Sabtu, 22 Desember 2018

Pendekatan Antropologis dalam Islamic Studies



PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
Makalah
Mata Kuliah : Pendekatan Ilmu-ilmu Keislaman
Dosen Pengampu : Dr. H Sholihan, M.Ag

Description: G:\Logo 3D UIN Walisongo.png


PROGRAM MAGISTER ILMU AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UIN WALISONGO SEMARANG
2018









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agama sangat terbuka bagi lintas keilmuan yang disandingkan denganya. Dalam hal ini agama bisa memberikan pandanganya mengenai satu keilmuan atau hadir sebagai objek kajian. Banyak pendekatan keilmuan yang digunakan dalam mengkaji agama, salah satunya menggunakan pendekatan antropologi. Dengan menggunakan metode tersebut, pengkaji dapat menggunakannya sebagai salah satu piranti untuk memahami agama dengan cara melihat wujud pengejawentahan dari sikap keagamaan, baik berupa perilaku ataupun simbol-simbol yang berkembang di masyarakatnya.
Kajian dengan menggunakan metode pendekatan antropologis ini dibutuhkan, sebab beberapa elemen agama bisa dijelaskan dengan tuntas dengan teori-teori yang ada di dalamnya. Artinya, dalam memahami agama manusia tidak hanya menggunakan metode bayani, burhani, atau irfani saja. Melainkan ada metode-metode lain di luar metode islam klasik. Selain pendekatan islam klasik, selama ini pendekatan  yang sering digunakan juga  antara lain pendekatan teologis, historis, normatif, dan filosofis.[1]

Beberapa hal yang ditawarkan dalam pendekatan ini adalah mendeskripsikan  pengaruh agama dalam mempengaruhi dan membentuk struktur tatanan sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, dsb. Dengan dibuktikan melalui simbol-simbol yang diembanya dan hadir dalam praktik kehidupan penganutnya. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa agama mempunyai korelasi dengan berbagai elemen kehidupan manusia/masyarakat.[2]

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan metodologi antropologi?
2.      Bagaimana kilas sejarah dari pendekatan antropologis?
3.      Apa saja sub bidang kajian antropologi?
4.      Apa pijakan paradigmatik-teoritis dari pendekatan antropologis?
5.      Bagaimana langkah-langkah praktis-metodis dari pendekatan antropologis?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Metodologi Antropologi
Istilah metodologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata methodos dan logos. Methodos berarti cara, kiat, dan seluk beluk yang berkaitan dengan upaya menyelesaikan sesuatu. Sementara logos berarti ilmu pengetahuan, cakrawala, dan wawasan. Dengan demikian, metodologi bisa diartikan “ilmu atau teori tentang” yaitu pengetahuan tentang metode atau cara kerja suatu ilmu yang berlaku dalam sebuah kajian.[3]
Sedangkan Antropologi secara bahasa, tersusun dari dua kata yaitu, anthropos dari bahasa latin yang berarti manusia, dan logos dari bahasa yunani yang berarti ilmu. Antropologi adalah ilmu yang berbicara tentang manusia. Sedangkan secara istilah Antropologi diartikan sebagai: Ilmu tentang manusia khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya pada masa lampau.[4]
Beberapa pengertian antropolgi yang dikemukakan antropolog yaitu;
a)      William A. Havilland: Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.[5]
b)      Koentjaraningrat: Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang di hasilkan.[6]
c)      Ahmad Akbar S: Antropologi adalah salah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu sosial yang memfokuskan kajianya pada manusia. Hasil kajianya didasarkan atas observasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan menetralkan nilai, dan analisis yang tidak memihak.[7]
Dari pengertian di atas dapat difahami bahwasanya Antropologi adalah ilmu yang mempelajari beberapa aspek kehidupan manusia, adapun penekanan objek kajianya dititik beratkan pada aspek sejarah dan perkembangan manusia sebagai makhluk sosial, sejarah terjadinya warna kulit dan bentuk fisik manusia sebagai ciri-ciri tubuhnya, penyebaran bahasa yang digunakan seluruh manusia di dunia, penyebaran budaya manusia di dunia dan semua pernak pernik yang ada di dalamnya. Antropologi sebagai sebuah metodologi pada akhirnya dapat dipinjam ilmunya yang selanjutnya  digunakan untuk meneliti tentang agama dan kepercayaan.

B.     Sekilas Sejarah Pendekatan Antropologi
Antropologi sebagai disiplin ilmu mempunyai sejarah panjang atas kemunculanya. Dari sekian banyak ahli, mereka berpendapat bahwa ilmu ini muncul pada pertengahan abad ke-19 di Inggris[8]. Pendapat ini benar adanya karena pada abad ini perhatian dunia ilmiah sangat besar, akan tetapi secara garis besar sejarah perkembangan antropologi terbagi menjadi empat fase.
Fase pertama: Koentjoroningrat menjelaskan bahwa fase ini terjadi sebelum tahun 1800 M. Suku dan penduduk peribumi Afrika, Asia, dan Amerika didatangi oleh orang Eropa Barat pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Dalam kurun waktu sekitar 4 abad, berbagai daerah di bumi mulai terkena pengaruh dari orang-orang Eropa Barat. Dari kejadian ini, muncul buku-buku laporan dan kisah perjalan mereka ke berbagai daerah di muka bumi. Adapun karakteristik dari tulisan data pada masa ini sebagai berikut;
a.       Tulisan laporan dan kisah perjalanan tersebut kebanyakan ditulis oleh musafir, pendeta penyiar agama nasrani, penerjemah injil, pelaut, dan pegawai dari pemerintah jajahan.
b.      Buku laporan perjalanan tersebut di dalamnya berisi penjelasan tentang bahasa, susunan masyarakat, adat istiadat, dan ciri fisik dari beraneka warna suku bangsa orang Afrika, Asia, Oseania, dan suku Indian yang berada di Amerika. Pada akhirnya pengetahuan tadi disebut etnografi, yaitu deskripsi tentang bangsa-bangsa yang mana seorang yang mengkajinya melakukan observasi dengan cara hidup ditengah-tengah objek kajianya.[9]
c.       Penjelasan yang diberikan dari himpunan laporan perjalanan itu sering kali tidak teliti. Kebanyakan hanya memperhatikan hal-hal yang dalam mata orang eropa tampak aneh, walaupun demikian tentu tidak semua karangan yang tulisanya kabur (tidak teliti) akan tetapi ada juga karangan yang baik dan lebih teliti sifatnya.
Dari hasil pencatatan etnografi dari para musafir, kemudian pada abad ke-18 memunculkan tiga pandangan orang Eropa atas respon keanehan dari suku bangsa Afrika, Asia, Oseania, dan Indian, yaitu;
1)      Sebagian orang Eropa memberikan stigma negatif atas bangsa-bangsa yang jauh tadi, mereka berpandangan bahwa bangsa-bangsa tadi bukan manusia sebenarnya. Mereka menyebut bangsa-bangsa tadi sebagai manusia liar dan turunan iblis. Dengan demikian muncul istilah savages dan primitives yang digunakan bangsa Eropa untuk menyebut  bangsa-bangsa tadi.
2)      Sebagian orang Eropa memandang sifat-sifat baik dari bangsa-bangsa jauh tadi, mereka berpendapat bahwa bangsa-bangsa jauh tadi merupakan bangsa yang masih murni yang belum terkontaminasi oleh budaya kejahatan dan keburukan seperti bangsa Eropa Barat pada waktu itu.
3)      Sebagian orang Eropa Barat tertarik dengan adat-istiadat suku bangsa jauh tadi, oleh karena itu mereka mulai mengumpulkan benda-benda kebudayaan dari Afrika, Asia, Oseania, dan Indian. Kemudian setelah benda itu terkumpul mereka memperlihatkan ke muka umum yang selanjutnya lahir museum-museum kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa.[10]
Fase kedua: fase ini terjadi sekitar pertengahan abad ke-19. Adapun karakteristik pemabahasan pada fase ini adalah;
a.       Munculnya cara berfikir evolusi dari hasil pengembangan kajian etnografi yang dibuktikan beberapa karangan pada tahun 1860 M. Dalam karangan tersebut memberikan deskripsi tentang klasifikasi bahan aneka warna kebudayaan di seluruh dunia dan penyebaranya.
b.      Munculnya teori kelaster sosial, yang mana menurut pandangan orang Eropa Barat budaya tertinggi (moderen) adalah budaya mereka, sedangkan budaya bangsa-bangsa jauh masuk kategori rendah atau primitif. Menurut para pengkaji, evolusi ini terjadi sangat lambat yang membutuhkan waktu beribu-ribu tahun lamanya. Kemudian budaya yang primitif tadi akan  berevolusi pada tingkat-tingkatnya. Tujuan mempelajari budaya primitif tidak lain supaya mengetahui tingkat-tingkat kuno dalam pandangan sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Di antara tokoh yang menuliskan tentang pembahasan ini adalah Edward Burnett Taylor (1832-1917 M) dengan bukunya yang berjudul Primitive Culture, dengan penemuanya yang fenomenal yaitu teori ‘animisme’ sebagai teori awal yang merespon agama sebagai gejala kebudayaan. George Frazer (1894-1941 M) dengan bukunya yang berjudul The Golden Bought yang menemukan teori magic, dalam skema evolusinya dia mengemukakan rasionalisme sejarah manusia melewati tiga fase yaitu, magic, agama, dan ilmu.[11] Selain mereka berdua ada tokoh yang bernama R.R. Marett penemu teori ‘dinamisme’.[12]
c.       Secara tidak langsung dengan melihat karangan-karangan di atas, benih-benih penilitian terhadap agama dan kepercayaan dengan menggunakan pendekatan antropologi sudah mulai diterapkan dibuktikan dengan munculnya teori animisme, dinamisme, dan magi.
Fase ketiga: permulaan abad ke-20 antropologi mempunyai kedudukan yang spesial di mata penjajah, bahkan ada anekdot yang menyinggung hubungan antropologi dan penjajahan/ kolonialisme. “Akibat kolonialisme,” bahkan Levi-Strauss mengatakan, jika penjajahan atau kolonialisme tidak ada maka tumbuh kembangnya antropologi akan terambat.[13] Pada fase ini bisa dikatakan kedua belah pihak antara antropolog dan kolonialis saling membutuhkan satu sama lain, satu sisi antropolog membutuhkan dana penelitian karena universitas belum mengakui disiplin ilmu ini.[14] Sedangkan kolonialis membutuhkan informasi tentang daerah jajahan mereka, karena dalam antropologi berkembang ilmu etnografi yang mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa. Karakteristik fokus kajian antropolgi pada fase ini adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku bangsa yang terjajah di luar eropa guna kepentingan pemerintah penjajah atau kolonial dan guna mendapat suatu pemahaman tentang masyarakat masa kini yang kompleks dan tidak kompleks.
Fase keempat: Kira-kira sesudah tahun 1930 M, pada fase ini ilmu antropologi berkembang sangat luas, hal ini dibuktinan dengan bertambahnya pengetahuan yang lebih teliti, maupun ketajaman dari metode-metode ilmiah yang digunakanya. Di samping itu terlihat ada perubahan di dunia saat itu:
1)      Timbulnya antipati terhadap penjajahan/kolonialisme usai perang dunia ke dua.
2)      Cepat hilangnya bangsa-bangsa primitif (dalam arti bangsa-bangsa asli yang terpencil jauh dari pengaruh Eropa-Amerika) yang sekitar tahun 1930 M sudah mulai sirna, dan sesudah perang dunia ke dua memang hampir tak ada lagi di muka bumi ini.
Proses tadi menyebabkan seolah-olah ilmu antropologi kehilangan objek kajian, dan dengan demikian para antropolog terdorong untuk membuka objek-objek kajian dengan pokok tujuan yang baru. Adapun warisan keilmuan dari fase-fase pertama, kedua dan ketiga yang berupa etnografi dan banyak metode ilmiah itu tentu tidak dikesampingkan begitu saja. Melainkan pada fase ini dipakai sebagai landasan bagi perkembangan ilmu antropologi yang baru. Adapun karakteristik yang membedakan pada fase-fase sebelum ini adalah;
a.       Meninjau dan merumuskan pokok tujuan dan ruang lingkup dari ilmu antropologi yang baru. Hal itu dibuktikan ketika 60 orang ahli antropologi Amerika dan Eropa (termasuk Uni Soviet) yang mengadakan pertemuan untuk membahas akan hal ini.
b.      Pokok sasaran penilitan tidak hanya berfokus pada suku bangsa primitif di luar Eropa saja, melainkan sudah beralih pada manusia pedesaan pada umumnya ditinjau dari sudut aneka warna fisiknya, masyarakatnya, serta kebudayaanya. Selain itu fokus kajianya tidak hanya pada suku pedesaan luar Eropa saja melainkan suku pedesaan di Eropa, dan beberapa penduduk kota kecil di Amerika Serikat.
Dengan demikian tujuan ilmu antropologi dalam fase keempat ini dapat dibagi menjadi dua yaitu tujuan akademikal dan tujuan praktis. Tujuan akademikal ilmu antropologi adalah: mencapai pengertian tentang manusia pada umumnya dengan mempelajari berbagai macam warna kulitnya, bentuk fisiknya, masyarakat, serta kebudayaanya. Karena di dalam praktek ilmu antropologi biasanya mengkaji masyarakat suku-bangsa, maka tujuan praktis dari ilmu antropologi: mempelajari manusia dalam aneka rupa warna masyarakat suku-bangsa, guna untuk membangun suku-bangsa itu.[15]


C.    Sub Bidang Kajian Antropologi
Secara garis besar antropologi dibagi menjadi tiga bidang, yaitu antropologi fisik, antropologi budaya, dan antropologi sosial.[16] Berikut rincian penejalasan dari masing-masing bidang;

1.            Antropologi Fisik: ilmu ini mengkaji keanekaragaman ciri fisik manusia serta perkembanganya. Sedangkan ciri fisik itu setidaknya meliputi warna kulit, bentuk rambut, badan, tinggi badan, ukuran tengkorak, otak, juga anggota tubuh lainya seperti golongan darah dan sebagainya. Pengelompokan fisik tersebut disebut ras. Contoh ras yang ada di dunia ini misalnya mongoloid yang meliputi negara cina, jepang, korea, dan lainya. Ciri khas ras dari negara-negara ini berkulit kuingn, mata sipit, dan tinggi badanya pendek.
Termasuk dalam ranah pembahasan antropologi fisik yaitu Paleo-antropologi dalam ilmu ini yang dipelajari adalah asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil.[17]
2.            Antropologi Budaya: ilmu ini mengkaji manusia dalam ranah kebudayaan yang dimilikinya. Baik yang berupa bahasa, tulisan, kesenian, sistem pengetahuanya, perilaku, maupun cara hidupan manusia di masyarakat. Pada akhirnya antropologi budaya mempunyai cabang keilmuan, di antaranya adalah etnolinguistik atau yang dikenal juga dengan sebutan antropologi linguistik. Objek kajian ilmu ini adalah bahasa, bahkan daftar kata-kata dan pelukisan tentang ciri bahasa dari berbagai macam suku-bangsa yang tersebar di muka bumi.
Selain itu ada Ethnologi: ilmu ini mempelajari asas kebudayaan manusia yang masuk didalam kehidupan masyarakat dari suatu suku bangsa di muka bumi, baik memahami cara berpikir ataupun cara berprilaku. Barth menyatakan bahwa untuk mengenali suatu kelompok etnik tidak hanya dari budayanya saja melainkan juga memperhatikan perilaku mereka.[18]
Termasuk cabang dari antropologi budaya adalah arkeologi yang merupakan sub ilmu dari prehistori. Prehistori adalah ilmu yang mengkaji sejarah perkembangan dan penyebaran semua kebudayaan umat manusia di dunia pada zaman manusia sebelum mengenal huruf ataupun tulisan.
Sedangkan Arkeologi dalam pengertian yang paling sederhana adalah ‘to write history from surviving material source,’ yaitu ilmu yang mempelajari kebudayaan manusia masa  lalu dengan menggunakan kajian yang sistematis atas data benda-benda yang ditinggalkan untuk menguraikan dan menjelaskan perilaku manusia.[19] Misalnya penemuan artefak (budaya bendawi, seperti kapak batu dan bangunan candi) dan ekofak (benda lingkungan, seperti batuan, rupa muka bumi, dan fosil), dari penemuan ini arekolog akan mengkaji penemuan ini lalu menginterpretasikan hasil temuanya. Fokus kajian arekologi sebetulnya adalah masa pra sejarah, tetapi pada perkembanganya mereka juga meneliti tinggalan dari masa sejarah. Tidak hanya berhenti sampe situ, arkeologi juga mempelajari budaya masa kini pada kajian bendawi moderen (modern material culture).[20]
3.            Antropologi sosial disebut juga dengan generalizing approach yang menekankan pada upaya untuk menemukan prinsip-prinsip kesamaan di belakang berbagai ragam kelompok etnik/ masyarakat dengan kebudayaan berbeda-beda yang tersebar di muka bumi ini.[21] Menurut C. Kluckholn, antropologi sosial mengkaji tujuh objek unsur budaya unversal yaitu sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem sosial, sistem religi, sistem kesenian, dan sistem bahasa. Melalui generalizing approach ini, pada akhirnya muncul berbagai macam sub bidang di dalam kajian antropologi, misalnya antropologi ekonomi, antropologi politik, dan antropologi agama.[22]

D.    Pijakan Paradigmatik-Teoritis Pendekatan Antropologi
Antropologi sebagai metodologi berusaha untuk mengkaji sistem-sistem yang berkaitan dengan kehidupan manusia, masyarakat, serta budayanya. Sehingga ini menjadi penting untuk memahami agama. Karena kajian agama melalui tinjauan antropologi dapat difungsikan sebagai salah satu usaha untuk memahami agama dari sudut pandang wujud praktik keagamaan (tindakan, perilaku)  yang  tumbuh dan berkembang di masyarakat.[23]
Dalam hal ini Middleton (seorang antropolog) mengungkapkan agama berbeda dengan keagamaan, keduanya tidak sama. Agama dapat dikaji dari beberapa sudut pandang seperti teologis, historis, komparatif, dan psikologis. Sedangkan sistem keagamaan adalah sistem sosiologis, suatu aspek organisasi sosial, dan hanya dapat dikaji secara tepat jika karakteristik itu diterima sebagai titik tolak. Maka dalam hal ini muncul istilah ‘research on religion’ (penelitian agama) dan ‘religious research’ (penelitian keagamaan).
Dari pemaparan Middleton di atas dapat dipahami bahwa ‘penelitian agama’ berarti agama sebagai doktrin sedangkan ‘penelitian keagamaan’ berarti agama sebagai gejala sosial. Dalam hal ini bisa dipahami bahwa yang terkait dengan pendekatan antropologi adalah ‘penelitian keagamaan.’[24] Karena antropologi digunakan untuk mengkaji agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Yang perlu dicatat dalam penggunaan agama sebagai objek penelitian budaya, bukan berarti agama adalah produk budaya manusia. Sebagian agama seperti islam, kristen, dan yahudi tetap diyakini sebagai wahyu dari Tuhan.[25]
Nur Cholis Majid menambahi, pendekatan antropologi penting untuk memahami agama islam, karena pada konsep khalifah, manusia mempunyai posisi penting dalam agama Islam. Posisi penting manusia dalam Islam mengindikasikan bahwa persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusianya. Karena persoalan-persoalan yang dihadapi manusia pada hakikatnya adalah persoalan agama yang sebenarnya.
Selaras dengan Nur Cholis Majid, Emil Durkheim menjelaskan tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial. Manusia sebagai komponen dari agama mempraktekan nilai-nilai yang ada dalam agama, sehingga ketika agama mengajarkan tentang kemanusiaan, maka sudah tentu solidaritas sosial itu akan terwujud. Di sini agama tampak akrab dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berusaha menjelaskan serta memberikan jawabanya.[26]
Secara umum kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis, yang tiga di antaranya lahir dari pemikiran Emile Durkheim yaitu structuralist, functionalist, dan symbolist. Dengan ketiga teori yang tetulis di dalam bukunya yang berjudul The Elementary Forms of the Religious Life tersebut Durkheim berhasil mengilhami banyak orang dalam memandang agama.
Adapun keempat teori tersebut yaitu structuralist, functionalist, symbolist, dan intellectualist;[27]
·         Structuralist: penilaian suatu kebudyaan berdasarkan ukuran kebudayaan lain, pada hakikatnya merupakan imbas dari positivistik, yang menganggap budaya satu etnis lebih tinggi daripada etnis lain, dengan menggunakan tolak ukur budaya etnis lain itu. Dalam buku madzhab-madzhab antropologi Nur Syam mencontohkan perbandingan dua tradisi antara jawa dan sunda yang saling mengunggulkan. Misalnya dalam hal berpakaian, cara makan dan minum, dan cara berpakaian anatara dua suku tersebut.[28]
·         Funcsionalist: menyatakan bahwasanya kebudayaan merupakan proses keterkaitan pengaruh satu subsistem atas subsistem lainya. Contohnya adalah sebagaimana agama mempengaruhi terhadap kehidupan manusia.[29]
Penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz dalam bukunya yang fenomenal The Religion of Java kita bisa melihat hubungan agama dengan sosial organization, dari hasil penelitianya dengan menggunakan pendekatan antropologi dia mengklasifikasikan orang islam di mojokuto Jawa Timur dengan tiga macam yaitu santri, abangan, dan priyayi. Meskipun nantinya pandangan ini dibantah oleh sebagian kalangan yang mengatakan priyayi merupakan status sosial, yang tidak menutup kemungkinan seorang priyayi juga santri, petani yang dikatakan sebagai contoh yang mewakili dari kaum abangan pada realitasnya sebagian dari mereka juga santri. Tetapi penelitianya merupakan bukti penting untuk memahami agama dengan cara lain, di antaranya menggunakan pendekatan antropologi.[30]
·         Symbolist: kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai pedoman atau penginterpretasi keseluruhan tindakan manusia, kebudayaan adalah pedoman bagi keidupan masyarakat yang diyakini kebenaranya oleh masyarakat tersebut.[31]
Contoh dalam hal ini seperti yang dilakukan Victor Turner yang meneliti kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu, Afrika. Dia memandang bahwa ritual merupakan simbol yang digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan kebersamaannya. Bagi masyarakat Ndembu ritual adalah tempat menransendenkan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Dengan demikian, dia menginterpretasikan fungsi ritual menjadi empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual sebagai upaya untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) antar warga masyarakat. Kedua, ritual sebagai penutup jurang perbedaan yang disebabkan oleh friksi dalam suatu masyarakat. Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan hubungan yang akrab. Keempat, ritual sebagai sarana untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Turner berpandangan bahwa ritual tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, tetapi sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.

·         Intellectualist: Mencoba melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangannya (religious development) dalam suatu masyarakat. Misalnya E.B. Tylor yang berupaya mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural, yang menunjukkan generalisasi realitas agama dari animisme hingga agama monoteisme. Lain halnya dengan Mircea Eliade yang mengatakan bahwa agama menunjukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan animisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Pendapat ini berbeda dengan hipotesis Max Muller yang berpandangan bahwa agama bermula dari monoteisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak.[32]

E.     Langkah-Langkah Praktis-Metodis dalam pendekatan antropologis
William A. Haviland menjelaskan bagaimana seorang antropolog bekerja. Dalam bukunya dia menjelaskan bahwa seorang antropolog berusaha merumuskan dan menguji hipotesis, mereka mencoba menjelaskan fenomena yang mereka amati. Dengan menggunakan cara ini mereka berharap mendapatkan sistem hipotesis yang telah teruji atau teori. Meskipun mereka sadar bahwasanya tidak ada hipotesis yang tidak bisa dibantah. Untuk menyusun hipotesis  seobyektif dan sebebas mungkin dari prasangka kebudayaan, kekhususan ahli antropologi ialah bahwa mereka mengembangkanya dengan cara hadir di lapangan secara langsung, dan membiasakan diri dengan cara berinteraksi pada keadaan yang sekecil-kecilnya, sehingga dalam keadaan seperti itu mereka mulai dapat mengenali berbagai pola yang terdapat pada datanya. Juga dengan kerja lapangan, antropologi menguji hipotesis yang ada.[33]
Bahkan seorang ahli etnologi ketika meneliti, mereke berdialog menggunakan bahasa objek yang ditelitinya, selain itu dia juga memakan makanan yang dimakan oleh objek penelitianya, sehingga seorang etnolog dapat memahami cara hidup suatu masyarakat dengan baik. Menurut antropolog Inggris, C.G. Seligman “penelitian lapangan dalam antropologi itu sama fungsinya seperti darah para martir untuk gereja.”[34]
Selaras dengan William, Dawam rahardjo juga mengatakan bahwa tugas antropolog selain membangun hipotesis, dia melakukan pengamatan secara langsung dalam bingkai partisipatif. Maka dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pendekatan sosiologis. Penelitian antropologis yang induktif, yaitu dengan cara turun ke lapangan tanpa berpijak pada atau setidak-tidaknya dengan upaya pembebasan dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana dilakukan di bidang sosiologis.[35] Sehingga dapat dipahami skema kerja penelitian dari pendekatan antropologi ini sebagai berikut;
a.       Membangun hipotesis
b.      Menggunakan pendekatan induktif dengan teknik observasi partisipasif
c.       Menguji hipotesis pada objek penelitianya
d.      Teori
Ketika mengkaji agama Islam misalnya, seorang antropolog perlu membangun hipotesis dengan menawarkan sebuah asumsi, setidaknya dalam hal ini ada tiga model. Pertama, menggunakan model kajian pertemuan budaya lokal dan agama Islam yang sekian lama telah berproses. Model ini telah dilakukan oleh Kuntowijoyo ketika dia mengatakan Islam sebagai agama rakyat (popular religion). Yang kedua menggunakan model kajian tentang corak suku etnis dan bahasa masyarakat Muslim. Dan yang ketiga menggunakan model kajian Islam lintas wilayah dan budaya.[36]
Asumsi pertama dengan menggunakan model kajian pertemuan budaya lokal dan agama Islam, yang mana Islam hidup bersama masyarakat. Bahkan Islam sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam satu masyarakat, sehingga Islam bisa dikatakan menjadi inti kebudayaan yang terwujud dan mengejawantahkan sebagai nilai budaya dari budaya masyarakat yang bersangkutan.[37]
Asumsi kedua dengan menggunakan corak suku etnis dan bahasa masyarakat muslim. Dalam hal ini bisa dicontohkan pada penggunaan bahasa masyarakat muslim yang ada Indonesia khususnya jawa yang mana ketika Islam datang lalu mewarnai bahasa sehari-hari masyarakat. Agus Sunyoto dalam bukunya mengistilahkan Islamisasi istilah Kapitayan dan Hindu-Budha. Dalam hal ini Agus Sunyoto dengan pendekatan  etno linguistik menyatakan: Islam memberikan padanan makna terhadap bahasa lokal, yang kedua mengganti dan menyerap istilah, dan yang ketiga mengambil alih secara utuh anasir-anasir tradisi keagamaan Syiwa-Budha dan Kapitayan ke dalam adat masyarakat Islam.
Adapaun contoh dari padanan bahasa sebagai berikut; Allahu Rabbul Alamin menjadi Gusti Kang Murbeng Dumadi, Nabi Muhammad menjadi Kanjeng Nabi, al alim menjadi kyai, shalat menjadi sembahyang, mushalla menjadi langgar. Sedangkang contoh dari penyerapan istilah sebagai berikut; Ridha menjadi lila, tawadhu’ menjadi andap asor, tawakkal menjadi ngalah. Dan yang ketiga dari anasir yang telah diambil secara utuh fungsi tradisinya misalnya Bdehug, sebelum Islam datang alat ini digunakan sebagai tambur tengara waktu sembahyang di sanggar kapitayan atau vihara budha. Tetapi ketika Islam datang benda tersebut digunakan sebagai tengarai masuknya waktu shalat di masjid.[38]
Model kajian Islam lintas budaya: pemahaman manusia atas agama sudah barang tentu dipengaruhi oleh budaya di daerahnya masing-masing. Berangkat dari asumsi ini seorang antropolog akan mengkaji dengan teknik observasi partisipatif yaitu hadir secara langsung pada objek kajianya. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Clifford Geertz dia hadir di Indonesia untuk melakukan kajian komparatif yang mana dia membandingkan Islam di Indonesia dan Maroko. Setelah melalui pengamatan secara langsung dia membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, dalam hal ini berbeda dengan Islam gaya Maroko yang lebih agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan bahwa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.[39]












BAB III
KESIMPULAN
Robert Gordon (Antropolog Namibia) mengatakan: “Kalau ilmuan sosiologi atau politik mengamati keindahan bunga tangkai demi tangkai, maka ahli antropologi adalah orang yang berdiri di puncak gunung dan memandang keindahan medan. Dengan lain perkataan dia ingin memperoleh prespektif yang lebih luas.”[40]
Islam sebagai agama  sangat terbuka untuk objek penelitian ataupun memberikan cara pandang. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk memahami agama dari sudut pandang manusianya adalah antropologi, dengan ini secara tidak langsung agama akan diteliti secara objektif berdasarkan pijakan berpikir para antropolog. Memandang agama sebagai fenomena budaya, memberikan makna beragama terdalam, yaitu meningkatkan kesadaran kolektif masayarakat tentang arti penting agama dalam kehidupan sosial kemasayarakatan. Selain itu juga muncul  upaya-upaya, baik individual maupun kebersamaan, untuk mengurangi ataupun menghilangkan tentang adanya potensi ketegangan atau antagonisme.
Mengkaji agama menggunakan pendekatan antropologi sekiranya lebih bisa menggambarkan peran pengikutnya (manusia) dalam memahami dan melakukan tindakan keagamaanya. Dalam hal ini agama bisa dikatakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sudah barang tentu agama sering hadir sebagai faktor penentu dalam perekat masyarakat juga pemersatu bangsa.












DAFTAR PUSTAKA
·         Amri, Emizal, “Antropologi Sosial Budaya,” Diakses pada tanggal 28 Oktober 2018, http://sosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI%20SOSBUD.pdf
·         Baharun, Hasan, dkk, Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokoh Dalam Membumikan Agama, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2016)
·         Berutu, Ali Geno, Pendekatan Antropologi  David N Gellner, (ttp: tp, tt)
·         Depdiknas, Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)
·         Fanani, Muhyar, Metode Studi Islam, aplikasi sosiologi pengetahuan sebagai cara pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
·         Haviland, William A, Antropologi Edisi Keempat, Jilid  1, terj. R.G. Soekadijo, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999)
·            Huda, M. Dimyati, Pendekatan Antrropologis dalam Studi Islam, Didaktika Religia, Volume 4, No. 2 Tahun 2016
·            Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990)
·         Kuper, Adam, Pokok dan Tokoh Antropologi, terj. Achmad Fedyani Saifuddin, (Jakarta: Penerbit Bhratara, 1996)
·         Mahyudi, Dedi, Pendekatan Antropologi dan Sosiologi dalam Studi Islam, Ihya’ul Arabiyah, Volume 6, No 2, Desember 2016
·         Mudzhar, Atho, “Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan praktek,” (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
·         Rosidah, Feryani Umi, Pendekatan Antropologi dalam Studi Agama, Religió: Jurnal Studi Agama-agama, Volume 1, Nomor 1, Maret 2011
·            Syam, Nur  , Madzhab-Madzhab Antropologi,  (Jogja: LKIS, 2007)
·         Sunyoto, Agus, Atlas Walisongo Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo Sebagai Fakta Sejarah, (Depok: Pustaka Iman, 2017)
·         ZA, Tabrani, Arah Baru metodologi Islam, (Jogjakarta: Penerbit Ombak, 2015)














[1] M. Dimyati Huda, “Pendekatan Antrropologis dalam Studi Islam,Didaktika Religia, Volume 4, No. 2 Tahun 2016,  141.
[2] Feryani Umi Rosidah, “Pendekatan Antropologi dalam Studi Agama,Religió: Jurnal Studi Agama-agama,
 Volume 1, Nomor 1, Maret 2011, 24.

[3] Muhyar Fanani, “Metode Studi Islam, aplikasi sosiologi pengetahuan sebagai cara pandang,” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.  ix.
[4] Pusat Bahasa Depdiknas, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002),  58.
[5] William A. Haviland, “Antropologi Edisi Keempat, Jilid  1,” terj. R.G. Soekadijo, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), 7.
[6] Dedi Mahyudi, “Pendekatan Antropologi dan Sosiologi dalam Studi Islam,Ihya’ul Arabiyah, Volume 6, No 2, Desember 2016,  207.
[7] Hasan Baharun, dkk, “Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokoh Dalam Membumikan Agama,” (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2016),  232.
[8] Ali Geno Berutu, “ Pendekatan Antropologi  David N Gellner” (ttp, tp: tt), hal. 1.
[9] William A. Haviland, “Antropologi Edisi Keempat, Jilid  1,” terj. R.G. Soekadijo, 17.
[10] Koentjaraningrat, “Pengantar Ilmu Antropologi,” (Jakarta: Rineka Cipta, 1990),  2.
[11]  Ali Geno Berutu, “ Pendekatan Antropologi  David N Gellner, 2.
[12] Nur  Syam, “Madzhab-Madzhab Antropologi,  (Jogja: LKIS, 2007),  6.
[13] Adam Kuper, “Pokok dan Tokoh Antropologi,” terj. Achmad Fedyani Saifuddin, (Jakarta: Penerbit Bhratara, 1996),  114.
[14] Adam Kuper, “Pokok dan Tokoh Antropologi,” terj. Achmad Fedyani Saifuddin, 115.
[15] Koentjaraningrat, “Pengantar Ilmu Antropologi, 6.
[16] Nur  Syam, “Madzhab-Madzhab Antropologi,” . 3.
[17] Koentjaraningrat, “Pengantar Ilmu Antropologi,” 13.
[18] M. Dimyati Huda, “Pendekatan Antrropologis dalam Studi Islam, 143.
[19] William A. Haviland, “Antropologi Edisi Keempat, Jilid  1,” terj. R.G. Soekadijo, 14s.
[20] William A. Haviland, “Antropologi Edisi Keempat, Jilid  1,” terj. R.G. Soekadijo, 16.
[21] Emizal Amri, “Antropologi Sosial Budaya,” http://sosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI%20SOSBUD.pdf, hal. 50., diakses pada tanggal 28 Oktober 2018.
[22] Nur  Syam, “Madzhab-Madzhab Antropologi, 5.
[23] Hasan Baharun, dkk, “Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokoh Dalam Membumikan Agama,” 236.
[24] Atho Mudzhar, “Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan praktek,” (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 35-37
[25] Atho Mudzhar, “Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan praktek,  38.
[26] Hasan Baharun, dkk, “Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokoh Dalam Membumikan Agama,” 234.
[27] M. Dimyati Huda, “Pendekatan Antrropologis dalam Studi Islam,” 145.
[28] Nur  Syam, “Madzhab-Madzhab Antropologi,” 68 dan 71.
[29] Nur  Syam, “Madzhab-Madzhab Antropologi,” 29.
[30] Hasan Baharun, dkk, “Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokoh Dalam Membumikan Agama,” 238.
[31] Nur  Syam, “Madzhab-Madzhab Antropologi,” 90.
[32] Feryani Umi Rosidah, “Pendekatan Antropologi dalam Studi Agama,28.
[33] William A. Haviland, “Antropologi Edisi Keempat, Jilid  1,” terj. R.G. Soekadijo, 7.
[34]William A. Haviland, “Antropologi Edisi Keempat, Jilid  1,” terj. R.G. Soekadijo,  20.
[35] Tabrani ZA, “Arah Baru metodologi Islam,” (Jogjakarta: Penerbit Ombak, 2015), 150.
[36] Hasan Baharun, dkk, “Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokoh Dalam Membumikan Agama,” 236.
[37] Tabrani ZA, “Arah Baru metodologi Islam,” 150.
[38] Agus Sunyoto, “Atlas Walisongo,” (Depok: Pustaka Iman, 2017), 448.
[39] M. Dimyati Huda, “Pendekatan Antrropologis dalam Studi Islam,” hal. 145.
[40] William A. Haviland, “Antropologi Edisi Keempat, Jilid  1,” terj. R.G. Soekadijo, 18.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar