Sabtu, 22 Desember 2018

Peendekatan Teologis dalam Islamic Studies


Pendekatan Teologis dalam Islamic Studies
Makalah
Pendekatan Ilmu-Ilmu Keislaman
Dosen Pengampu: Dr. H. Sholihan, M. Ag
Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Logo_uin_walisongo
Oleh:


PROGRAM MAGISTER ILMU AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2018

Pendahuluan
Sejak permulaan sejarah umat manusia, agama sudah ada pada lapisan masyarakat dan tingkat kebudayaan. Dewasa ini, kehadiran agama dituntut untuk berperan aktif dalam memecahkan berbagai permasalahan yang hidup di masyarakat. Kenyataan ini merangsang menimbulkan minat para ahli untuk mengamati dan mempelajari agama baik sebagai ajaran yang diturunkan melalui wahyu maupun sebagai hasil budaya dari masyarakat. Minat tersebut didasarkan atas anggapan dan pandangan bahwa agama merupakan sesuatu hal yang berguna bagi kehidupan indiviu dan umat manusia secara keseluruhan. Akan tetapi ada juga yang berangkat dari pandangan yang negative dengan anggapan yang negative pula terhadap agama, karena baginya agama merupakan khayalan, ilusi dan merusak masyarakat.[1]
Islam dapat diteliti secara mendetail mengenai apa saja yang ada di dalamya, mulai dari cara berteologi sampai beramal. Apalagi apabila persoalan agama menyangkut lebih dari satu agama, sudah barang tentu studi pendekatan agama merupakan keharusan ilmiah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja yang sala satunya pendekatan ilmu keislaman.
Sebagian besar pakar berpendapat bahwa agama bukan saja dipandang sebagai gejala normative, namun agama perlu juga dilihat sebagai gejala sosisl budaya. Manakala Islam dipandang sebagai gejala sosisal budaya, maka dalam Islam setidaknya terdapat lima gejala yang perlu diteliti. Pertama, Scripture (naskah-naskah) atau sumber ajaran dan symbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin/pemuka agama. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat. Keempat, alat-alat, seperti masjid, gereka, peci, dll. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan, tempat penganut agama berkumpul dan berperan. Seperti Nahdatu Ulama, Muhammadiyah, Persis, Katholik, Gereja Protestan, Syi’ah, dll.[2]
Sama halnya dalam studi agama-agama pada umumnya, dalam studi Islam, ada beragam pendekatan yang dapat digunakan. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya dipergunakan untuk memahani agama. Pendekatan tersebut di antaranya adalah pendekatan teologis, antropologis, sosiologis, filosofis, historis, kebudayaan, dan psikologis.[3] Kajian mengenai berbagai pendekatan tersebut penting untuk mengetahui sejauhmana kehadiran agama (Islam) secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya, tanpa mengetahui berbagai pendekatan, tidak muustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat.[4]
Berdasarkan pada pemikiran di atas, pada makalah ini akan di bahas mengenai sejarah perkembangan teologis, devinisi teologi, pendekatan teologis, macam-macam pendekatan teologi, dan para tokoh beserta karya-karyanya yang diharapkan dapat melengkapi berbagai pendekatan lainnya. Karena bagaimanapun juga, pendekatan teologis tetaplah penting untuk melihat Islam secara objektif dan komprehensif.
Sejarah Perkembangan Teologis

Secara historis, teologi Islam dibarat dikenal dengan istilah teologia bermula sebagai advokasi keagamaan terhadap ketimpangan sosial (teologi sebagai sebuah aksiologi/theologi as axiology) yang berkembang pada masanya. Untuk kepentingan ini, doktrin keagamaan diinterpretasikan secara rasional, sehingga dapat dijadikan argument teologis untuk mem-backing pemikiran/gagasan/idea yang substansinya menentang ketimpangan sosial yang sedang terjadi.
Munculnya teologi islam menurut harun nasution dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan  yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dan persoalan kalam yang pertama kali muncul ialah siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar Islam dan siapa yang masih tetap Islam.[5] Khawarij menganggap Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang telah menerima arbitase adalah kafir. Karena keempat pemuka ini dianggap kafir dalam arti telah keluar dari islam, kaum Khawarij menganggap mereka harus dibunuh.
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang kafir. Persoalan orang yang berbuat dosa inilah yang kemudian mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan teologi selanjutnya dalam islam. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi, yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah.
Aliran Khawarij mengatakan bahwa orang yang telah berbuat dosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari agama islam dan ia wajib dibunuh. Kaum Murji’ah mengatakan bahwa orang yang telah melakukan dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT yang mengampuninya atau tidak. Sedangkan Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat diatas. Bagi mereka orang yang telah berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Orang yang seperti ini menurut mereka mengambil posisi diantara dua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahsa arabnya terkenal dengan istilah Almanzilah bain Al-manzilitain (posisi diantara dua posisi).
Dalam keadaan seperti ini timbullah dua aliran teologi yang terkenal dengan nama Al-qadariah dan Al-jabariah. menurut Al-qadariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Sebaliknya dengan al-jabariah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam tingkah lakunya bertindak dengan paksaan Tuhan dan gerak-gerik ditentukan oleh Tuhan, menurut jabariah. Selanjutnya, kaum Mu’tazilah dengan diterjemahkannya buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan Yunanikedalam bahsa Arab, terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggidalam kebudayaan Yunani klasik itu. Dengan pemakaian rasio ini oleh kaum Mu’tazilah membawa mereka untuk mengambil teologi liberal, dalam arti bahwa sungguhpunkaum Mu’tazilah banyak mempergnakan rasio mereka, mereka tidak meninggalkan wahyu. Dengan penggambaran diatas sudah pasti bahwa Mu’tazilah lebih memilih Qadariah dibanding jabariah yang mana golongan yang percaya pada kekuatan dan kemerdekaan akal untuk berfikir.[6]
Teologi mereka yang bersifat rasional dan liberal ini membuat kaum intelegensia tertarik akan teologi mereka yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam Abbasiah dipermulaan abad ke-9 Masehi. Khalifah al-Ma’mun, putra dari khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 827 M menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai mazhab yang resmi dianut negara. Katena telah menjadi aliran resmi dari pemerintahan, kaum Mu’tazilah mulai bersikap paksa dalam menyiarkan ajaran mereka. Terutama paham mereka bahwa al-Qur’an bersifat makhluq dalam arti diciptakan bukan bersifat qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.
Aliran mu’tazilah yang bersifat rasional ini menimbulkan tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut mazhab Ibn Hambal menyiarkan aliran Mu’tazilah secara kekerasan berkurang setelal al-Ma’mun meninggal pada tahun 833 M, dan akhirnya aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi dari negara dibatalkan oleh khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M. dengan demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kadudukan mereka semula, tetapi kini mereka telah mempunyai lawan yang bukan sedikit dari kalangan umat islam.
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (932 M). Al-Asy’ari sendiri pada mulanya adalah mu’tazilah, tetapi kemudian menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah diucap Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat, al-Asy’ari meninggalkan ajaran tiu dan membentuk ajaran baru yang trerkenal dengan nama teologi al-Asy’ariah atau al-Asya’irah. Disamping aliran Asy’ariah timbul pula di Samarkand perlawanan menentang aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Aliran ini dikenal dengan nama teologi al-Maturidiahyang mana tidak bersifat setradisional al-Asy’ariah, akan tetapi tidak pula seliberal Mu’tazilah.
Selain Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi ada lagi seorang teolog dari Mesir yang juga bermaksud menentang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Teolog itu bernama al-Tahawi (933 M) yang mana ajaran-ajaran ini tidak menjelma sebagai aliran teologi Islam. Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam islam adalah aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan keduannya disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya.
Dengan masuknya kembali paham rasionalisme kedunia islam yang mana sekarang masuk melalui kebudayaan modern. Banyak ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, khususnya dikalangan kaum intelegensia islam yang mendapat pendidikan Barat.[7]

Pengertian Teologis
Teologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan tetntang hakekat ketuhanan. Tidak ada arti sederhana dan monolitik untuk mendefinisikan kata teologi, karena teologi pada permulaannya merupakan suatu istilah bangsa Sumeria, kemudian Yunani yang menyebutnya dengan theologia mengacu pada tuhan-tuhan atau Tuhan. Perkembangan selanjutnya seiring menyebarnya Nasrani di daratan Eropa, khususnya agama Kristen maka istilah teologi menjadi terkemuka dikalangan apologis Kristen. Persemian teologi dalam agama Kristen walau tidak terdapat dalam perjanjian lama, ditempuh untuk membumikan tradisi Kristen di dalam kebudayaan Romawi-Yunani.[8]
Dari segi etimologi, teologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theologia yang terdiri dari kata theos yang berati tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan.[9] Dalam kamus bahasa Indonesia, Teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan.[10]
Dalam bahasa Arab, istilah teologi ini bisa disebut dengan Ushuluddin, sedang ajaran dasar agamanya disebut aqaid atau aqidah, dan ada pula yang menyebutnya dengan tauhid. Selain itu, dalam Islam ada juga yang menyebut teologi sebagai Ilmu Al-kalam, dimana kalau kalam yang dimaksud itu adalah firman Allah, maka itu berrati ilmu tentang Al-Qur’an, sedangkan kalau kalam yang dimaksud adalah kata-kata manusia, itu berarti ilmu tentang “olah kata” dalam mempertahankan pendapat atau pendirian. Karena memang pada dasarnya para teolog itu apapun agamanya adalah orang yang pandai memainkan kata-kata atau bersilat lidah. Itulah sebabnya seorang teolog dalam Islam disebut sebagai mutakallim, yaitu ahli debat yang mahir dalam memainkan kata-kata.[11]
Menurut Amin Abdullah, teologi ialah suatu ilmu yang membahas tentang kayakinan, yaitu sesuatu yang sangat fundamental dalm kehidupan Bergama, yakni suatu ilmu pengetahuan yang paling otoritatif, dimana semua hasil penelitian dan pemikiran harus sesuai dengan alur pemikiran teologis, maka jika terjadi perselisihan, maka pan dangan keagamaan yang harus dimenangkan.[12]
Sedangkan teologi Islam adalah ilmu yang secara sistematis membicarakan tentang persoalana ketuhanan dan alam semesta menurut perspektif islam yang harus diimani, dan hal-hal lain  yang terkait dengan ajaran Islam yang harus diamalkan guna mendapatkan keselamat hidup. Teologi Islam berbicara tentang persoalan ketuhanan, maka dapat pula dipahami bahwa hal tersebut identik dengan ilmu kalam terutama dalam dua aspek. Pertama, berbicara tentang kepercayaan terhadap Tuhan dalam segala seginya, sebabai contoh termasuk soal wujud-Nya, keesaan-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Kedua, bertalian dengan alam semesta, yang berarti termasuk didalamnya persolan terjadinya alam, keaadilan dan kebijaksanaan Tuhan, serta selainnya.[13]

Pendekatan Teologis
Pendekatan teologis merupakan salah satu pendekatan dalam studi islam yang cukup populer dikalangan umat Islam. Pendekatan teologis ditejemahkan sebagai upaya memahami atau meneliti agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiric dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya.[14] atau suatu pembahasan materi tentang eksistensi Tuhan.[15]
Pendekatan ini juga bisa disebut sebagai pendekatan atau metode tekstual atau pendekatan kitabi maka ia selalu menampakan sifatnya yang apologis dan deduktif. Teologi sudah pasti mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa sebagai cirri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.[16]
Dalam pemahaman keagamaan, bahwa pendekatan teologi ini bersifat partikularistik, dogmatis, fanatic, arogan, dan tidak jarang terjadi klaim kebenaran (truth claim). Pendekatan ini lebih menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing mengklaim dirinyalah yang paling benar sedangkan yang lainny adalah salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad, dan seterusnya. Selain itu, pendekatan ini menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinannya yang diyakini benar dan mujtlak adanya karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.[17]
Karena sifat dasarnya yang partikularistik maka kita dapat menemukan teologi Islam, teologi Kristen Katolik, teologi Kristen Protestan, dan seterusnya. Dalam intern umat beragama tertentu pun masih dapat dijumpai berbagai faham atau sekte keagamaan. Dalam Islam, secara tradisional dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Sebelumnya terdapat pula teologi yang bernama khawarij, Qadariyah, Jabariyah, Sunni, Syi’ah, Salafiyah dan murji’ah.[18] Sedang dalam konteks kemodernan, Sayyed Hossein Nashir menyebutkan empat tipologi pemikiran kegamaan yaitu, fundamentalis, modernis, messianis, dan tradisionalis. Keempat tipologi pemikiran tersebut tidak mudah untuk disatukan karena masing-masing mempunyai “teologi” yang berbeda-beda.[19]
Akan tetapi bukan berarti kita tidak memerlukan pendekatan teologi dalam memahami agama, karena tanpa pendekatan teologis, keagamaan seseorang akan mudah cair dan tidak jelas identitas dan pelembagaannya. Perbedaan dalam bentuk forma teologis yang terjadi di antara berbagai mazhab dan aliran teologis keagamaan seharusnya tidak membawa mereka saling bermusuhan dan menonjolkan segi-segi perbedaanya, sebaliknya dicarikan titik persamaan untuk menuju pada ide besar Islam yaitru rahmatan lil ‘alamin.[20]
Pendekatan teologis erat kaitannya dengan pendekatan normative, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Pendekatan ini memandang agama sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan tampak bersifat ideal. Misalnya, Islam secara normative pasti benar, menjunjung tinggi jilai-nilai luhur, secara sosial menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti ukhuwwah, ta’awwun, tasammuh; secara ekonomis Islam menawarkan konsep keadilan, kejujuran, konsistensi, kepercayaan; secara saintek Islam memotivasi pemeluknya untuk menuntut ilmu pengetahuan.[21]
Islam normative juga dapat diartikan Islam yang berada oada dimensi sacral, yang diakui adanya realitas transcendental yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu, atau sering disebut sebagai realita ketuhanan. Dengan kata lain, Islam normative merupakan Islam ideal atau Islam yang seharusnya. Bentuknya berupa aspek tekstual Islam, yaitu aturan-aturan Islam secara normative yang termuat dalam Al-Qur’an dan Hadits yang kebenarannya absolute dan tidak dapat dipersoalkan.[22]
Pendekatan teologis semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih-lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Bercampur aduknya doktrin teologi dengan historitas institusi sosial kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi oleh umat beragama. Dari situlah kemudian muncul terobosan untuk melihat pemikiran teologi yang termanifestasikan dalam “budaya” tertentu secara lebih objektif melalui pengamatan empirik-faktual pranata-pranata sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaanya.[23]
Agama sebagai objek penelitian mempunyai dua aspek, yaitu aspek historisitas dan aspek normatif. Aspek historis menjadi obkel penelitian sejarah agama, dan fenomenologi historis. Sedangkan aspek normative muncul sebagai kekuatan batin yang memberikan pengakuan akan kebenaran untuk mengatur kehidupan individu dan kehidupan sosial. Aspek normative tersebut merupakan tugas teologi. Pendekatan semacam ini adalah normative dan subjektif terhadap agama tertentu dalam usaha untuk menyelidiki agam lain. Oleh sebab itu, ia selalu bersifat apologis. Yakni menyerang keyakinan agama lain untuk memperkokoh agama penganutnya.[24]
Pendekatan teologis terhadap suatu agama pada umumnya berpijak pada tiga fungsi: menjelaskan dasar-dasar dan klaim-klaim suatu agama; membuktikan kebenaran dasar-dasar dan klaim-klaim tersebut; dan terakhir mempertahankannya dari segenap keraguan, keberatan, dan serangan dari pihak-pihak luar agama. Ciri utama pendekatan teologis adalah polemic dan apologetic, dengan menggunakan metode rasional, dialektik maupun tekstual.[25]
Pendekatan teologis ini erat kaitannya dengan pendekatan normative, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang terkandung dalam nash (tekstualis) yang didalamnya belum terdapat penalaran manusia. Pendekatan normative tekstualis dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif. Pendekatan normative tekstualis sebagaimana telah disebutkan di atas telah menunjukan adanya kekurangan seperti eksklusif dogmatis yang berarti tidak mau mengakui adanya paham golongan lain bahkan agama lain dan sebagainya.[26] Sedangkan kelebihan dari pendekatan teologis normative ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama sehingga berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya. dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatic terhadap agama yang dianutnya.[27]
Dari pendekatan normative secara umum ada dua teori yang dapat dipergunakan. Teori yang pertama adalah hal-hal yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran serta dapat dibuktikan secara empiric dan eksperimental. Teori yang kedua adalah hal-hal yang sulit dibuktikan secara empiric dan eksperimental. Untuk hal-hal yang dapat dibuktikan dengan empirik biasanya disebut masalah yang berhubungan dengan ra’yu (penalaran). Sedang masalah-masalah yang tidak berhubungan dengan empiric (gaib) biasanya diusahakan pembuktiannya dengan mendahulukan dengan kepercayaan.[28]
Penomena keagamaan yang menarik untuk diteliti dengan menggunakan pendekatan teologis normative, misalnya:
1)      Melacak teologi yang dianut Ahmadiyah terkait dengan ajaran dan keyakinannya.
2)      Organisasai Jemaah Tabligh terkait dengan aktifitas dakwahnya;
3)      Komunitas muslim Gulamas dan welado terkait dengan etos dagangnya;
4)      Komunitas Muslim Bugis, Makasara, Betawi, dan Bima tentang keinginan kuat mereka untuk naik haji;
5)      Sekte Kristen Davidian pimpinan David Coresh bersama 80 orang pengikutnya melakukan bunuh diri missal pada Apri 1993;
6)      Sekte Shinto Aum Shinrikyu yang melakukan pembunuhan dengan menebarkan gas beracun di Jepang;
7)      Sekte Hari Kiamat Kristen yang ingin menjemput kedatangan Hari Kiamat pada tanggal 9 bulan 9 tahun 1999 jam 9 menit ke-9 detik ke-9;
8)      Sekte Pondok Nabi di Bogor Jawa Barat;
9)      Seorang Ibu yang terkenal fanatic bunuh diri setelah membunuh 4 anaknya dengan cara minum racun yang diracik dalam bentuk pil di Malang Jatim dan sebelumnya menulisn pesan lewat surat dan mengabadikan prosesi pembunuhan itu melalui handphone.[29]
Keyakinan akan teologi yang dianut dapat melahirkan sebagian sifat yeng terkesan negative, tetapi keyakinan teologis ini memberikan corak khas kepada agama karena sifat militansinya yang begitu tinggi.
Solusi atas masalah ini adalah munculnya wacana teologi masa kritis, yaitu usaha manusia untuk memahami penghayatan iman atau agamanya; suatu penafsiran atas sumber-sumber asli dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini; atau teologi yang bergerak diantara dua kutub, yaitu teks dan konteks (situasi), masa lampau dan masa kini. Sifat kritis merupak cirri dari teologi ini. Kritiknya pertama-tama ditujukan kepada agamanya sebagai sebuah institusi sosial, lalu kepada situasi yang dihadapinya. Teologi ini tidak hanya berhenti pada pemahaman mengenai ajaran agama, tetapi mendorong terjadinya transormasi sosial, sehingga ini bisa disebut sebagai teologi kepedulian sosial atau teologi transformative.[30]

Macam-macam Pendekatan Teologis
Terdapat tiga (3) teologi jika dilihat dari pluralism beragama:
1.      Pendekatan teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama, ialah upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar bila dibandingkan dengan yang lainnya. Model pendekatan ini, oleh Muh. Natsir Mahmud, disebut sebagai pendekatan teologis-apologis. Sebab cenderung mengklaim diri sebagai yang paling benar, dan memandang yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yang salah, atau minimal keliru. Menurut Amin Abdullah, teologi tidak bisa tidak, pasti mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.[31]
2.      Pendekatan Teologis–Dialogis
Pendekatan teologis dialogis ialah mengkaji agama tertentu dengan mempergunakan perspektif agama lain. Model pendekatan ini, banyak digunakan oleh orientalis dalam mengkaji Islam, dan sebagai upaya untuk saling mengubah pandangan antar penganut agama dan saling terbuka dalam belajar satu sama lain, serta bermaksud menghilangkan sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama yang lain serta menghilangkan ajaran yang bersifar apologis dari masing-masing agama.[32]

3.      Pendekatan Teologis-Konvergensi
pendekatan teologi konvergensi adalah merupakan metode pendekatan terhadap agama dengan melihat unsur-unsur persamaan dari masing-masing agama atau aliran. Maksudnya dari pendekatan ini ialah ingin mempersatukan unsur-unsur esensial dalam agama-agama, sehingga tidak nampak perbedaan yang esensial. Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya dapat disatukan dalam satu konsep teologi universal dan umatnya disatukan sebagai satu umat beragama.
Dari ketiga metode pendekatan teologis tersebut di atas, maka yang paling akurat dipergunakan menurut analisa penulis adalah pendekatan teologis konvergensi, di mana pendekatan ini telah tercakup di dalamnya nilai-nilai normatif dan dialogis. Lain halnya hanya dengan menggunakan metode pendekatan normatif atau dialogis saja, belum tentu terdapat unsur konvergensi di dalamnya.[33]

Tokoh Penting Pendekatan Teologis dan Karyanya
Peneliti pemula:
1.      Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidy al-Samarqandy karyanya “Kitab al-Tauhid”.
2.      Al-imam Abi al-Hasan bin Isma’il al-Asy’ari, karyanya “Maqalat al-islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin”.
3.      ‘Abd al-Jabar bin Ahmad, karyanya “Syarh al-Ushul al-Khamsah”.
4.      Thahawiyah karyanya “Syarh al-Aqidah al-Thahawiyah”.
5.      Al-Ghazali karyanya “al-iqtishad fi al-I’tiqad”.
6.      Al- Amidy karyanya “Ghayah al-Maram fi Ilmu Kalam”.
7.      Dll.
Penelitian lanjutan:
1.      Muhammad Abu Zahra karyanya “Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-‘Aqaid”.
2.      Mushtafa Ali al-Ghurabi karyanya “Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’atu ilmu al-kalam ‘ind al-Muslimin”.
3.      Ahmad Mahmud Shubhi karyanya “fi Ilmi Kalam”.
4.      Harun Nasution karyanya “Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan”.
5.      Dll.[34]

Kesimpulan
·         Teologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan tentang hakekat ketuhanan. Tidak ada arti sederhana dan monolitik untuk mendefinisikan kata teologi, karena teologi telah ada sejak bangsa Sumeria yang mulai menjadi perkataan dalam istilah Yunani yaitu theologia dan istilah ini mengacu pada tuhan-tuhan atau Tuhan.
·         Munculnya teologi islam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan  yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dan persoalan kalam yang pertama kali muncul ialah siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir.
·         Pendekatan teologis sebagai upaya memahami atau meneliti agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiric dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya, atau suatu pembahasan materi tentang eksistensi Tuhan. Pendekatan ini bersifat partikularistik, dogmatis, fanatic, arogan, dan tidak jarang terjadi klaim kebenaran (truth claim). Pendekatan ini lebih menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing mengklaim dirinyalah yang paling benar sedangkan yang lainny adalah salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad, dan seterusnya. Selain itu, pendekatan ini menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinannya yang diyakini benar dan mujtlak adanya karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
·         Dilihat dari pluralism beragama, pendekatan teologis terbagi 3 (tiga) macam: Pendekatan teologis Normatif, pendekatan teologis dialogis, dan Pendekatan teologis konvergensi.



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, 2011, Studi Agama: Normativitas atau Historitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Abdullah, Taufik (ed), 1987, Sejarah dan Masyrakat, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ahmad, Jumal, Resume Buku Approaches to the Study of Religion (Aneka Pendekatan Studi Agama) oleh Peter Conolly (ed), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Resume, 2018.
Batubara, Chuzaimah, 2018, Handbook Metodologi Studi Islam, Jakarta: Prenadamedia Group.
Daradjat, Zakiah, 1987, Ilmu Jiwa Agama, Cet. I,  Jakarta: Bulan Bintang.
Daradjat, Zakiah, dkk., 1996, Perbandingan Agama, Jakarta: Bumi Aksara.
Dusa, Bakri, 2001, Tauhid dan Ilmu Kalam. Padang: IAIN IBP Press.
Manaf, Mujtahid Abdul, 2012, Ilmu Perbandingan Agama, Cet. Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mudzhar, Atho, 2002, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mustafa, Muhtadin Dg, Reorientasi Teologi Islam dalam Konteks Pluralisme Beragama. www.jurnalhunafa.org.article.viewFile, diakses 2 November 2017
Nasution, Harun, 1986, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet. V, Jakarta: UI Press..
Nata, Abuddin, 2007, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002,  Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Sastrapratedja, M., 1991, Agama dan Kepedulian Sosial, dalam Soetjipto Wirosardjono, Agama dan Pluralitas Bangsa, Cet 1, Jakarta: P3M.
Shabir, Muslich r, 2015, Pengantar Studi Islam. Cet. 1, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008,  Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa.
Yusuf, Moh, 2017, Pendekatan Teologis atas Ayat Khuruj sebagai Sandaran Dakwah Khuruj Fi Sabilillah Jemaah Khuruj, Jurnal Dialogia Vol. 15 No. 1, Juni.
ZA, Tabrani, 2015,  Arah Baru Metodologi Islam, Yogyakarta: Penerbit Ombak.



[1] Zakiah Daradjat, dkk., Perbandingan Agama, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hlm. 37.
[2] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 13-14
[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 27.
[4] Muslich Shabir, Pengantar Studi Islam. Cet. 1, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015, hlm. 26.
[5] Chuzaimah Batubara, Handbook Metodologi Studi Islam, Jakarta: Prenadamedia Group, 2018, hlm. 138.
[6] Harun Nasution. Sejarah Teologi Islam. Jakarta: UI-Press. 2006, hlm.  9.
[7] Ibid, hlm. 10.
[8] Moh. Yusuf, Pendekatan Teologis atas Ayat Khuruj sebagai Sandaran Dakwah Khuruj Fi Sabilillah Jemaah Khuruj, Jurnal Dialogia Vol. 15 No. 1, Juni 2017.
[9] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 1177.
[10] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
[11] Chuzaimah Batubara, Handbook Metodologi Studi Islam, Jakarta: Prenadamedia Group, 2018, hlm. 135.
[12] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 10.
[13] Chuzaimah Batubara, Handbook Metodologi Studi Islam, Jakarta: Prenadamedia Group, 2018, hlm. 136.
[14] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 28-35
[15] Jumal Ahmad, Resume Buku Approaches to the Study of Religion (Aneka Pendekatan Studi Agama) oleh Peter Conolly (ed), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Resume, 2018, hlm. 13.
[16] Zakiah Daradjat, dkk., Perbandingan Agama, Jakart: Bumi Aksara, 1996, hlm. 37.
[17] Tabrani. ZA, Arah Baru Metodologi Islam, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005, hlm. 144-145.
[18] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet. V, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 32.
[19] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 29.
[20] Tabrani. ZA, Arah Baru Metodologi Islam, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005, hlm. 146.
[21] Ibid, hlm. 146-147.
[22] Chuzaimah Batubara, Handbook Metodologi Studi Islam, Jakarta: Prenadamedia Group, 2018, hlm. 162.
[23] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 30-31.
[24] Mujtahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama, Cet. Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 29.
[25] Muslich Shabir, Pengantar Studi Islam. Cet. 1, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015, hlm. 28.
[26] Ibid, hlm. 29
[27] Tabrani. ZA, Arah Baru Metodologi Islam, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005, hlm. 148
[28] Muslich Shabir, Pengantar Studi Islam. Cet. 1, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015, hlm. 29.
[29] Tabrani. ZA, Arah Baru Metodologi Islam, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005, hlm. 147.
[30] M. Sastrapratedja, Agama dan Kepedulian Sosial, dalam Soetjipto Wirosardjono, Agama dan Pluralitas Bangsa, Cet 1, Jakarta: P3M, 1991, hlm. 83.
[31] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Cet. I,  Jakarta: Bulan Bintang, 1987, hlm. 76.
[32] Taufik Abdullah (ed), Sejarah dan Masyrakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987, hlm. 105.
[33] Muhtadin Dg. Mustafa, Reorientasi Teologi Islam dalam Konteks Pluralisme Beragama. www.jurnalhunafa.org.article.viewFile, diakses 2 November 2017.
[34] Tabrani. ZA, Arah Baru Metodologi Islam, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005, hlm. 31-326.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar