain, metode burhani atau demonstratif merupakan sebentuk inferensi
rasional, yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan konklusi yang
bernilai. Metode burhani atau demonstratif ini berasal dari filosof terkenal
Yunani, yaitu Aristetoles. Apa yang dimaksudkan oleh Aristetoles dengan metode
demonstratif ini adalah silogisme ilmiah, yaitu silogisme yang apabila
seseorang memilikinya, maka orang tersebut akan memiliki pengetahuan. Menurut
Aristetoles, silogisme merupakan seperangkat metode berfikir yang dengan
silogisme tersebut, seseorang dapat menyimpulkan pengetahuan baru yang
diperolehnya dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya.
Metode burhani pada dasarnya merupakan logika,
atau metode penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan
kekeliruan dari suatu pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan
memerhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah. Tidak
semua silogisme dapat disebut denga burhani atau demonstratif. Sebuah silogisme
baru dikatakan sebagai demonstratif apabila premis-premisnya didasarkan bukan
pada opini, melainkan didasarkan pada kebenaran yang telah teruji atau
didasarkan kepada kebenaran utama. Ditinjau dari perspektif metodologi, burhani
menggunakan logika (al-maqayis) sebagai metodologi.
Sementara dalam hal lain pandangan filosof
al-Farabi, metode al-burhaniyah (demonstrasi) merupakan
metodologi yang super canggih dibandingkan dengan metodologi-metodologi
lainnya, seperti metodologi dialektika (jadaliyah), dan metodologi
retorika (khatabbiyah). Jika metode retorika dan dialektika dapat
dikonsumsi oleh masyarakat umum, hal ini tidak berlaku bagi metode burhani. Burhani
hanya mampu dikonsumsi oleh orang-orang tertentu.[13]
Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani
disebut al-‘Ilm al-Husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun,
dan disistematiskan hanya melalui premis-premis logika. Metode burhani ini
biasa digunakan dan dijumpai dalam filsafat paripatetik yang secara eksklusif
mengandalkan deduksi rasional dengan menggunakan silogisme yang terdiri dari
premis-premis dan konklusi. Metode ini dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi,
Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
Berbeda dengan epistemologi bayani,
epistemologi burhani menempatkan akal dalam otoritas kebenaran. Jika dalam
epistemologi bayani setiap proses pemikiran pasti berangkat dari teks menuju
makna, pada epistemologi burhani justru sebaliknya, yaitu makna lebih dulu
lahir dari kata-kata. Maksud epistemologi Burhani adalah, bahwa untuk mengukur
benar atau tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan
alamiyah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar teks wahyu suci, yang
memunculkan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah
realitas dan empiris; alam, sosial, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh
sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di
laboratorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat sosial maupun alam. Corak
berfikir yang digunakan adalah induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil
penelitian empiris.
Untuk mendapatkan sebuah
pengetahuan, burhani menggunakan silogisme. Mengikuti Aristoteles, penarikan
kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :
a)
Mengetahui latar belakang dari penyusun premis.
b)
Adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan.
5. Karakteristik
dan Unsur-unsur Metodologi Burhani
Dalam memandang
proses keilmuan, kaum burhaniyun bertolak dari cara pikir filsafat dimana hakikat
sebenarnya adalah universal. Hal ini akan menempatkan “makna” dari
realitas pada posisi otoritatif, sedangkan ”bahasa” yang bersifat partikular
hanya sebagai penegasan atau ekspresinya. Hal ini tampak sejalan dengan
penjelasan al-Farabi bahwa “makna” datang lebih dahulu daripada “kata”, sebab
makna datang dari sebuah pengkonpsesian intelektual yang berada dalam tataran
pemikiran atau rasio yang diaktualisasikan dalam kata-kata. Al-Farabi
memberikan pengandaian bahwa seandainya konsepsi intelektual itu letaknya dalam
kata-kata itu sendiri, maka yang lahir selanjutnya bukanlah makna-makna dan
pemikiran-pemikiran baru tetapi kata-kata yang baru.
Oleh karena itu, ilmu burhani berpola dari
nalar burhani dan nalar burhani bermula dari proses abstraksi
yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang makna
sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti,
sehingga disinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain, kata-kata adalah
sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir disamping sebagai simbol pernyataan
makna.
Secara struktural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga
hal: [15] pertama proses eksperimentasi yakni pengamatan
terhadap realitas; kedua proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas
tersebut dalam pikiran; ketiga, ekspresi yaitu mengungkapkan
realitas dalam kata-kata. Berkaitan dengan cara ketiga untuk mendapatkan ilmu burhani di atas, pembahasan tentang silogisme demonstratif atau qiyas burhani menjadi sangat
signifikan.
Dalam perspektif tiga teori
kebenaran, maka kebenaran yang dihasilkan oleh pola pikir burhani tampak
ada kedekatannya dengan teori kebenaran koherensi atau konsistensi. Dalam burhani menuntut
penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan dan konsisten antara
premis-premisnya, juga secara benar koheren dengan pengalaman yang ada, begitu
pula tesis kebenaran konsistensi atau koherensi. Kebenaran tidak akan terbentuk
atas hubungan antara keputusan dengan sesuatu yang lain, tetapi atas hubungan
antara keputusan-keputusan itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan
atas dasar hubungan antara keputusan baru dengan keputusan lain yang telah ada
dan diakui kebenarannya serta kepastiannya sehingga kebenaran identik dengan
konsistensi, kecocokan dan saling berhubungan secara sistematis.
Berikut unsur-unsur pokok metodologi
Islam.
Struktur
Fundamental
|
Metodologi
Burhani
|
1. Origin (sumber)
|
Nash/ Teks/
Wahyu (Otoritas Teks) al-Akhbar, al-Ijma’ (Otoritas Salaf) Al-’Ilm
al-Tauqifi
|
2. Methode (proses dan
prosedur)
|
Ijtihadiyyah
Istinbathiyyah/ Istintajiyyah/ Istidlaliyyah/ qiyasQiyas (Qiyas al-ghahib
‘ala al-syahid)
|
3. Approach
|
Lughawiyyah
(bahasa), Dalalah Lughawiyyah
|
4. Theoretical Framework
|
al-Ashl-al-far’,
Istinbathiyyah (pola pikir deduktif yang berpangkal pada teks), Qiyas
al-Ilah (Fi-kih), Qiyas al-dalalah (ka-lam),
al-Lafdz-al-Makna, ‘Am-khash, Mustarak, Haqiqah, Majaz, Muhkam,
Mufassar, Zahir, Khafi, Musykil, Muj-mal, Mutasyabih
|
5. Fungsi dan Peran Akal
|
Akal sebagai pengekang
/ pengatur hawa nafsu (lihat Lisan al-‘Arab Ibn Man-dzur),
Justifikasi-Repeetitif-Taqlidi (pengukuh kebenaran/ otoritas teks), Al-‘Aql
al-Diniy
|
6. Type of Argument
|
Dialektik
(Jadaliyyah); al-‘Uqul al Mtanafisah
Defensif –
Apologetik – Polemik – Dogmatik Pengaruh pola Logika Stonic (bukan logika
Aristoteles)
|
7. Tolok Ukur Validitas
Keilmuan
|
Keserupaan/
kedekatan antara teks (nash) dengan realitas
|
8. Prinsip-Prinsip Dasar
|
Infishal
(discontinue) = Atomistik
Tajwiz
(keserbabolehan) = tidak ada hukum kausalitas, Muqarabah (kedekatan,
keserupaan), Analogi deduktif; Qiyas
|
9. Kelompok Ilmu-ilmu Pendukung
|
Kalam
(Teologi), Fiqih (Jurisprudensi) Fuqaha; Ushuliyyun, Nahwu (Grammar);
Balaghah
|
Selanjutnya
secara singkat, tokoh-tokoh dunia Islam yang telah menerapkan metodologi
burhani, adalah:
a.
Ibnu Rusyd (kalam dan filsafat). Ibnu Rusyd berusaha menerapkannya
dengan jalan/cara membela argument secara kausalitas. Ia menolak pandangan
asy’ariyah tentang prinsip tajwiz (keserbabolehan) karena dianggap
mengingkari hukum kausalitas, sama saja meruntuhkan bangunan burhani pada
ilmu-ilmu alam termasuk metafisika atau ilmu ketuhanan secara burhani yang
dibangun atas dasar proses penelusuran terhadap sebab-akibat sesuatu sebelum
menuju kepada keputusan akhir; Allah swt.
b.
Al-Syatibi (ushul fiqh). Al-Syatibi mengemukakan bahwa usul fiqh
didasarkan pada prinsip kulliyyah al-syari’ah (ajaran
universal agama), dan prinsip al–maqasid al–Syari’,
serupa dengan sebab akhir sebagai pembentuk unsur penalaran burhani.
c.
Ibn Khaldun (sejarah ilmiah). Sejarah ilmiah disini terdapat:
penelitian, penyelidikan, dan analisis yang mendalam akan sebab dan latar
belakang terjadinya sesuatu, selain itu mengandung asal-usul, perkembangan,
riwayat hidup dan matinya kisah peradaban manusia.
6.
Logika Dalam Metodologi Burhani
Menurut sejarah munculnya metode pemikiran
burhani. dasar logika yang paling berpengaruh di dalamnya adalah logika
Aristoteles. Istilah logika ini sebenarnya muncul belakangan dan tidak pernah
disebut oleh Aristoteles. Aristoteles
sendiri memperkenalkan metode berpikirnya ini sebagai metode berpikir analitik.
Logika Aristoteles sering disebut sebagai logika tradisionalis, logika formal,
atau logika deduktif. Salah satu ajaran penting dalam logika Aristoteles adalah
silogisme.
Silogisme
berasal dari bahasa Yunani, yaitu sullogismos yang merupakan
bentukan dari kata sullegin yang artinya mengumpulkan, yang
menunjukkan pada kelompok, penghitungan dan penarikan kesimpulan. Kata tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi qiyas atau tepatnya adalah qiyas
jama’i yang karakternya mengumpulkan dua proposisi-proposisi (qadliyah)
yang kemudian disebut premis, kemudian dirumuskan hubungannya dengan
bantuan terminus medius atau term tengah atau menuju kepada sebuah
konklusi yang meyakinkan. Metode ini paling populer di
kalangan filsuf Peripatetik. Sementara Ibn Rusyd mendefinisikan demonstrasi
dengan ketentuan dari satu argument yang konsisten, tidak diragukan lagi
kebenarannya yang diperoleh dari premis yang pasti sehingga kesimpulan yang
akan diperoleh juga pasti, sementara bentuk dari argument harus diliputi oleh
fakta akali. Jadi silogisme demonstratif atau qiyas burhani yang
dimaksud adalah silogisme yang premis-premisnya terbentuk dari konsep-konsep
yang benar, yang meyakinkan, sesuai dengan realitas (bukan nash) dan diterima
oleh akal. Aplikasi dari pembentukan silogisme ini harus melewati tiga tahap,
yaitu: tahap pengertian (ma’qulat), tahap pernyataan (ibarat) dan
tahap penalaran (tahlilat).[16]
Tahapan pengertian merupakan proses awal yang
letaknya dalam pikiran sehingga di sinilah sebenarnya terjadi pengabstraksian,
yaitu merupakan aktivitas berpikir atas realitas hasil pengalaman, pengindraan,
dan penalaran untuk mendapatkan suatu gambaran. Sebagaimana Aristoteles,
pengertian ini selalu merujuk kepada sepuluh kategori yaitu: satu substansi (jauhar) yang
menopang berdirinya sembilan aksidensi (‘ard) yang meliputi
kuantitas, kualitas, aksi, pasi, relasi, tempat, waktu, sikap dan keadaan.
Tahapan pernyataan adalah
dalam rangka mengekspresikan pengertian tersebut dalam kalimat yang disebut
proposisi (qadliyah).Dalam proposisi ini harus memuat unsur subyek
(maudlu’) dan predikat (muhmal) serta adanya relasi antara
keduanya, yang darinya harus hanya mempunyai satu pengertian dan mengandung
kebenaran yaitu adanya kesesuaian dengan realitas dan tiada keragu-raguan dan
persangkaan.
Untuk memperoleh sebuah pengertian
dan tidak didasari keraguan atau persangkaan, maka pembuatan pernyataan harus
mempertimbangan al-alfadz al-khamsah yang ada dalam isagoge Aristoteles
atau yang biasa disebut dengan lima konsep universal yang terdiri dari jenis
(genus) yakni konsep universal yang mengandung suatu pengertian yang
masing-masing sama hakikatnya, nau’ (spises) yaitu konsep universal
yang mengandung satu pengertian tetapi masing-masing hakikatnya berbeda, fasl
(differentia) yaitu sifat yang membedakan secara mutlak, khas
(propirum) atau sifat khusus yang dimiliki oleh suatu benda tetapi
hilangnya sifat ini tidak akan menghilangkan eksistensi benda tersebut
dan ard (aksidensi) atau sifat khusus yang tidak bisa
diterapkan pada semua benda.
Tahapan penalaran; ini
dilakukan dengan perangkat silogisme. Sebuah silogisme harus terdiri dari dua
proposisi (al-muqaddimatani) yang kemudian disebut premis mayor (al-hadd
al-akbar) untuk premis yang pertama dan premis minor (al-hadd
al-ashghar) untuk premis yang kedua, yang kedua-duanya saling
berhubungan dan darinya ditarik kesimpulan logis.
Mengikuti Aristoteles, al-Jabiri
dalam hal ini menegaskan bahwa setiap yang burhani pasti
silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani. Silogisme
yang burhani (silogisme demonstrative atau qiyah
burhani) selalu bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan untuk
tujuan tertentu seperti yang dilakukan oleh kaum sufistaiyah (sophis). Silogisme (al-qiyas) dapat
disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga syarat: pertama, mengetahui
sebab yang menjadi alasan dalam penyusunan premis; kedua, adanya
hubungan yang logis antara sebab dan kesimpulan; dan ketiga, kesimpulan
yang dihasilkan harus bersifat pasti (dharuriyyah), sehingga tidak
ada kesimpulan lain selain itu. Syarat pertama dan kedua adalah yang terkait
dengan silogisme (al-qiyas). Sedang syarat ketiga merupakan
karakteristik silogisme burhani, dimana kesimpulan (natijah) bersifat
pasti, yang tak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian yang lain.
Hal ini dapat terjadi, jika premis-premis tersebut benar dan kebenarannya telah
terbukti lebih dulu ketimbang kesimpulannya, tanpa adanya premis penengah
(al-hadd al-awsath).[17]
Adapun Aristoteles menjelaskan silogisme dengan cara yang berbeda dengan metode
silogisme yang telah disebutkan sebelumnya. Model silogisme yang disebutkan
pada penjelasan metode-metode inferensi sebelumnya adalah silogisme yang
dikenalkan oleh logika Stoik. Model silogisme Aristoteles serins disebut sebagai silogisme katagorik karena semua proposisinya katagorik.
Silogisme terdiri dari beberapa komponen, yaitu premis mayor, premis minor, dan
kesimpulan.
Di dalam istilah yang
digunakan oleh Skolastik, terdapat beberapa bentuk silogisme :
a)
Bentuk pertama, term
tengah (middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan
menjadi predikat pada premis minor.
Contoh:
1. Semua manusia fana, (premis mayor)
Pak Eko adalah seorang manusia, (premis minor)
Pak Eko fana. (kesimpulan)
Model ini disebut Barbara.
2. Tak ada ikan
yang rasional. Semua hiu adalah ikan. Tak ada hiu yang rasional.
Model ini disebut Calerent.
3. Semua
manusia rasional. Sebagian makhluk hidup
adalah manusia. Sebagian makhluk hidup rasional.
Model ini disebut Dani.
4. Tak ada
orang Yunani berkulit hitam. Sebagian manusia adalah orang Yunani. Sebagian
manusia tak berkulit hitam.
Model ini disebut Ferio.
b)
Bentuk
kedua, term tengah (middle term) menjadi
predikat pada premis mayor dan premis minor.
Contoh :
Semua tumbuhan
membutuhkan air.
Tidak sarupun benda
mati membutuhkan air.
Tidak sarupun benda mati
adalah tumbuhan.
c)
Bentuk
ketiga, term tengah {middle term) menjadi
subyek pada premis mayor dan premis minor.
Contoh :
Setiap manusia mempunyai
rasa takut. Tetapi setiap manusia adalah makhluk hidup. Sebagian makhluk hidup
mempunyai rasa takut.
Berikut tambahan mengenai perbedaan dari 3
metodologi Burhani, Bayani dan Irfani :
Perbandingan
Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani
|
|||
Bayani
|
Irfani
|
Burhani
|
|
Sumber
|
Teks
Keagamaan/ Nash
|
Ilham/
Intuisi
|
Rasio
|
Metode
|
Istinbat/
Istidlal
|
Kasyf
|
Talilili
(analitik). Diskursus
|
Pendekatan
|
Linguistik
|
Psikho-Gnostik
|
Logika
|
Tema Sentral
|
Ashl-Furu’
Kata - Makna
|
Zahir - Batin
Wilayah - Nubuwah
|
Essensi -
Aksistensi Bahasa - Loaika
|
Validitas
Kebenaran
|
Korespondensi
|
Intersubjektif
|
Koherensi
Konsistensi
|
Pendukung
|
Kaum Teolos, ahli Fiqli,
ahli Bahasa.
|
Kaum Sufi
|
Para Filosof
|
BAB III
KESIMPULAN
Dengan mengandalkan kekuatan olah rasio, burhani telah berjasa mengembangkan pemikiran dalam
pendekatan studi Islam terutama pada zaman Islam klasik. Selain itu, telah membantu perkembangan metodologi lain, seperti bayani
lewat pemikiran fiqh seperti yang dilakukan al-Ghazali (1058-1111 M) lewat al-mustashfa
fi ulul al-fiqh, dan membantu metode irfani seperti yang terjadi pada Ibn
Arabi(1165-1240 M) lewat uraiannya tentang wahdat al-wujud. Ia bahkan masih
merupakan penopang utama bagi metodologi berikutnya, isyraqiyah dan al-hikmah al-muta’aliyah. Aristoteles pernah
mengatakan, burhani bisa menyusun
(mengembangkan) metode dan pemikiran lain tapi ia tidak bisa disusun dari
metode dan faktor lain.
Metode burhani
pada dasarnya merupakan logika, atau metode penalaran rasional yang digunakan
untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari suatu pernyataan atau teori ilmiah
dan filosofis dengan memerhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah
kesimpulan ilmiah. Sementara dalam hal lain pandangan filosof al-Farabi,
metode al-burhaniyah (demonstrasi) merupakan metodologi yang
super canggih dibandingkan dengan metodologi-metodologi lainnya, seperti
metodologi dialektika (jadaliyah), dan metodologi retorika (khatabbiyah).
Jika metode retorika dan dialektika dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum, hal
ini tidak berlaku bagi metode burhani. Burhani hanya mampu dikonsumsi oleh
orang-orang tertentu.
Ilmu-ilmu yang
muncul dari tradisi burhani disebut al-‘Ilm al-Husuli, yakni
ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematiskan hanya melalui premis-premis
logika. Metode burhani ini biasa digunakan dan dijumpai dalam filsafat
paripatetik yang secara eksklusif mengandalkan deduksi rasional dengan
menggunakan silogisme yang terdiri dari premis-premis dan konklusi. Metode ini
dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
DAFTAR PUSTAKA
A Partanto, Pios, dan M. dahlan al barry, Kamus Ilmiyah Populer,
(Surabaya: Penerbit Arkola, 1994)
Abed al-Jabiri, Muhammad, Bunyah al-‘Aql
al-‘Arabi, (Beirut: Markaz ad-Dirasat Wahdah al-‘Arabiyah, 2007)
Al- Jabiri, Isykaliyat
al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir, (Beirut: Markaz Dirasah al-Arabiyah, 1989)
A.Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam”, dalam Taufiq Abdullah
dan M. Rusli Karim, (editor), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar,
Yogyakarta: Tiara Wacara, 1989
Bagus,
Loren, Metafisika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991)
Fanani, Muhyar, Metode Studi Islam, aplikasi sosiologi
pengetahuan sebagai cara pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Jamhari, “ Kontribusi Metodologis Muhammad Abed Al-Jabiri dalam
Studi Islam”. Vol. 1 No. 1 2017
Jujun, S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985)
Khodori Soleh, Achmad,
M. Abid al-Jabiri: Model Epistemologi Islam”, dalam “Pemikiran
Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003)
Nasution, Harun, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan
antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, 1998)
Purwanto, Yadi, Epistemologi
Psikologi Islami; Dialektika Pendahuluan Psikologi Barat dan Psikologi Islami,
(Bandung: Refika Aditama, 2007)
Rahmat, Jalaludin, Hikmah Muta’aliyah Filsafat Pasca Ibn Rusyd, Jurnal
Al-Hikmah (Bandung, edisi 10, September 1993)
Rusyd,
Ibn, Fashl al-Maqal Fima Bain al-Hikam wa al-Syariah min al-Ittishal, edit.
M. Imarah, (Mesir: Dar al-Ma’rifat)
Saduloh, Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan,
(Bandung: Alfabeta, 2009)
[1] Jamhari, “ Kontribusi Metodologis Muhammad
Abed Al-Jabiri dalam Studi Islam”. Vol. 1 No. 1 2017, hlm. 19.
[2] Harun
Nasution, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antar Disiplin Ilmu,
(Bandung: Nuansa, 1998), hlm. 59.
[3] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, aplikasi sosiologi
pengetahuan sebagai cara pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.
ix.
[4] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, aplikasi sosiologi
pengetahuan sebagai cara pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.
ix.
[5] Pios A Partanto
dan M. dahlan al barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya: Penerbit Arkola,
1994), hlm. 462.
[6] Jujun, S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm. 139.
[7] Loren Bagus, Metafisika,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 37-40.
[9] Achmad Khodori
Soleh, M. Abid al-Jabiri : Model Epistemologi Islam, dalam Pemikiran
Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003), hlm. 250.
[10] Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql
al-‘Arabi, (Beirut: Markaz ad-Dirasat Wahdah al-‘Arabiyah, 2007), hlm.
416-417.
[11] Ibn Rusyd, Fashl
al-Maqal Fima Bain al-Hikam wa al-Syariah min al-Ittishal, edit. M. Imarah,
(Mesir: Dar al-Ma’rifat), hlm. 56.
[12] Yadi
Purwanto, Epistemologi Psikologi Islami; Dialektika Pendahuluan
Psikologi Barat dan Psikologi Islami, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm.
97.
[13] A.Mukti Ali,
“Metodologi Ilmu Agama Islam”, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim,
(editor), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:
Tiara Wacara, 1989), hal. 44.
[14] Achmad Khodori Soleh, M. Abid al-Jabiri : Model Epistemologi
Islam”, dalam dalam “Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta :
Jendela, 2003), hlm. 250.
[15] Jalaludin
Rahmat, Hikmah Muta’aliyah Filsafat Pasca Ibn Rusyd, Jurnal Al-Hikmah
(Bandung, edisi 10, September 1993), hlm. 78.
[16] Ahmad Khudori Sholih, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 112.
[17] Al- Jabiri, Isykaliyat
al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir, (Beirut: Markaz Dirasah al-Arabiyah, 1989),
hlm. 59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar