PENDEKATAN
ANTROPOLOGIS
Makalah
Mata Kuliah : Pendekatan
Ilmu-ilmu Keislaman
Dosen Pengampu : Dr. H Sholihan, M.Ag

PROGRAM MAGISTER ILMU AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UIN WALISONGO SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama sangat terbuka bagi
lintas keilmuan yang disandingkan denganya. Dalam hal ini agama bisa memberikan
pandanganya mengenai satu keilmuan atau hadir sebagai objek kajian. Banyak
pendekatan keilmuan yang digunakan dalam mengkaji
agama, salah satunya menggunakan pendekatan
antropologi. Dengan menggunakan metode
tersebut, pengkaji dapat menggunakannya sebagai salah
satu piranti untuk memahami agama dengan cara melihat wujud pengejawentahan dari sikap
keagamaan,
baik berupa perilaku ataupun simbol-simbol
yang berkembang di masyarakatnya.
Kajian
dengan menggunakan metode pendekatan antropologis ini dibutuhkan, sebab beberapa
elemen agama bisa dijelaskan dengan tuntas dengan teori-teori yang ada di dalamnya.
Artinya, dalam memahami agama manusia tidak hanya menggunakan metode bayani,
burhani, atau irfani saja. Melainkan ada metode-metode lain di luar metode
islam klasik. Selain pendekatan islam klasik, selama ini pendekatan yang sering digunakan juga antara lain pendekatan teologis, historis,
normatif, dan filosofis.[1]
Beberapa hal yang ditawarkan
dalam pendekatan ini adalah mendeskripsikan pengaruh
agama dalam mempengaruhi dan membentuk struktur tatanan sosial, budaya,
ekonomi, politik, hukum, dsb. Dengan dibuktikan melalui simbol-simbol yang
diembanya dan hadir dalam praktik kehidupan penganutnya. Dengan demikian dapat
dipahami, bahwa agama mempunyai korelasi dengan
berbagai elemen kehidupan manusia/masyarakat.[2]
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan metodologi antropologi?
2. Bagaimana kilas sejarah dari pendekatan antropologis?
3. Apa saja sub bidang kajian antropologi?
4. Apa pijakan paradigmatik-teoritis dari pendekatan
antropologis?
5. Bagaimana langkah-langkah praktis-metodis dari pendekatan
antropologis?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Metodologi Antropologi
Istilah
metodologi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu dari kata
methodos dan logos. Methodos berarti cara, kiat, dan seluk
beluk yang berkaitan dengan upaya menyelesaikan sesuatu. Sementara logos berarti ilmu pengetahuan,
cakrawala, dan wawasan. Dengan demikian, metodologi bisa diartikan “ilmu atau teori tentang” yaitu
pengetahuan tentang metode atau cara kerja suatu ilmu yang berlaku dalam sebuah kajian.[3]
Sedangkan
Antropologi secara
bahasa, tersusun dari dua kata yaitu, anthropos
dari bahasa latin yang berarti manusia, dan logos dari bahasa yunani yang berarti
ilmu. Antropologi adalah ilmu yang berbicara
tentang manusia. Sedangkan secara
istilah Antropologi diartikan sebagai: Ilmu
tentang manusia khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat
istiadat, dan kepercayaannya pada masa lampau.[4]
Beberapa pengertian antropolgi yang dikemukakan
antropolog yaitu;
a)
William
A. Havilland: Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun
generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk
memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.[5]
b)
Koentjaraningrat:
Antropologi adalah ilmu
yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna,
bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang di hasilkan.[6]
c)
Ahmad Akbar S: Antropologi adalah salah satu disiplin ilmu dari cabang
ilmu sosial yang memfokuskan kajianya pada manusia. Hasil kajianya didasarkan
atas observasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul,
dengan menetralkan nilai, dan analisis yang tidak memihak.[7]
Dari pengertian di atas dapat difahami
bahwasanya Antropologi adalah ilmu yang mempelajari beberapa aspek kehidupan manusia,
adapun penekanan objek kajianya dititik beratkan pada aspek sejarah dan
perkembangan manusia sebagai makhluk sosial, sejarah terjadinya warna kulit dan
bentuk fisik manusia sebagai ciri-ciri tubuhnya, penyebaran bahasa yang digunakan
seluruh manusia di dunia, penyebaran budaya manusia di dunia dan semua pernak
pernik yang ada di dalamnya. Antropologi sebagai sebuah metodologi pada
akhirnya dapat dipinjam ilmunya yang selanjutnya digunakan untuk meneliti tentang agama dan
kepercayaan.
B.
Sekilas Sejarah Pendekatan Antropologi
Antropologi sebagai disiplin
ilmu mempunyai sejarah panjang atas kemunculanya. Dari sekian banyak ahli,
mereka berpendapat bahwa ilmu ini muncul pada pertengahan abad ke-19 di Inggris[8].
Pendapat ini benar adanya karena pada abad ini perhatian dunia ilmiah sangat
besar, akan tetapi secara garis besar sejarah perkembangan antropologi terbagi
menjadi empat fase.
Fase pertama:
Koentjoroningrat menjelaskan bahwa fase ini terjadi sebelum tahun 1800 M. Suku
dan penduduk peribumi Afrika, Asia, dan Amerika didatangi oleh orang Eropa
Barat pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Dalam kurun waktu sekitar 4
abad, berbagai daerah di bumi mulai terkena pengaruh dari orang-orang Eropa
Barat. Dari kejadian ini, muncul buku-buku laporan dan kisah perjalan mereka ke
berbagai daerah di muka bumi. Adapun karakteristik dari tulisan data pada masa
ini sebagai berikut;
a. Tulisan laporan dan kisah perjalanan tersebut
kebanyakan ditulis oleh musafir, pendeta penyiar agama nasrani, penerjemah
injil, pelaut, dan pegawai dari pemerintah jajahan.
b. Buku laporan perjalanan tersebut di dalamnya berisi
penjelasan tentang bahasa, susunan masyarakat, adat istiadat, dan ciri fisik
dari beraneka warna suku bangsa orang Afrika, Asia, Oseania, dan suku Indian
yang berada di Amerika. Pada akhirnya pengetahuan tadi disebut etnografi, yaitu deskripsi tentang
bangsa-bangsa yang mana seorang yang mengkajinya melakukan observasi dengan
cara hidup ditengah-tengah objek kajianya.[9]
c. Penjelasan yang diberikan dari himpunan laporan
perjalanan itu sering kali tidak teliti. Kebanyakan hanya memperhatikan hal-hal
yang dalam mata orang eropa tampak aneh, walaupun demikian tentu tidak semua
karangan yang tulisanya kabur (tidak teliti) akan tetapi ada juga karangan yang
baik dan lebih teliti sifatnya.
Dari
hasil pencatatan etnografi dari para
musafir, kemudian pada abad ke-18 memunculkan tiga pandangan orang Eropa atas
respon keanehan dari suku bangsa Afrika, Asia, Oseania, dan Indian, yaitu;
1) Sebagian orang Eropa memberikan stigma negatif atas bangsa-bangsa yang jauh tadi, mereka
berpandangan bahwa bangsa-bangsa tadi bukan manusia sebenarnya. Mereka menyebut
bangsa-bangsa tadi sebagai manusia liar dan turunan iblis. Dengan demikian muncul istilah savages dan primitives yang digunakan bangsa Eropa untuk
menyebut bangsa-bangsa tadi.
2) Sebagian orang Eropa memandang sifat-sifat baik dari bangsa-bangsa jauh tadi, mereka berpendapat
bahwa bangsa-bangsa jauh tadi merupakan bangsa
yang masih murni yang belum terkontaminasi oleh budaya kejahatan dan
keburukan seperti bangsa Eropa Barat pada waktu itu.
3) Sebagian orang Eropa Barat tertarik dengan adat-istiadat suku bangsa jauh tadi, oleh karena itu mereka mulai
mengumpulkan benda-benda kebudayaan dari Afrika, Asia, Oseania, dan Indian.
Kemudian setelah benda itu terkumpul mereka memperlihatkan ke muka umum yang selanjutnya lahir museum-museum
kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa.[10]
Fase kedua: fase ini terjadi sekitar pertengahan abad ke-19. Adapun
karakteristik pemabahasan pada fase ini adalah;
a. Munculnya cara berfikir evolusi dari hasil
pengembangan kajian etnografi yang dibuktikan beberapa karangan
pada tahun 1860 M.
Dalam karangan tersebut
memberikan deskripsi tentang klasifikasi bahan aneka warna kebudayaan di
seluruh dunia dan penyebaranya.
b. Munculnya teori kelaster sosial, yang mana menurut
pandangan orang Eropa Barat budaya tertinggi (moderen) adalah budaya mereka,
sedangkan budaya bangsa-bangsa jauh masuk kategori rendah atau primitif. Menurut para pengkaji, evolusi
ini terjadi sangat lambat yang membutuhkan waktu
beribu-ribu
tahun lamanya. Kemudian budaya yang primitif tadi akan berevolusi pada tingkat-tingkatnya. Tujuan
mempelajari budaya primitif tidak lain supaya mengetahui tingkat-tingkat kuno
dalam pandangan sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Di
antara tokoh yang menuliskan tentang pembahasan ini adalah Edward Burnett
Taylor (1832-1917 M) dengan bukunya yang berjudul Primitive Culture, dengan penemuanya yang fenomenal yaitu teori
‘animisme’ sebagai teori awal yang merespon agama sebagai gejala kebudayaan. George Frazer (1894-1941 M) dengan bukunya yang
berjudul The Golden Bought yang
menemukan teori magic, dalam skema evolusinya dia mengemukakan rasionalisme
sejarah manusia melewati tiga fase yaitu, magic, agama, dan ilmu.[11]
Selain mereka berdua ada tokoh yang bernama R.R. Marett penemu teori
‘dinamisme’.[12]
c. Secara tidak langsung dengan melihat karangan-karangan
di atas, benih-benih penilitian terhadap agama dan kepercayaan dengan
menggunakan pendekatan antropologi sudah mulai diterapkan dibuktikan dengan munculnya
teori animisme, dinamisme, dan magi.
Fase
ketiga: permulaan abad ke-20 antropologi mempunyai kedudukan yang spesial di
mata penjajah, bahkan ada anekdot yang menyinggung hubungan antropologi dan
penjajahan/ kolonialisme. “Akibat kolonialisme,” bahkan Levi-Strauss
mengatakan, jika penjajahan atau kolonialisme tidak ada maka tumbuh kembangnya
antropologi akan terambat.[13]
Pada fase ini bisa dikatakan kedua belah pihak antara antropolog dan kolonialis
saling membutuhkan satu sama lain, satu sisi antropolog membutuhkan dana
penelitian karena universitas belum mengakui disiplin ilmu ini.[14]
Sedangkan kolonialis membutuhkan informasi tentang daerah jajahan mereka,
karena dalam antropologi berkembang ilmu etnografi yang mempelajari
bangsa-bangsa di luar Eropa. Karakteristik fokus kajian antropolgi pada fase
ini adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku bangsa yang terjajah di luar
eropa guna kepentingan pemerintah penjajah atau kolonial dan guna mendapat
suatu pemahaman tentang masyarakat masa kini yang kompleks dan tidak kompleks.
Fase
keempat: Kira-kira sesudah tahun 1930 M, pada fase ini ilmu antropologi
berkembang sangat luas, hal ini dibuktinan dengan bertambahnya pengetahuan yang
lebih teliti, maupun ketajaman dari metode-metode ilmiah yang digunakanya. Di
samping itu terlihat ada perubahan di dunia saat itu:
1) Timbulnya antipati terhadap penjajahan/kolonialisme
usai perang dunia ke dua.
2) Cepat hilangnya bangsa-bangsa primitif (dalam arti
bangsa-bangsa asli yang terpencil jauh dari pengaruh Eropa-Amerika) yang
sekitar tahun 1930 M sudah mulai sirna, dan sesudah perang dunia ke dua memang
hampir tak ada lagi di muka bumi ini.
Proses
tadi menyebabkan seolah-olah ilmu antropologi kehilangan objek kajian, dan
dengan demikian para antropolog terdorong untuk membuka objek-objek kajian dengan
pokok tujuan yang baru. Adapun warisan keilmuan dari fase-fase pertama, kedua
dan ketiga yang berupa etnografi dan banyak metode ilmiah itu tentu tidak
dikesampingkan begitu saja. Melainkan pada fase ini dipakai sebagai landasan
bagi perkembangan ilmu antropologi yang baru. Adapun karakteristik yang
membedakan pada fase-fase sebelum ini adalah;
a. Meninjau dan merumuskan
pokok tujuan dan ruang lingkup dari ilmu antropologi yang baru. Hal itu dibuktikan ketika
60 orang ahli antropologi Amerika dan Eropa (termasuk Uni Soviet) yang mengadakan pertemuan untuk membahas akan hal ini.
b. Pokok sasaran penilitan tidak hanya
berfokus pada suku bangsa primitif di luar Eropa
saja, melainkan sudah beralih pada manusia pedesaan pada umumnya ditinjau dari
sudut aneka warna fisiknya, masyarakatnya, serta kebudayaanya. Selain itu fokus kajianya tidak
hanya pada suku pedesaan luar Eropa
saja melainkan suku pedesaan di Eropa, dan beberapa penduduk kota kecil di
Amerika Serikat.
Dengan
demikian tujuan ilmu antropologi dalam fase keempat ini dapat dibagi menjadi
dua yaitu tujuan akademikal dan tujuan praktis. Tujuan akademikal ilmu
antropologi adalah: mencapai pengertian tentang manusia pada umumnya dengan
mempelajari berbagai macam warna kulitnya, bentuk fisiknya, masyarakat, serta
kebudayaanya. Karena di dalam praktek ilmu antropologi biasanya mengkaji
masyarakat suku-bangsa, maka tujuan praktis dari ilmu antropologi: mempelajari
manusia dalam aneka rupa warna masyarakat suku-bangsa, guna untuk membangun
suku-bangsa itu.[15]
C.
Sub Bidang Kajian Antropologi
Secara
garis besar antropologi dibagi menjadi tiga bidang, yaitu antropologi fisik,
antropologi budaya, dan antropologi sosial.[16]
Berikut rincian penejalasan dari masing-masing bidang;
1.
Antropologi
Fisik: ilmu ini mengkaji keanekaragaman ciri fisik manusia
serta perkembanganya. Sedangkan ciri fisik itu setidaknya meliputi warna kulit,
bentuk rambut, badan, tinggi badan, ukuran tengkorak, otak, juga anggota tubuh
lainya seperti golongan darah dan sebagainya. Pengelompokan fisik tersebut
disebut ras. Contoh ras yang ada di dunia ini misalnya mongoloid yang meliputi
negara cina, jepang, korea, dan lainya. Ciri khas ras dari negara-negara ini
berkulit kuingn, mata sipit, dan tinggi badanya pendek.
Termasuk dalam
ranah pembahasan antropologi fisik yaitu Paleo-antropologi
dalam ilmu ini yang dipelajari adalah asal
usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil.[17]
2.
Antropologi
Budaya: ilmu ini mengkaji manusia dalam ranah kebudayaan yang
dimilikinya. Baik yang berupa bahasa, tulisan, kesenian, sistem pengetahuanya, perilaku,
maupun cara hidupan manusia di masyarakat. Pada akhirnya antropologi budaya
mempunyai cabang keilmuan, di antaranya adalah etnolinguistik atau yang dikenal juga dengan sebutan antropologi linguistik. Objek kajian
ilmu ini adalah bahasa, bahkan daftar kata-kata dan pelukisan tentang ciri
bahasa dari berbagai macam suku-bangsa yang tersebar di muka bumi.
Selain itu ada Ethnologi: ilmu
ini mempelajari asas
kebudayaan manusia yang masuk
didalam kehidupan masyarakat dari suatu suku
bangsa di muka bumi,
baik memahami cara berpikir ataupun
cara berprilaku. Barth menyatakan bahwa untuk mengenali suatu kelompok etnik tidak hanya dari
budayanya saja melainkan juga memperhatikan perilaku mereka.[18]
Termasuk cabang
dari antropologi budaya adalah arkeologi yang merupakan sub ilmu dari prehistori. Prehistori adalah ilmu yang mengkaji sejarah
perkembangan dan penyebaran semua kebudayaan umat manusia di dunia pada zaman
manusia sebelum mengenal huruf ataupun tulisan.
Sedangkan
Arkeologi dalam pengertian yang
paling sederhana adalah ‘to write history from surviving material source,’ yaitu ilmu yang mempelajari
kebudayaan manusia masa lalu dengan
menggunakan kajian yang sistematis atas data benda-benda yang ditinggalkan untuk menguraikan dan menjelaskan perilaku manusia.[19] Misalnya penemuan
artefak (budaya bendawi, seperti kapak batu dan bangunan candi) dan ekofak
(benda lingkungan, seperti batuan, rupa muka bumi, dan fosil), dari penemuan ini arekolog akan mengkaji penemuan
ini lalu menginterpretasikan hasil temuanya. Fokus kajian arekologi sebetulnya adalah masa pra
sejarah, tetapi pada perkembanganya mereka juga meneliti tinggalan dari masa
sejarah.
Tidak hanya berhenti sampe situ,
arkeologi juga mempelajari budaya masa kini
pada kajian bendawi moderen (modern material
culture).[20]
3.
Antropologi sosial disebut juga dengan generalizing approach yang menekankan pada
upaya untuk menemukan prinsip-prinsip kesamaan di belakang berbagai ragam kelompok etnik/
masyarakat dengan kebudayaan berbeda-beda yang tersebar di muka bumi ini.[21]
Menurut C. Kluckholn, antropologi sosial mengkaji tujuh objek unsur budaya unversal
yaitu sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem sosial,
sistem religi, sistem kesenian, dan sistem bahasa. Melalui generalizing approach ini, pada akhirnya muncul berbagai macam sub
bidang di dalam kajian antropologi, misalnya antropologi ekonomi, antropologi
politik, dan antropologi agama.[22]
D. Pijakan Paradigmatik-Teoritis Pendekatan Antropologi
Antropologi sebagai metodologi
berusaha untuk mengkaji sistem-sistem yang berkaitan dengan kehidupan manusia,
masyarakat, serta budayanya. Sehingga
ini menjadi penting untuk memahami agama. Karena kajian agama melalui
tinjauan antropologi dapat difungsikan
sebagai salah satu usaha
untuk memahami agama dari sudut
pandang
wujud praktik keagamaan (tindakan, perilaku) yang tumbuh dan berkembang
di masyarakat.[23]
Dalam hal ini Middleton
(seorang antropolog) mengungkapkan agama berbeda dengan keagamaan, keduanya
tidak sama. Agama dapat dikaji dari beberapa sudut pandang seperti teologis,
historis, komparatif, dan psikologis. Sedangkan sistem keagamaan adalah sistem
sosiologis, suatu aspek organisasi sosial, dan hanya dapat dikaji secara tepat
jika karakteristik itu diterima sebagai titik tolak. Maka dalam hal ini muncul
istilah ‘research on religion’
(penelitian agama) dan ‘religious
research’ (penelitian keagamaan).
Dari pemaparan Middleton di
atas dapat dipahami bahwa ‘penelitian agama’ berarti agama sebagai doktrin
sedangkan ‘penelitian keagamaan’ berarti agama sebagai gejala sosial. Dalam hal
ini bisa dipahami bahwa yang terkait dengan pendekatan antropologi adalah
‘penelitian keagamaan.’[24]
Karena antropologi digunakan untuk mengkaji agama dan interaksi sosialnya
dengan berbagai budaya. Yang perlu dicatat dalam penggunaan agama sebagai objek
penelitian budaya, bukan berarti agama adalah produk budaya manusia. Sebagian
agama seperti islam, kristen, dan yahudi tetap diyakini sebagai wahyu dari
Tuhan.[25]
Nur Cholis Majid menambahi,
pendekatan antropologi penting untuk memahami agama islam, karena pada konsep
khalifah, manusia mempunyai posisi penting dalam agama Islam. Posisi penting
manusia dalam Islam mengindikasikan bahwa persoalan utama dalam memahami agama
Islam adalah bagaimana memahami manusianya. Karena persoalan-persoalan yang
dihadapi manusia pada hakikatnya adalah persoalan agama yang sebenarnya.
Selaras dengan Nur Cholis
Majid, Emil Durkheim menjelaskan tentang fungsi agama sebagai penguat
solidaritas sosial. Manusia sebagai komponen dari agama mempraktekan
nilai-nilai yang ada dalam agama, sehingga ketika agama mengajarkan tentang
kemanusiaan, maka sudah tentu solidaritas sosial itu akan terwujud. Di sini
agama tampak akrab dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berusaha
menjelaskan serta memberikan jawabanya.[26]
Secara
umum kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka
teoritis, yang tiga di antaranya lahir dari pemikiran Emile Durkheim yaitu structuralist, functionalist, dan symbolist. Dengan ketiga teori yang
tetulis di dalam bukunya yang berjudul The Elementary Forms of the Religious
Life tersebut Durkheim berhasil mengilhami banyak orang dalam memandang
agama.
Adapun
keempat teori tersebut yaitu structuralist,
functionalist, symbolist, dan intellectualist;[27]
·
Structuralist:
penilaian suatu kebudyaan berdasarkan ukuran kebudayaan lain, pada hakikatnya
merupakan imbas dari positivistik, yang menganggap budaya satu etnis lebih
tinggi daripada etnis lain, dengan menggunakan tolak ukur budaya etnis lain
itu. Dalam buku madzhab-madzhab antropologi Nur Syam
mencontohkan perbandingan dua tradisi antara jawa dan sunda yang saling
mengunggulkan. Misalnya dalam hal berpakaian, cara makan dan minum, dan cara
berpakaian anatara dua suku tersebut.[28]
·
Funcsionalist:
menyatakan bahwasanya kebudayaan merupakan proses keterkaitan pengaruh satu
subsistem atas subsistem lainya. Contohnya adalah sebagaimana agama
mempengaruhi terhadap kehidupan manusia.[29]
Penelitian yang
dilakukan oleh Clifford Geertz dalam bukunya yang
fenomenal The Religion of Java kita bisa
melihat hubungan agama dengan sosial
organization, dari hasil penelitianya dengan menggunakan pendekatan
antropologi dia mengklasifikasikan orang islam di mojokuto Jawa Timur dengan
tiga macam yaitu santri, abangan, dan priyayi. Meskipun nantinya pandangan ini
dibantah oleh sebagian kalangan yang mengatakan priyayi merupakan status
sosial, yang tidak menutup kemungkinan seorang priyayi juga santri, petani yang
dikatakan sebagai contoh yang mewakili dari kaum abangan pada realitasnya
sebagian dari mereka juga santri. Tetapi penelitianya merupakan bukti penting
untuk memahami agama dengan cara lain, di antaranya menggunakan pendekatan
antropologi.[30]
·
Symbolist: kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia
yang dijadikan sebagai pedoman atau penginterpretasi keseluruhan tindakan
manusia, kebudayaan adalah pedoman bagi keidupan masyarakat yang diyakini
kebenaranya oleh masyarakat tersebut.[31]
Contoh dalam hal
ini seperti yang dilakukan Victor Turner yang meneliti kajian ritual
(upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu,
Afrika. Dia memandang bahwa ritual merupakan simbol yang digunakan oleh masyarakat untuk
menyampaikan kebersamaannya. Bagi
masyarakat Ndembu ritual
adalah tempat menransendenkan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual
agama. Dengan demikian, dia
menginterpretasikan fungsi ritual menjadi empat fungsi sosial yang penting.
Pertama, ritual sebagai upaya
untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) antar warga masyarakat.
Kedua, ritual sebagai penutup
jurang perbedaan yang disebabkan oleh friksi dalam suatu masyarakat. Ketiga,
ritual sebagai sarana untuk memantapkan hubungan yang akrab. Keempat, ritual
sebagai sarana untuk menegaskan
kembali nilai-nilai masyarakat. Turner berpandangan
bahwa ritual tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed)
saja, tetapi sebagai simbol dari
apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
·
Intellectualist:
Mencoba melihat definisi agama dalam setiap
masyarakat dan kemudian melihat perkembangannya (religious development)
dalam suatu masyarakat. Misalnya E.B. Tylor yang berupaya mendefinisikan agama
sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural, yang menunjukkan
generalisasi realitas agama dari animisme hingga agama monoteisme. Lain halnya dengan Mircea
Eliade yang mengatakan bahwa agama
menunjukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu
ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan
animisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Pendapat ini berbeda
dengan hipotesis Max Muller yang berpandangan bahwa agama bermula dari
monoteisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak.[32]
E. Langkah-Langkah Praktis-Metodis dalam pendekatan antropologis
William
A. Haviland menjelaskan bagaimana
seorang antropolog bekerja. Dalam bukunya dia menjelaskan bahwa seorang
antropolog berusaha merumuskan dan menguji hipotesis, mereka mencoba
menjelaskan fenomena yang mereka amati. Dengan menggunakan cara ini mereka
berharap mendapatkan sistem hipotesis yang telah teruji atau teori. Meskipun
mereka sadar bahwasanya tidak ada hipotesis yang tidak bisa dibantah. Untuk
menyusun hipotesis seobyektif dan
sebebas mungkin dari prasangka kebudayaan, kekhususan ahli antropologi ialah
bahwa mereka mengembangkanya dengan cara hadir di lapangan secara langsung, dan
membiasakan diri dengan cara berinteraksi pada keadaan yang sekecil-kecilnya,
sehingga dalam keadaan seperti itu mereka mulai dapat mengenali berbagai pola
yang terdapat pada datanya. Juga dengan kerja lapangan, antropologi menguji
hipotesis yang ada.[33]
Bahkan seorang ahli etnologi ketika meneliti, mereke berdialog
menggunakan bahasa objek yang ditelitinya, selain itu dia juga memakan makanan
yang dimakan oleh objek penelitianya, sehingga seorang etnolog dapat memahami
cara hidup suatu masyarakat dengan baik. Menurut antropolog Inggris, C.G.
Seligman “penelitian lapangan dalam antropologi itu sama fungsinya seperti
darah para martir untuk gereja.”[34]
Selaras dengan William, Dawam rahardjo juga mengatakan bahwa tugas
antropolog selain membangun hipotesis, dia melakukan pengamatan secara langsung
dalam bingkai partisipatif. Maka dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang
sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan
dalam pendekatan sosiologis. Penelitian antropologis yang induktif, yaitu
dengan cara turun ke lapangan tanpa berpijak pada atau setidak-tidaknya dengan
upaya pembebasan dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat
abstrak sebagaimana dilakukan di bidang sosiologis.[35] Sehingga
dapat dipahami skema kerja penelitian dari pendekatan antropologi ini sebagai
berikut;
a.
Membangun hipotesis
b.
Menggunakan pendekatan induktif dengan teknik observasi partisipasif
c.
Menguji hipotesis pada objek penelitianya
d.
Teori
Ketika mengkaji agama Islam misalnya, seorang antropolog perlu membangun
hipotesis dengan menawarkan sebuah asumsi, setidaknya dalam hal ini ada tiga
model. Pertama, menggunakan model kajian pertemuan budaya lokal dan agama Islam
yang sekian lama telah berproses. Model ini telah dilakukan oleh Kuntowijoyo
ketika dia mengatakan Islam sebagai agama rakyat (popular religion). Yang kedua menggunakan model kajian tentang
corak suku etnis dan bahasa masyarakat Muslim. Dan yang ketiga menggunakan
model kajian Islam lintas wilayah dan budaya.[36]
Asumsi pertama dengan menggunakan model kajian pertemuan budaya lokal
dan agama Islam, yang mana Islam hidup bersama masyarakat. Bahkan Islam sudah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam satu masyarakat, sehingga Islam bisa
dikatakan menjadi inti kebudayaan yang terwujud dan mengejawantahkan sebagai
nilai budaya dari budaya masyarakat yang bersangkutan.[37]
Asumsi kedua dengan menggunakan corak suku etnis dan bahasa masyarakat
muslim. Dalam hal ini bisa dicontohkan pada penggunaan bahasa masyarakat muslim
yang ada Indonesia khususnya jawa yang mana ketika Islam datang lalu mewarnai
bahasa sehari-hari masyarakat. Agus Sunyoto dalam bukunya mengistilahkan Islamisasi
istilah Kapitayan dan Hindu-Budha. Dalam hal ini Agus Sunyoto dengan pendekatan
etno linguistik menyatakan: Islam
memberikan padanan makna terhadap bahasa lokal, yang kedua mengganti dan
menyerap istilah, dan yang ketiga mengambil alih secara utuh anasir-anasir
tradisi keagamaan Syiwa-Budha dan Kapitayan ke dalam adat masyarakat Islam.
Adapaun
contoh dari padanan bahasa sebagai berikut; Allahu
Rabbul Alamin menjadi Gusti Kang Murbeng Dumadi, Nabi Muhammad menjadi
Kanjeng Nabi, al alim menjadi kyai, shalat menjadi sembahyang, mushalla menjadi
langgar. Sedangkang contoh dari penyerapan istilah sebagai berikut; Ridha menjadi lila, tawadhu’ menjadi andap asor, tawakkal
menjadi ngalah. Dan yang ketiga dari anasir yang telah diambil secara utuh
fungsi tradisinya misalnya Bdehug, sebelum
Islam datang alat ini digunakan sebagai tambur tengara waktu sembahyang di
sanggar kapitayan atau vihara budha. Tetapi ketika Islam datang benda tersebut
digunakan sebagai tengarai masuknya waktu shalat di masjid.[38]
Model
kajian Islam lintas budaya: pemahaman manusia atas agama sudah barang tentu
dipengaruhi oleh budaya di daerahnya masing-masing. Berangkat dari asumsi ini
seorang antropolog akan mengkaji dengan teknik observasi partisipatif yaitu
hadir secara langsung pada objek kajianya. Misalnya seperti yang dilakukan oleh
Clifford Geertz dia hadir di Indonesia untuk melakukan kajian komparatif yang
mana dia membandingkan Islam di Indonesia dan Maroko. Setelah melalui
pengamatan secara langsung dia membuktikan adanya pengaruh budaya dalam
memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik,
dalam hal ini berbeda dengan Islam gaya Maroko yang lebih agresif dan penuh
gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan bahwa realitas agama sangat
dipengaruhi oleh lingkungan budaya.[39]
BAB III
KESIMPULAN
Robert
Gordon (Antropolog Namibia) mengatakan: “Kalau ilmuan sosiologi atau politik
mengamati keindahan bunga tangkai demi tangkai, maka ahli antropologi adalah
orang yang berdiri di puncak gunung dan memandang keindahan medan. Dengan lain
perkataan dia ingin memperoleh prespektif yang lebih luas.”[40]
Islam
sebagai agama sangat terbuka untuk objek
penelitian ataupun memberikan cara pandang. Salah satu pendekatan yang
digunakan untuk memahami agama dari sudut pandang manusianya adalah
antropologi, dengan ini secara tidak langsung agama akan diteliti secara
objektif berdasarkan pijakan berpikir para antropolog. Memandang agama sebagai
fenomena budaya, memberikan makna beragama terdalam, yaitu meningkatkan
kesadaran kolektif masayarakat tentang arti penting agama dalam kehidupan
sosial kemasayarakatan. Selain itu juga muncul
upaya-upaya, baik individual maupun kebersamaan, untuk mengurangi
ataupun menghilangkan tentang adanya potensi ketegangan atau antagonisme.
Mengkaji
agama menggunakan pendekatan antropologi sekiranya lebih bisa menggambarkan
peran pengikutnya (manusia) dalam memahami dan melakukan tindakan keagamaanya.
Dalam hal ini agama bisa dikatakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan
manusia. Sudah barang tentu agama sering hadir sebagai faktor penentu dalam
perekat masyarakat juga pemersatu bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
·
Amri, Emizal, “Antropologi
Sosial Budaya,” Diakses pada tanggal 28 Oktober 2018, http://sosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI%20SOSBUD.pdf
·
Baharun,
Hasan, dkk, Metodologi Studi Islam:
Percikan Pemikiran Tokoh Dalam Membumikan Agama, (Jogjakarta: Ar Ruzz
Media, 2016)
·
Berutu,
Ali Geno, Pendekatan Antropologi David N Gellner, (ttp: tp, tt)
·
Depdiknas,
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)
·
Fanani,
Muhyar, Metode Studi Islam, aplikasi sosiologi pengetahuan sebagai cara
pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
·
Haviland,
William A, Antropologi Edisi Keempat,
Jilid 1, terj. R.G. Soekadijo,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999)
·
Huda, M. Dimyati, Pendekatan Antrropologis dalam
Studi Islam, Didaktika Religia, Volume
4, No. 2 Tahun 2016
·
Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1990)
·
Kuper,
Adam, Pokok dan Tokoh Antropologi,
terj. Achmad Fedyani Saifuddin, (Jakarta: Penerbit Bhratara, 1996)
·
Mahyudi, Dedi,
Pendekatan Antropologi dan Sosiologi
dalam Studi Islam, Ihya’ul Arabiyah, Volume 6, No 2, Desember 2016
·
Mudzhar,
Atho, “Pendekatan Studi Islam dalam Teori
dan praktek,” (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
·
Rosidah, Feryani
Umi, Pendekatan Antropologi dalam Studi Agama, Religió: Jurnal Studi Agama-agama, Volume
1, Nomor 1, Maret 2011
·
Syam,
Nur , Madzhab-Madzhab Antropologi,
(Jogja: LKIS, 2007)
·
Sunyoto,
Agus, Atlas Walisongo Buku Pertama yang
Mengungkap Walisongo Sebagai Fakta Sejarah, (Depok: Pustaka Iman, 2017)
·
ZA,
Tabrani, Arah Baru metodologi Islam,
(Jogjakarta: Penerbit Ombak, 2015)
[1] M. Dimyati
Huda, “Pendekatan Antrropologis dalam Studi Islam,” Didaktika
Religia, Volume 4, No. 2 Tahun 2016, 141.
[2] Feryani Umi
Rosidah, “Pendekatan Antropologi dalam Studi Agama,” Religió: Jurnal Studi Agama-agama,
Volume 1, Nomor 1, Maret 2011, 24.
[3] Muhyar Fanani, “Metode
Studi Islam, aplikasi sosiologi pengetahuan sebagai cara pandang,”
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.
ix.
[4] Pusat Bahasa Depdiknas, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), 58.
[5] William A. Haviland, “Antropologi Edisi Keempat, Jilid 1,” terj. R.G. Soekadijo, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1999), 7.
[6] Dedi Mahyudi, “Pendekatan
Antropologi dan Sosiologi dalam Studi Islam,” Ihya’ul Arabiyah, Volume 6,
No 2, Desember 2016, 207.
[7] Hasan Baharun, dkk, “Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran
Tokoh Dalam Membumikan Agama,” (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2016), 232.
[8] Ali Geno Berutu, “ Pendekatan
Antropologi David N Gellner”
(ttp, tp: tt), hal. 1.
[9] William A. Haviland, “Antropologi Edisi Keempat, Jilid 1,” terj. R.G. Soekadijo, 17.
[10] Koentjaraningrat, “Pengantar Ilmu Antropologi,” (Jakarta:
Rineka Cipta, 1990), 2.
[11] Ali Geno Berutu, “ Pendekatan
Antropologi David N Gellner,” 2.
[12] Nur Syam, “Madzhab-Madzhab
Antropologi,” (Jogja: LKIS, 2007), 6.
[13] Adam Kuper, “Pokok dan Tokoh Antropologi,” terj. Achmad
Fedyani Saifuddin, (Jakarta: Penerbit Bhratara, 1996), 114.
[14] Adam Kuper, “Pokok dan Tokoh Antropologi,” terj.
Achmad Fedyani Saifuddin, 115.
[15] Koentjaraningrat, “Pengantar Ilmu Antropologi,” 6.
[16] Nur Syam, “Madzhab-Madzhab
Antropologi,” . 3.
[17] Koentjaraningrat, “Pengantar Ilmu Antropologi,” 13.
[18] M. Dimyati Huda, “Pendekatan
Antrropologis dalam Studi Islam,” 143.
[19] William A. Haviland, “Antropologi Edisi Keempat, Jilid 1,” terj. R.G. Soekadijo, 14s.
[20] William A. Haviland, “Antropologi Edisi Keempat, Jilid 1,” terj. R.G. Soekadijo, 16.
[21] Emizal Amri, “Antropologi Sosial Budaya,” http://sosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/ANTROPOLOGI%20SOSBUD.pdf, hal. 50., diakses pada tanggal 28
Oktober 2018.
[22] Nur Syam, “Madzhab-Madzhab
Antropologi,” 5.
[23] Hasan Baharun, dkk, “Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran
Tokoh Dalam Membumikan Agama,” 236.
[24] Atho Mudzhar, “Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan
praktek,” (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 35-37
[25] Atho Mudzhar, “Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan
praktek,” 38.
[26] Hasan Baharun, dkk, “Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran
Tokoh Dalam Membumikan Agama,” 234.
[27] M. Dimyati Huda, “Pendekatan
Antrropologis dalam Studi Islam,” 145.
[28] Nur Syam, “Madzhab-Madzhab
Antropologi,” 68 dan 71.
[29] Nur Syam, “Madzhab-Madzhab
Antropologi,” 29.
[30] Hasan Baharun, dkk, “Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran
Tokoh Dalam Membumikan Agama,” 238.
[31] Nur Syam, “Madzhab-Madzhab
Antropologi,” 90.
[33] William A. Haviland, “Antropologi Edisi Keempat, Jilid 1,” terj. R.G. Soekadijo, 7.
[34]William A. Haviland, “Antropologi Edisi Keempat, Jilid 1,” terj. R.G. Soekadijo, 20.
[35] Tabrani ZA, “Arah Baru metodologi Islam,”
(Jogjakarta: Penerbit Ombak, 2015), 150.
[36] Hasan Baharun, dkk, “Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran
Tokoh Dalam Membumikan Agama,” 236.
[37] Tabrani ZA, “Arah Baru metodologi Islam,” 150.
[38] Agus Sunyoto, “Atlas Walisongo,” (Depok: Pustaka Iman,
2017), 448.
[39] M. Dimyati Huda, “Pendekatan
Antrropologis dalam Studi Islam,” hal. 145.
[40] William A. Haviland,
“Antropologi Edisi Keempat, Jilid 1,”
terj. R.G. Soekadijo, 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar