Sabtu, 22 Desember 2018

Metodologi Burhani



METODOLOGI BURHANI
Makalah
Mata Kuliah : Pendekatan Ilmu-ilmu Keislaman
Dosen Pengampu : Dr. H Sholihan, M.Ag

Oleh :
‘AINY NUR SYARIFAH
(1800018004)
Bimbingan Penyuluhan Islam

PROGRAM MAGISTER ILMU AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UIN WALISONGO SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagai agama wahyu, Islam memberikan peluang kepada umat manusia untuk mengembangkan pemahaman ajarannya dan dituntut mengaktualisasikan tugas kekhalifahan sesuai dengan potensi akal budi dan kreatifitasnya. Sedangkan sebagai agama (keyakinan), pengetahuan tentang metafisik, tuntunan normative, etik dan moral yang akan membentuk kepribadian serta corak umat manusia, memang sangat tidak memadai untuk dipahami secara verbal dan diyakini secara a-priori. Sebagaimana ketika Islam harus difungsikan untuk mengatur tata kehidupan individu, masyarakat maupun makhluk lain. Bertitik tolak dari sini kita dapat melihat bagaimana cara orang mendekati dan memahami Islam, maka terdapat tiga model pendekatan. Pertama adalah model naqli (tradisional), kedua model pendekatan aqli (rasional), dan ketiga model kasyf (mistik). Sekalipun dengan pendekatan berbeda-beda dan membawa implikasi yang berbeda-beda pula, namun yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana mereka membangun sebuah paradigma itu, dalam memahami ajaran Islam, yang hingga dewasa ini masih berlaku. [1]
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Islam pada zaman klasik ?
2.      Apa itu metodologi Burhani?
3.      Bagaimana perkembangan dan metodologi Burhani?
4.      Bagaimana kekarakteristik dan unsur-unsur metodologi Burhani?
5.      Bagaimana logika dalam metodologi Burhani?




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Islam pada Zaman Klasik
Harun Nasution menuliskan tentang sejarah Islam yang dibagi dalam tiga periode, yaitu klasik, pertengahan dan modern. Pertama adalah periode klasik. Periode klasik ini terjadi pada tahun 650 Masehi hingga 1250 Masehi (650-1250 M). Dalam periode ini pun dibagi lagi menjadi dua fase. Fase pertama adalah fase expansi, integrasi dan puncak kemajuan. Fase ini terjadi pada tahun 650 Masehi hingga 1000 Masehi (650-1000 M).
Fase expansi, integrasi dan puncak kemajuan adalah fase dimana Islam menyebar dengan pesat (expansi). Melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol pada daerah Barat. Dan melalui Persia sampai ke India pada daerah Timur. Seluruh negeri Islam dikuasai Khalifah yang beribu kota di Madinah, kemudian pindah di Damsyik dan terakhir di Baghdad. Fase ini juga dikatakan puncak kemajuan karena dari fase ini lahirlah para pemuka-pemuka agama dan ilmuwan-ilmuwan muslim, seperti Imam Malik, Imam Syafi'i, Abu Hanifah dan Ibn Hambal dalam bidang hukum. Al Razi, Al Khawarizmi, Al Farabi, Ibnu Sina dan sebagainya.
Kedua adalah fase disintegrasi yang terjadi pada tahun 1000 Maseh hingga 1250 Masehi (1000-1250 M). Seperti nama dalam fase tersebut, disintegrasi, yaitu fase dimana umat muslim mulai pecah karena masalah politik. Baghdad yang merupakan ibu kota Khalifah muslim dapat direbut oleh Hulagu pada tahun 1258 M. Khilafah yang merupakan lambang kesatuan politik muslim pun sudah tidak dipergunakan lagi.[2]

2.      Pengertian Metodologi
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau langkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian. Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading mengatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik riset.[3]
Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti “studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lagi sekedar kumpulan cara yang sudah diterima (well received) tetapi berupa berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Ringkasnya, bila dalam metode tidak ada perbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksi cara kerja suatu ilmu. Maka dari itu, metodologi menjadi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan metode tidak. [4]
Dengan pengertian lain metodologi adalah ilmu cara- cara dan langkah- langkah yang tepat (untuk menganalisa sesuatu) penjelasan serta menerapkan cara.[5]

3.      Metodologi Burhani
Secara bahasa kata burhan berarti argumentasi yang jelas dan terpilah untuk memperoleh kebenaran dan pengetahuan melalui proses berfikir. Burhani sangat menekankan proses dan peranan analisis rarasional (al-Qiyas, al-Jami’) untuk memperoleh pengetahuan sekaligus sebagai suatu kebenaran. Dalam istilah logika, Burhani berarti aktivitas berfikir dalam rangka menetapkan kebenaran proposisi (qadyah) melalui metode penyimpulan (istintaj) dengan mengaitkan satu proposisi dengan proposisi lain yang diperoleh tanpa berfikir panjang yang kebenarannya terbukti secara aksiomatik. Sementara dalam pengertian umum burhani dapat diartikan sebagai aktifitas pikiran untuk menetapkan proposisi melalui metode penyimpulan.[6]
Dalam bahasa Inggris al-Burhan diterjemahkan demonstration, bahwa suatu pengetahuan yang demontratif adalah pengetahuan yang integrative, sistemik, dan sistematis. Ciri-ciri pengetahuan tersebut antara lain; pokok bahasannya jelas, universal tidak partikular, memiliki peristilahan teknis tertentu. [7] Adapun metodologi burhani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio atau akal semata. Prinsip pengetahuan rasional dapat diterapkan pada pengalaman indera, tetapi tidak disimpulkan dari pengalaman indera. [8]
Secara spesifik pengertian metodologi burhani, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “al-burhan” yang berarti argumen (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah). Dan distinc (al-fashl), dalam bahasa Inggris adalah demonstration, yang mempunyai akar bahasa latin dari kata demontratio (berarti memberi isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani merupakan aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan presmis tersebut terhadap premis yang lain dan dibenarkan oleh nalar atau telah terbukti kebenarannya. Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.[9]
Istilah burhani yang mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, digunakan oleh al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah sistem pengetahuan (nidham ma’rifi) yang menggunakan metode tersendiri dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar pada otoritas pengetahuan yang lain. Ia bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empiris dan penilaian akal yang mengikat pada sebab akibat. Cara berfikir seperti ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh logika Aristoteles.
Nalar burhani masuk pertama kali ke dalam peradaban Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi (185-252 H) melalui sebuah tulisannya, yaitu al-Falsafah al-Ula. Sebuah tulisan tentang filsafat yang didasari oleh filsafat Aristoteles. Al-Kindi menghadiahkan tulisan ini kepada khalifah al-Makmun (218 H-227 H). Di dalam al-Falsafah al-Ula, al-Kindi menegasakan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan manusia yang menempati posisi paling tinggi dan paling agung, karena dengannya hakikat segala sesuatu dapat diketahui. Melalui tulisan itu pula, al-Kindi menepis keraguan orang-orang yang selama ini menolak keberadaan filsafat dan menyatakan bahwa filsafat adalah jalan mengetahui kebenaran.[10]
Dalam hal ini, Aristoteles merupakan orang pertama yang membangun metodologi burhani yang populer dengan logika mantiq yang meliputi persoalan alam, manusia dan Tuhan. Aristoteles sendiri menyebut logika itu dengan metode analitik. Analisis ilmu pada dasarnya baik amaliyah maupun syari’yyah pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan berupa aturan-aturan untuk menjaga kesalahan berpikir. Wilayah yang menjadi obyeknya meliputi 10 persoalan substansi, yang pertama dan yang sembilan adalah oksiden dengan segala derivasinya; kuantitas (panjang), kualitas, hubungan (idafah), tempat, waktu, kepemilikan, fiil (pasi), infi’al (affectif) atau ilmu pengetahuan.
Adapun kecakapan untuk berpikir lurus dalam penalaran dibedakan menjadi dua kegiatan: analitika dan dialektika. Analitika dipakai untuk menyebut cara penalaran dan argumentasi yang berdasarkan pada pernyataan-pernyataan yang benar, akan tetapi burhani adalah aktifitas berpikir secara mantiqi yang identik dengan silogisme atau al-qiyas  aljami` yang tersusun dari beberapa proposisi. Dengan demikian, burhani (al-qiyas al-‘ilmi) menekankan tiga syarat, yaitu:
a.    Pertama, mengetahui terma perantara yang ‘illah (causa) bagi kesimpulan (ma’rifat al-hadd al-ausat wa al-natijah);
b.   Kedua, keserasian hubungan relasional antara terma-terma dan kesimpulan (tartib al-`alaqah bayn al-illah wa al-ma’lul), antara terma perantara dan kesimpulan-kesimpulan sebagai sistematika qiyas; dan
c.   Ketiganatijah (kesimpulan) harus muncul secara otomatis dan tidak mungkin muncul kesimpulan yang lain. Qiyas ketiga ini yang inheren dengan metodologi burhani.
Dari uraian tersebut, jelas bahwa logika Aristoteles lebih memperlihatkan nilai metodologi dari pada logika formal. Demikian pula halnya dengan diskursus filsafat kita dewasa ini yang melihat persoalan alam (alam, Tuhan dan manusia) bukan lagi persoalan proposisi metafisika karena metodologi burhani dikedepankan untuk menghasilkan pengetahuan yang valid dan konstruksi pengetahuan yang meyakinkan tentang persoalan duniawi dan alam.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa metodologi burhani dapat dipandang dari dua sisi, yaitu: sebagai aktivitas pengetahuan dan sebagai diskursus pengetahuan.
a)         Metodologi burhani sebagai aktivitas pengetahuan. Burhani adalah episteme berargumentasi secara deduktif.
b)        Metodologi burhani sebagai diskursus pengetahuan. Burhani merupakan dunia pengetahuan falsafah yang masuk ke budaya Arab Islam melalui terjemahan dari karya-karya Aristoteles. Para pemikir muslim yang menerapkan episteme burhani di antaranya seperti, Ibn Rusyd, al-Syatibi, dan Ibn Khaldun. Ibn Rusyd berusaha menerapkan dasar-dasar episteme burhani dengan cara membela argumen secara kausalitas, yakni proses penelusuran terhadap akibat-akibat sesuatu ke sebab-sebabnya sebelum menuju ke sebab utamanya, yakni Allah swt. Usaha Ibn Rusyd tersebut kemudian dilanjutkan oleh al-Syatibi dalam disiplin ilmu ushul fiqh. Beliau mengemukakan bahwa disiplin ushul fiqh didasarkan pada prinsip “kulliyyah al-syar’iyah” (ajaran-ajaran universal dari agama) dan pada prinsip “al-maqasid al-syar’i” yang befungsi sebagai pembentuk unsur-unsur penalaran burhani. Sedangkan Ibn Khaldun menerapkan episteme burhani yang dituangkan dalam karyanya berjudul “al-Muqaddimah”. Pada awalnya, Ibn Khaldun menjelaskan riwayat hidup para pendahulu, kemudian menganalisis satu peristiwa ke peristiwa berikutnya dalam setiap babnya kemudian menarik kesimpulan dan pelajaran dari setiap kasus dan peristiwa itu. Jika dilihat, dalam kitab “al-Muqaddimah” tersebut, Ibn Khaldun ingin menunjukkan pengetahuan tentang bagaimana negara-negara dari awal terbentuknya hingga proses kejatuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Khaldun berusaha menjadikan sejarah sebagai ilmu Burhani. Sejarah yang ditulisnya adalah sejarah ilmiah yang berintikan “penelitian, penyelidikan, dan analisis yang mendalam akan sebab-sebab dan latar belakang terjadinya sesuatu. Selain itu sejarah juga berintikan pengetahuan yang akurat tentang asal usul, perkembangan serta riwayat hidup dan matinya kisah peradaban manusia”.[11]

4.      Perkembangan dan Metodologi Burhani
a.       Perkembangan Metodologi Burhani
Prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode analitik (tahlili), yaitu suatu cara berpikir yang didasarkan atas proposisi tertentu pada masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles, digunakan istilah logika dan ketika masuk pada khasanah pemikiran Islam berganti nama menjadi burhani. Cara berpikir analitik Aristoteles ini, masuk ke dalam pemikiran Islam pertama kali lewat program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa pemerintahan Al-Makmun.
Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode burhani adalah Al-Khindi. Namun, karena masih dominannya kaum bayani dan minimnya referensi maka metode burhani tidak begitu bergema. Metode burhani ini semakin berkembang dalam sistem pemikiran Islam Arab setelah masa Al-Rozi. Metode burhani akhirnya benar-benar mendapat tempat dalam sistem pemikiran Islam setelah masa Al-Farabi.[12]
b.      Metode pemikiran Burhani
Burhan adalah pengetahuan yang  diperoleh dari indra, percobaan dan hukum-hukum logika. Burhani  atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan  yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll) dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun tesk dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian.
Menurut Abid al-Jabiri, burhan dalam logika adalah aktivitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi dengan cara konklusi atau deduksi. Sedangkan dalam pengertian umum, burhan merupakan semua aktivitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi. Istilah burhani juga dipakai dalam pengertian yang cukup beragam.
Beberapa di antaranya;
a)      Cara atau jenis argumentasi
b)      Argumen itu sendiri
c)      Bukti yang terlihat dari suatu argumen yang menyakinkan.
Dalam bahasa lain, metode burhani atau demonstratif merupakan sebentuk inferensi rasional, yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan konklusi yang bernilai. Metode burhani atau demonstratif ini berasal dari filosof terkenal Yunani, yaitu Aristetoles. Apa yang dimaksudkan oleh Aristetoles dengan metode demonstratif ini adalah silogisme ilmiah, yaitu silogisme yang apabila seseorang memilikinya, maka orang tersebut akan memiliki pengetahuan. Menurut Aristetoles, silogisme merupakan seperangkat metode berfikir yang dengan silogisme tersebut, seseorang dapat menyimpulkan pengetahuan baru yang diperolehnya dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya.
Metode burhani pada dasarnya merupakan logika, atau metode penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari suatu pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan memerhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah. Tidak semua silogisme dapat disebut denga burhani atau demonstratif. Sebuah silogisme baru dikatakan sebagai demonstratif apabila premis-premisnya didasarkan bukan pada opini, melainkan didasarkan pada kebenaran yang telah teruji atau didasarkan kepada kebenaran utama. Ditinjau dari perspektif metodologi, burhani menggunakan logika (al-maqayis) sebagai metodologi.
Sementara dalam hal lain pandangan filosof al-Farabi, metode al-burhaniyah (demonstrasi) merupakan metodologi yang super canggih dibandingkan dengan metodologi-metodologi lainnya, seperti metodologi dialektika (jadaliyah), dan metodologi retorika (khatabbiyah). Jika metode retorika dan dialektika dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum, hal ini tidak berlaku bagi metode burhani. Burhani hanya mampu dikonsumsi oleh orang-orang tertentu.[13]
Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut al-‘Ilm al-Husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematiskan hanya melalui premis-premis logika. Metode burhani ini biasa digunakan dan dijumpai dalam filsafat paripatetik yang secara eksklusif mengandalkan deduksi rasional dengan menggunakan silogisme yang terdiri dari premis-premis dan konklusi. Metode ini dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.
 Berbeda dengan epistemologi bayani, epistemologi burhani menempatkan akal dalam otoritas kebenaran. Jika dalam epistemologi bayani setiap proses pemikiran pasti berangkat dari teks menuju makna, pada epistemologi burhani justru sebaliknya, yaitu makna lebih dulu lahir dari kata-kata. Maksud epistemologi Burhani adalah, bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiyah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar teks wahyu suci, yang memunculkan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan empiris; alam, sosial, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di laboratorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat sosial maupun alam. Corak berfikir yang digunakan adalah induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian empiris.
Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan silogisme. Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :
a)         Mengetahui latar belakang dari penyusun premis.
b)        Adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan.
c)         Kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar. [14]

5.      Karakteristik dan Unsur-unsur Metodologi Burhani
Dalam memandang proses keilmuan, kaum burhaniyun bertolak dari cara pikir filsafat dimana hakikat sebenarnya adalah  universal. Hal ini akan menempatkan “makna” dari realitas pada posisi otoritatif, sedangkan ”bahasa” yang bersifat partikular hanya sebagai penegasan atau ekspresinya. Hal  ini tampak sejalan dengan penjelasan al-Farabi bahwa “makna” datang lebih dahulu daripada “kata”, sebab makna datang dari sebuah pengkonpsesian intelektual yang berada dalam tataran pemikiran atau rasio yang diaktualisasikan dalam kata-kata. Al-Farabi memberikan pengandaian bahwa seandainya konsepsi intelektual itu letaknya dalam kata-kata itu sendiri, maka yang lahir selanjutnya bukanlah makna-makna dan pemikiran-pemikiran baru tetapi kata-kata yang baru.
Oleh karena itu, ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhani bermula dari proses abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti, sehingga disinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain, kata-kata adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir disamping sebagai simbol pernyataan makna.
Secara struktural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga hal: [15] pertama proses eksperimentasi yakni pengamatan terhadap realitas; kedua proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam pikiran; ketiga, ekspresi yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-kata. Berkaitan dengan cara ketiga untuk mendapatkan ilmu burhani di atas, pembahasan tentang silogisme demonstratif atau qiyas burhani menjadi sangat signifikan.
Dalam perspektif tiga teori kebenaran, maka kebenaran yang dihasilkan oleh pola pikir burhani tampak ada kedekatannya dengan teori kebenaran koherensi atau konsistensi. Dalam burhani menuntut penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan dan konsisten antara premis-premisnya, juga secara benar koheren dengan pengalaman yang ada, begitu pula tesis kebenaran konsistensi atau koherensi. Kebenaran tidak akan terbentuk atas hubungan antara keputusan dengan sesuatu yang lain, tetapi atas hubungan antara keputusan-keputusan itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan atas dasar hubungan antara keputusan baru dengan keputusan lain yang telah ada dan diakui kebenarannya serta kepastiannya sehingga kebenaran identik dengan konsistensi, kecocokan dan saling berhubungan secara sistematis.

Berikut unsur-unsur pokok metodologi Islam.
Struktur Fundamental
Metodologi Burhani
1.      Origin (sumber)
Nash/ Teks/ Wahyu (Otoritas Teks) al-Akhbar, al-Ijma’ (Otoritas Salaf) Al-’Ilm al-Tauqifi
2.      Methode (proses dan prosedur)
Ijtihadiyyah Istinbathiyyah/ Istintajiyyah/ Istidlaliyyah/ qiyasQiyas (Qiyas al-ghahib ‘ala al-syahid)
3.      Approach
Lughawiyyah (bahasa), Dalalah Lughawiyyah
4.      Theoretical Framework
al-Ashl-al-far’, Istinbathiyyah (pola pikir deduktif yang berpangkal pada teks), Qiyas  al-Ilah (Fi-kih), Qiyas al-dalalah (ka-lam),   al-Lafdz-al-Makna, ‘Am-khash, Mustarak, Haqiqah, Majaz, Muhkam, Mufassar, Zahir, Khafi, Musykil, Muj-mal, Mutasyabih
5.      Fungsi dan Peran Akal
Akal sebagai pengekang / pengatur hawa nafsu (lihat Lisan al-‘Arab Ibn Man-dzur), Justifikasi-Repeetitif-Taqlidi (pengukuh kebenaran/ otoritas teks), Al-‘Aql al-Diniy
6.      Type of Argument
Dialektik (Jadaliyyah); al-‘Uqul al Mtanafisah
Defensif – Apologetik – Polemik – Dogmatik Pengaruh pola Logika Stonic (bukan logika Aristoteles)
7.      Tolok Ukur Validitas Keilmuan
Keserupaan/ kedekatan antara teks (nash) dengan realitas
8.   Prinsip-Prinsip Dasar
Infishal (discontinue) = Atomistik
Tajwiz (keserbabolehan) = tidak ada hukum kausalitas, Muqarabah (kedekatan, keserupaan), Analogi deduktif; Qiyas
9.   Kelompok Ilmu-ilmu Pendukung
Kalam (Teologi), Fiqih (Jurisprudensi) Fuqaha; Ushuliyyun, Nahwu (Grammar); Balaghah
Selanjutnya secara singkat, tokoh-tokoh dunia Islam yang telah menerapkan metodologi burhani, adalah: 
a.       Ibnu Rusyd (kalam dan filsafat). Ibnu Rusyd berusaha menerapkannya dengan jalan/cara membela argument secara kausalitas. Ia menolak pandangan asy’ariyah tentang prinsip tajwiz (keserbabolehan) karena dianggap mengingkari hukum kausalitas, sama saja meruntuhkan bangunan burhani pada ilmu-ilmu alam termasuk metafisika atau ilmu ketuhanan secara burhani yang dibangun atas dasar proses penelusuran terhadap sebab-akibat sesuatu sebelum menuju kepada keputusan akhir; Allah swt.
b.      Al-Syatibi (ushul fiqh). Al-Syatibi mengemukakan bahwa usul fiqh didasarkan pada prinsip kulliyyah al-syari’ah (ajaran universal agama), dan prinsip almaqasid alSyari’, serupa dengan sebab akhir sebagai pembentuk unsur penalaran burhani.
c.       Ibn Khaldun (sejarah ilmiah). Sejarah ilmiah disini terdapat: penelitian, penyelidikan, dan analisis yang mendalam akan sebab dan latar belakang terjadinya sesuatu, selain itu mengandung asal-usul, perkembangan, riwayat hidup dan matinya kisah peradaban manusia.

6.      Logika Dalam Metodologi Burhani
Menurut sejarah munculnya metode pemikiran burhani. dasar logika yang paling berpengaruh di dalamnya adalah logika Aristoteles. Istilah logika ini sebenarnya muncul belakangan dan tidak pernah disebut oleh Aristoteles. Aristoteles sendiri memperkenalkan metode berpikirnya ini sebagai metode berpikir analitik. Logika Aristoteles sering disebut sebagai logika tradisionalis, logika formal, atau logika deduktif. Salah satu ajaran penting dalam logika Aristoteles adalah silogisme.
Silogisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu sullogismos yang merupakan bentukan dari kata sullegin yang artinya mengumpulkan, yang menunjukkan pada kelompok, penghitungan dan penarikan kesimpulan. Kata tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi qiyas atau tepatnya adalah qiyas jama’i yang karakternya mengumpulkan dua proposisi-proposisi (qadliyah) yang kemudian disebut premis, kemudian dirumuskan hubungannya dengan bantuan terminus medius atau term tengah atau menuju kepada sebuah konklusi yang meyakinkan. Metode ini paling populer di kalangan filsuf Peripatetik. Sementara Ibn Rusyd mendefinisikan demonstrasi dengan ketentuan dari satu argument yang konsisten, tidak diragukan lagi kebenarannya yang diperoleh dari premis yang pasti sehingga kesimpulan yang akan diperoleh juga pasti, sementara bentuk dari argument harus diliputi oleh fakta akali. Jadi silogisme demonstratif atau qiyas burhani yang dimaksud adalah silogisme yang premis-premisnya terbentuk dari konsep-konsep yang benar, yang meyakinkan, sesuai dengan realitas (bukan nash) dan diterima oleh akal. Aplikasi dari pembentukan silogisme ini harus melewati tiga tahap, yaitu: tahap pengertian (ma’qulat), tahap pernyataan (ibarat) dan tahap penalaran (tahlilat).[16]
Tahapan pengertian merupakan proses awal yang letaknya dalam pikiran sehingga di sinilah sebenarnya terjadi pengabstraksian, yaitu merupakan aktivitas berpikir atas realitas hasil pengalaman, pengindraan, dan penalaran untuk mendapatkan suatu gambaran. Sebagaimana Aristoteles, pengertian ini selalu merujuk kepada sepuluh kategori yaitu: satu substansi (jauhar) yang menopang berdirinya sembilan aksidensi (‘ard) yang meliputi kuantitas, kualitas, aksi, pasi, relasi, tempat, waktu, sikap dan keadaan.
Tahapan pernyataan adalah dalam rangka mengekspresikan pengertian tersebut dalam kalimat yang disebut proposisi (qadliyah).Dalam proposisi ini harus memuat unsur subyek (maudlu’) dan predikat (muhmal) serta adanya relasi antara keduanya, yang darinya harus hanya mempunyai satu pengertian dan mengandung kebenaran yaitu adanya kesesuaian dengan realitas dan tiada keragu-raguan dan persangkaan.
Untuk memperoleh sebuah pengertian dan tidak didasari keraguan atau persangkaan, maka pembuatan pernyataan harus mempertimbangan al-alfadz al-khamsah yang ada dalam isagoge Aristoteles atau yang biasa disebut dengan lima konsep universal yang terdiri dari jenis (genus) yakni konsep universal yang mengandung suatu pengertian yang masing-masing sama hakikatnya, nau’ (spises) yaitu konsep universal yang mengandung satu pengertian tetapi masing-masing hakikatnya berbeda, fasl (differentia) yaitu sifat yang membedakan secara mutlak, khas (propirum) atau sifat khusus yang dimiliki oleh suatu benda tetapi hilangnya sifat ini tidak akan menghilangkan eksistensi benda tersebut dan ard (aksidensi) atau sifat khusus yang tidak bisa  diterapkan pada semua benda.
Tahapan penalaran; ini dilakukan dengan perangkat silogisme. Sebuah silogisme harus terdiri dari dua proposisi (al-muqaddimatani) yang kemudian disebut premis mayor (al-hadd al-akbar) untuk premis yang pertama dan premis minor (al-hadd al-ashghar) untuk premis yang kedua, yang kedua-duanya saling berhubungan dan darinya ditarik kesimpulan logis.
Mengikuti Aristoteles, al-Jabiri dalam hal ini menegaskan bahwa setiap yang burhani pasti silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani. Silogisme yang burhani (silogisme demonstrative atau qiyah burhani) selalu bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan untuk tujuan tertentu seperti yang dilakukan oleh kaum sufistaiyah (sophis). Silogisme (al-qiyas) dapat disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga syarat: pertama, mengetahui sebab yang menjadi alasan dalam penyusunan premis; kedua, adanya hubungan yang logis antara sebab dan kesimpulan; dan ketiga, kesimpulan yang dihasilkan harus bersifat pasti (dharuriyyah), sehingga tidak ada kesimpulan lain selain itu. Syarat pertama dan kedua adalah yang terkait dengan silogisme (al-qiyas). Sedang syarat ketiga merupakan karakteristik silogisme burhani, dimana kesimpulan (natijah) bersifat pasti, yang  tak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian yang lain. Hal ini dapat terjadi, jika premis-premis tersebut benar dan kebenarannya telah terbukti lebih dulu ketimbang kesimpulannya, tanpa adanya premis penengah     (al-hadd al-awsath).[17]
Adapun Aristoteles menjelaskan silogisme dengan cara yang berbeda dengan metode silogisme yang telah disebutkan sebelumnya. Model silogisme yang disebutkan pada penjelasan metode-metode inferensi sebelumnya adalah silogisme yang dikenalkan oleh logika Stoik. Model silogisme Aristoteles serins disebut sebagai silogisme katagorik karena semua proposisinya katagorik. Silogisme terdiri dari beberapa komponen, yaitu premis mayor, premis minor, dan kesimpulan.




Di dalam istilah yang digunakan oleh Skolastik, terdapat beberapa bentuk silogisme :
a)      Bentuk pertama, term tengah (middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan menjadi predikat pada premis minor.
Contoh:
1.  Semua manusia fana, (premis   mayor)
Pak Eko adalah seorang manusia, (premis minor)
Pak Eko fana. (kesimpulan)
Model ini disebut Barbara.
2.  Tak ada ikan yang rasional. Semua hiu adalah ikan. Tak ada hiu yang rasional.
Model ini disebut Calerent.
3.  Semua manusia rasional. Sebagian makhluk hidup adalah manusia. Sebagian makhluk hidup rasional.
Model ini disebut Dani.
4.  Tak ada orang Yunani berkulit hitam. Sebagian manusia adalah orang Yunani. Sebagian manusia tak berkulit hitam.
Model ini disebut Ferio.
b)      Bentuk kedua, term tengah (middle term) menjadi predikat pada premis mayor dan premis minor.
Contoh :
Semua tumbuhan membutuhkan air.
Tidak sarupun benda mati membutuhkan air.
Tidak sarupun benda mati adalah tumbuhan.
c)      Bentuk ketiga, term tengah {middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan premis minor.
Contoh :
Setiap manusia mempunyai rasa takut. Tetapi setiap manusia adalah makhluk hidup. Sebagian makhluk hidup mempunyai rasa takut.


Berikut tambahan mengenai perbedaan dari 3 metodologi Burhani, Bayani dan Irfani :
Perbandingan Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani
Bayani
Irfani
Burhani
Sumber
Teks Keagamaan/ Nash
Ilham/ Intuisi
Rasio
Metode
Istinbat/ Istidlal
Kasyf
Talilili (analitik). Diskursus
Pendekatan
Linguistik
Psikho-Gnostik
Logika
Tema Sentral
Ashl-Furu’ Kata - Makna
Zahir - Batin Wilayah - Nubuwah
Essensi - Aksistensi Bahasa - Loaika
Validitas
Kebenaran
Korespondensi
Intersubjektif
Koherensi Konsistensi
Pendukung
Kaum Teolos, ahli Fiqli, ahli Bahasa.
Kaum Sufi
Para Filosof

















BAB III
KESIMPULAN
Dengan mengandalkan kekuatan olah rasio, burhani telah berjasa mengembangkan pemikiran dalam pendekatan studi Islam terutama pada zaman Islam klasik. Selain itu, telah membantu perkembangan metodologi lain, seperti bayani lewat pemikiran fiqh seperti yang dilakukan al-Ghazali (1058-1111 M) lewat al-mustashfa fi ulul al-fiqh, dan membantu metode irfani seperti yang terjadi pada Ibn Arabi(1165-1240 M) lewat uraiannya tentang wahdat al-wujud. Ia bahkan masih merupakan penopang utama bagi metodologi berikutnya, isyraqiyah dan al-hikmah al-muta’aliyah. Aristoteles pernah mengatakan, burhani bisa menyusun (mengembangkan) metode dan pemikiran lain tapi ia tidak bisa disusun dari metode dan faktor lain.
Metode burhani pada dasarnya merupakan logika, atau metode penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari suatu pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan memerhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah. Sementara dalam hal lain pandangan filosof al-Farabi, metode al-burhaniyah (demonstrasi) merupakan metodologi yang super canggih dibandingkan dengan metodologi-metodologi lainnya, seperti metodologi dialektika (jadaliyah), dan metodologi retorika (khatabbiyah). Jika metode retorika dan dialektika dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum, hal ini tidak berlaku bagi metode burhani. Burhani hanya mampu dikonsumsi oleh orang-orang tertentu.
Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut al-‘Ilm al-Husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematiskan hanya melalui premis-premis logika. Metode burhani ini biasa digunakan dan dijumpai dalam filsafat paripatetik yang secara eksklusif mengandalkan deduksi rasional dengan menggunakan silogisme yang terdiri dari premis-premis dan konklusi. Metode ini dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.







DAFTAR PUSTAKA
A Partanto, Pios, dan M. dahlan al barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya: Penerbit Arkola, 1994)
Abed al-Jabiri, Muhammad, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: Markaz ad-Dirasat Wahdah al-‘Arabiyah, 2007)
Al- Jabiri, Isykaliyat al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir, (Beirut: Markaz Dirasah al-Arabiyah, 1989)
A.Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam”, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim, (editor), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacara, 1989
Bagus, Loren, Metafisika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991)
Fanani, Muhyar, Metode Studi Islam, aplikasi sosiologi pengetahuan sebagai cara pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Jamhari, “ Kontribusi Metodologis Muhammad Abed Al-Jabiri dalam Studi Islam”. Vol. 1 No. 1 2017
Jujun,  S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985)
Khodori Soleh, Achmad, M. Abid al-Jabiri: Model Epistemologi Islam”, dalam “Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003)
Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
Nasution, Harun, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, 1998)
Purwanto, Yadi, Epistemologi Psikologi Islami; Dialektika Pendahuluan Psikologi Barat dan Psikologi Islami, (Bandung: Refika Aditama, 2007)
Rahmat, Jalaludin, Hikmah Muta’aliyah Filsafat Pasca Ibn Rusyd, Jurnal Al-Hikmah (Bandung, edisi 10, September 1993)
Rusyd, Ibn, Fashl al-Maqal Fima Bain al-Hikam wa al-Syariah min al-Ittishal, edit. M. Imarah, (Mesir: Dar al-Ma’rifat)
Saduloh, Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009)



[1] Jamhari, “ Kontribusi Metodologis Muhammad Abed Al-Jabiri dalam Studi Islam”. Vol. 1 No. 1 2017, hlm. 19.

[2] Harun Nasution, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, 1998), hlm. 59.  
[3] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, aplikasi sosiologi pengetahuan sebagai cara pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. ix.
[4] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, aplikasi sosiologi pengetahuan sebagai cara pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.  ix.
[5] Pios A Partanto dan M. dahlan al barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya: Penerbit Arkola, 1994), hlm. 462.
[6] Jujun,  S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm. 139.
[7] Loren Bagus, Metafisika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 37-40.
[8] Uyoh Saduloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 31-32.
[9] Achmad Khodori Soleh, M. Abid al-Jabiri : Model Epistemologi Islam, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003), hlm. 250.
[10] Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: Markaz ad-Dirasat Wahdah al-‘Arabiyah, 2007), hlm. 416-417.
[11] Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal Fima Bain al-Hikam wa al-Syariah min al-Ittishal, edit. M. Imarah, (Mesir: Dar al-Ma’rifat), hlm. 56.
[12] Yadi Purwanto, Epistemologi Psikologi Islami; Dialektika Pendahuluan Psikologi Barat dan Psikologi Islami, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 97.
[13] A.Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam”, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim, (editor), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacara, 1989), hal. 44.
[14] Achmad Khodori Soleh, M. Abid al-Jabiri : Model Epistemologi Islam”, dalam dalam “Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003), hlm. 250.
[15] Jalaludin Rahmat, Hikmah Muta’aliyah Filsafat Pasca Ibn Rusyd, Jurnal Al-Hikmah (Bandung, edisi 10, September 1993), hlm. 78.
[16] Ahmad Khudori Sholih, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 112.
[17] Al- Jabiri, Isykaliyat al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir, (Beirut: Markaz Dirasah al-Arabiyah, 1989), hlm. 59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar