Pendekatan Teologis
dalam Islamic Studies
Makalah
Pendekatan Ilmu-Ilmu
Keislaman
Dosen Pengampu: Dr. H.
Sholihan, M. Ag

Oleh:
PROGRAM
MAGISTER ILMU AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2018
Pendahuluan
Sejak permulaan sejarah umat
manusia, agama sudah ada pada lapisan masyarakat dan tingkat kebudayaan. Dewasa
ini, kehadiran agama dituntut untuk berperan aktif dalam memecahkan berbagai
permasalahan yang hidup di masyarakat. Kenyataan ini merangsang menimbulkan
minat para ahli untuk mengamati dan mempelajari agama baik sebagai ajaran yang
diturunkan melalui wahyu maupun sebagai hasil budaya dari masyarakat. Minat
tersebut didasarkan atas anggapan dan pandangan bahwa agama merupakan sesuatu
hal yang berguna bagi kehidupan indiviu dan umat manusia secara keseluruhan.
Akan tetapi ada juga yang berangkat dari pandangan yang negative dengan
anggapan yang negative pula terhadap agama, karena baginya agama merupakan
khayalan, ilusi dan merusak masyarakat.[1]
‘Islam
dapat diteliti secara mendetail mengenai apa saja yang ada di dalamya, mulai
dari cara berteologi sampai beramal. Apalagi apabila persoalan agama menyangkut
lebih dari satu agama, sudah barang tentu studi pendekatan agama merupakan
keharusan ilmiah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja yang sala satunya
pendekatan ilmu keislaman.
Sebagian besar
pakar berpendapat bahwa agama bukan saja dipandang sebagai gejala normative,
namun agama perlu juga dilihat sebagai gejala sosisl budaya. Manakala Islam dipandang
sebagai gejala sosisal budaya, maka dalam Islam setidaknya terdapat lima gejala
yang perlu diteliti. Pertama, Scripture (naskah-naskah) atau sumber
ajaran dan symbol agama. Kedua, para
penganut atau pemimpin/pemuka agama. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan
ibadat-ibadat. Keempat, alat-alat, seperti masjid, gereka, peci, dll. Kelima,
organisasi-organisasi keagamaan, tempat penganut agama berkumpul dan berperan.
Seperti Nahdatu Ulama, Muhammadiyah, Persis, Katholik, Gereja Protestan,
Syi’ah, dll.[2]
Sama halnya
dalam studi agama-agama pada umumnya, dalam studi Islam, ada beragam pendekatan
yang dapat digunakan. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara
pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya
dipergunakan untuk memahani agama. Pendekatan tersebut di antaranya adalah
pendekatan teologis, antropologis, sosiologis, filosofis, historis, kebudayaan,
dan psikologis.[3]
Kajian mengenai berbagai pendekatan tersebut penting untuk mengetahui
sejauhmana kehadiran agama (Islam) secara fungsional dapat dirasakan oleh
penganutnya, tanpa mengetahui berbagai pendekatan, tidak muustahil agama
menjadi sulit dipahami oleh masyarakat.[4]
Berdasarkan
pada pemikiran di atas, pada makalah ini akan di bahas mengenai sejarah perkembangan teologis, devinisi teologi, pendekatan
teologis, macam-macam pendekatan teologi, dan para tokoh
beserta karya-karyanya yang diharapkan dapat melengkapi
berbagai pendekatan lainnya. Karena bagaimanapun juga, pendekatan teologis
tetaplah penting untuk melihat Islam secara objektif dan komprehensif.
Sejarah
Perkembangan Teologis
Secara historis,
teologi Islam dibarat dikenal dengan istilah teologia bermula sebagai advokasi keagamaan terhadap ketimpangan
sosial (teologi sebagai sebuah aksiologi/theologi
as axiology) yang berkembang pada masanya. Untuk kepentingan ini, doktrin
keagamaan diinterpretasikan secara rasional, sehingga dapat dijadikan argument
teologis untuk mem-backing pemikiran/gagasan/idea
yang substansinya menentang ketimpangan sosial yang sedang terjadi.
Munculnya
teologi islam menurut harun nasution dipicu oleh persoalan politik yang
menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dan persoalan kalam yang pertama kali muncul
ialah siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar Islam dan
siapa yang masih tetap Islam.[5] Khawarij
menganggap Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain
yang telah menerima arbitase adalah kafir. Karena keempat pemuka ini dianggap
kafir dalam arti telah keluar dari islam, kaum Khawarij menganggap mereka harus
dibunuh.
Lambat laun kaum
Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami
perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan
hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang
kafir. Persoalan orang yang berbuat dosa inilah yang kemudian mempunyai
pengaruh besar terhadap pertumbuhan teologi selanjutnya dalam islam. Persoalan
ini menimbulkan tiga aliran teologi, yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah.
Aliran Khawarij
mengatakan bahwa orang yang telah berbuat dosa besar adalah kafir, dalam arti
telah keluar dari agama islam dan ia wajib dibunuh. Kaum Murji’ah mengatakan
bahwa orang yang telah melakukan dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir.
Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT yang
mengampuninya atau tidak. Sedangkan Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak
menerima pendapat diatas. Bagi mereka orang yang telah berbuat dosa besar bukan
kafir tetapi bukan pula mukmin. Orang yang seperti ini menurut mereka mengambil
posisi diantara dua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahsa arabnya terkenal
dengan istilah Almanzilah bain Al-manzilitain (posisi diantara dua posisi).
Dalam keadaan
seperti ini timbullah dua aliran teologi yang terkenal dengan nama Al-qadariah
dan Al-jabariah. menurut Al-qadariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam
kehendak dan perbuatannya. Sebaliknya dengan al-jabariah berpendapat bahwa
manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia
dalam tingkah lakunya bertindak dengan paksaan Tuhan dan gerak-gerik ditentukan
oleh Tuhan, menurut jabariah. Selanjutnya, kaum Mu’tazilah dengan
diterjemahkannya buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan Yunanikedalam bahsa
Arab, terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal yang mempunyai kedudukan
tinggidalam kebudayaan Yunani klasik itu. Dengan pemakaian rasio ini oleh kaum
Mu’tazilah membawa mereka untuk mengambil teologi liberal, dalam arti bahwa
sungguhpunkaum Mu’tazilah banyak mempergnakan rasio mereka, mereka tidak
meninggalkan wahyu. Dengan penggambaran diatas sudah pasti bahwa Mu’tazilah
lebih memilih Qadariah dibanding jabariah yang mana golongan yang percaya pada
kekuatan dan kemerdekaan akal untuk berfikir.[6]
Teologi mereka
yang bersifat rasional dan liberal ini membuat kaum intelegensia tertarik akan
teologi mereka yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam
Abbasiah dipermulaan abad ke-9 Masehi. Khalifah al-Ma’mun, putra dari khalifah
Harun al-Rasyid pada tahun 827 M menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai mazhab
yang resmi dianut negara. Katena telah menjadi aliran resmi dari pemerintahan,
kaum Mu’tazilah mulai bersikap paksa
dalam menyiarkan ajaran mereka. Terutama paham mereka bahwa al-Qur’an bersifat
makhluq dalam arti diciptakan bukan bersifat qadim dalam arti kekal dan tidak
diciptakan.
Aliran mu’tazilah yang bersifat rasional ini
menimbulkan tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan
Hambali, yaitu pengikut-pengikut mazhab Ibn Hambal menyiarkan aliran Mu’tazilah
secara kekerasan berkurang setelal al-Ma’mun meninggal pada tahun 833 M, dan
akhirnya aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi dari negara dibatalkan oleh
khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M. dengan demikian kaum Mu’tazilah
kembali kepada kadudukan mereka semula, tetapi kini mereka telah mempunyai
lawan yang bukan sedikit dari kalangan umat islam.
Perlawanan ini
kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu
al-Hasan al-Asy’ari (932 M). Al-Asy’ari sendiri pada mulanya adalah mu’tazilah,
tetapi kemudian menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa
ajaran-ajaran Mu’tazilah diucap Nabi
Muhammad sebagai ajaran yang sesat, al-Asy’ari meninggalkan ajaran tiu dan
membentuk ajaran baru yang trerkenal dengan nama teologi al-Asy’ariah atau al-Asya’irah.
Disamping aliran Asy’ariah timbul
pula di Samarkand perlawanan menentang aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi.
Aliran ini dikenal dengan nama teologi al-Maturidiahyang mana tidak bersifat
setradisional al-Asy’ariah, akan tetapi tidak pula seliberal Mu’tazilah.
Selain Abu
al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi ada lagi seorang teolog dari
Mesir yang juga bermaksud menentang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Teolog itu bernama al-Tahawi
(933 M) yang mana ajaran-ajaran ini tidak menjelma sebagai aliran teologi
Islam. Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam islam
adalah aliran Khawarij, Murji’ah,
Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah.
Aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah
tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai
sekarang ialah aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan keduannya disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran
Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan
aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai
oleh umat Islam Sunni lainnya.
Dengan masuknya
kembali paham rasionalisme kedunia islam yang mana sekarang masuk melalui
kebudayaan modern. Banyak ajaran-ajaran Mu’tazilah
mulai timbul kembali, khususnya dikalangan kaum intelegensia islam yang
mendapat pendidikan Barat.[7]
Pengertian
Teologis
Teologi
merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan tetntang
hakekat ketuhanan. Tidak ada arti sederhana dan monolitik untuk mendefinisikan
kata teologi, karena teologi pada permulaannya merupakan suatu istilah bangsa
Sumeria, kemudian Yunani yang menyebutnya dengan theologia mengacu pada tuhan-tuhan atau Tuhan. Perkembangan
selanjutnya seiring menyebarnya Nasrani di daratan Eropa, khususnya agama
Kristen maka istilah teologi menjadi terkemuka dikalangan apologis Kristen.
Persemian teologi dalam agama Kristen walau tidak terdapat dalam perjanjian lama,
ditempuh untuk membumikan tradisi Kristen di dalam kebudayaan Romawi-Yunani.[8]
Dari segi
etimologi, teologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theologia yang terdiri dari kata
theos yang berati tuhan atau dewa, dan logos
yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan.[9] Dalam kamus bahasa
Indonesia, Teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan
dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan
dengan Tuhan.[10]
Dalam bahasa Arab, istilah teologi ini bisa
disebut dengan Ushuluddin, sedang
ajaran dasar agamanya disebut aqaid
atau aqidah, dan ada pula yang
menyebutnya dengan tauhid. Selain itu, dalam Islam ada juga yang menyebut
teologi sebagai Ilmu Al-kalam, dimana kalau kalam yang dimaksud itu adalah
firman Allah, maka itu berrati ilmu tentang Al-Qur’an, sedangkan kalau kalam
yang dimaksud adalah kata-kata manusia, itu berarti ilmu tentang “olah kata”
dalam mempertahankan pendapat atau pendirian. Karena memang pada dasarnya para
teolog itu apapun agamanya adalah orang yang pandai memainkan kata-kata atau
bersilat lidah. Itulah sebabnya seorang teolog dalam Islam disebut sebagai mutakallim, yaitu ahli debat yang mahir
dalam memainkan kata-kata.[11]
Menurut Amin Abdullah, teologi ialah suatu ilmu
yang membahas tentang kayakinan, yaitu sesuatu yang sangat fundamental dalm
kehidupan Bergama, yakni suatu ilmu pengetahuan yang paling otoritatif, dimana
semua hasil penelitian dan pemikiran harus sesuai dengan alur pemikiran
teologis, maka jika terjadi perselisihan, maka pan dangan keagamaan yang harus
dimenangkan.[12]
Sedangkan teologi Islam adalah ilmu yang secara
sistematis membicarakan tentang persoalana ketuhanan dan alam semesta menurut
perspektif islam yang harus diimani, dan hal-hal lain yang terkait dengan ajaran Islam yang harus
diamalkan guna mendapatkan keselamat hidup. Teologi Islam berbicara tentang
persoalan ketuhanan, maka dapat pula dipahami bahwa hal tersebut identik dengan
ilmu kalam terutama dalam dua aspek. Pertama,
berbicara tentang kepercayaan terhadap Tuhan dalam segala seginya, sebabai
contoh termasuk soal wujud-Nya, keesaan-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Kedua, bertalian dengan alam semesta,
yang berarti termasuk didalamnya persolan terjadinya alam, keaadilan dan
kebijaksanaan Tuhan, serta selainnya.[13]
Pendekatan
Teologis
Pendekatan teologis merupakan salah satu
pendekatan dalam studi islam yang cukup populer dikalangan umat Islam.
Pendekatan teologis ditejemahkan sebagai upaya memahami atau meneliti agama
dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan
bahwa wujud empiric dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar
dibandingkan dengan lainnya.[14] atau suatu pembahasan
materi tentang eksistensi Tuhan.[15]
Pendekatan ini juga bisa disebut sebagai
pendekatan atau metode tekstual atau pendekatan kitabi maka ia selalu
menampakan sifatnya yang apologis dan deduktif. Teologi sudah pasti mengacu
pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi
yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa
sebagai cirri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.[16]
Dalam pemahaman keagamaan, bahwa pendekatan
teologi ini bersifat partikularistik, dogmatis, fanatic, arogan, dan tidak
jarang terjadi klaim kebenaran (truth
claim). Pendekatan ini lebih menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol
keagamaan yang masing-masing mengklaim dirinyalah yang paling benar sedangkan
yang lainny adalah salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru,
sesat, kafir, murtad, dan seterusnya. Selain itu, pendekatan ini menggunakan
cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinannya yang
diyakini benar dan mujtlak adanya karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah
pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih dahulu, melainkan
dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan
argumentasi.[17]
Karena sifat dasarnya yang partikularistik maka
kita dapat menemukan teologi Islam, teologi Kristen Katolik, teologi Kristen
Protestan, dan seterusnya. Dalam intern umat beragama tertentu pun masih dapat
dijumpai berbagai faham atau sekte keagamaan. Dalam Islam, secara tradisional
dapat dijumpai teologi Mu’tazilah,
teologi Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
Sebelumnya terdapat pula teologi yang bernama khawarij, Qadariyah, Jabariyah, Sunni, Syi’ah, Salafiyah dan murji’ah.[18] Sedang dalam konteks kemodernan, Sayyed Hossein
Nashir menyebutkan empat tipologi pemikiran kegamaan yaitu, fundamentalis,
modernis, messianis, dan tradisionalis. Keempat tipologi pemikiran tersebut
tidak mudah untuk disatukan karena masing-masing mempunyai “teologi” yang
berbeda-beda.[19]
Akan tetapi bukan berarti kita tidak memerlukan
pendekatan teologi dalam memahami agama, karena tanpa pendekatan teologis,
keagamaan seseorang akan mudah cair dan tidak jelas identitas dan
pelembagaannya. Perbedaan dalam bentuk forma teologis yang terjadi di antara
berbagai mazhab dan aliran teologis keagamaan seharusnya tidak membawa mereka
saling bermusuhan dan menonjolkan segi-segi perbedaanya, sebaliknya dicarikan
titik persamaan untuk menuju pada ide besar Islam yaitru rahmatan lil ‘alamin.[20]
Pendekatan teologis erat kaitannya dengan
pendekatan normative, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi
ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat
penalaran pemikiran manusia. Pendekatan ini memandang agama sebagai suatu
kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan tampak
bersifat ideal. Misalnya, Islam secara normative pasti benar, menjunjung tinggi
jilai-nilai luhur, secara sosial menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti ukhuwwah, ta’awwun, tasammuh;
secara ekonomis Islam menawarkan konsep keadilan, kejujuran, konsistensi,
kepercayaan; secara saintek Islam memotivasi pemeluknya untuk menuntut ilmu
pengetahuan.[21]
Islam normative juga dapat diartikan Islam yang
berada oada dimensi sacral, yang diakui adanya realitas transcendental yang
bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu, atau sering disebut
sebagai realita ketuhanan. Dengan kata lain, Islam normative merupakan Islam
ideal atau Islam yang seharusnya. Bentuknya berupa aspek tekstual Islam, yaitu
aturan-aturan Islam secara normative yang termuat dalam Al-Qur’an dan Hadits
yang kebenarannya absolute dan tidak dapat dipersoalkan.[22]
Pendekatan teologis semata-mata tidak dapat
memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih-lebih
lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi pada dasarnya
tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan
sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi,
sosial, politik, dan pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah
mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Bercampur
aduknya doktrin teologi dengan historitas institusi sosial kemasyarakatan yang
menyertai dan mendukungnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi oleh umat
beragama. Dari situlah kemudian muncul terobosan untuk melihat pemikiran teologi
yang termanifestasikan dalam “budaya” tertentu secara lebih objektif melalui
pengamatan empirik-faktual pranata-pranata sosial kemasyarakatan yang mendukung
keberadaanya.[23]
Agama sebagai objek penelitian mempunyai dua
aspek, yaitu aspek historisitas dan aspek normatif. Aspek historis menjadi
obkel penelitian sejarah agama, dan fenomenologi historis. Sedangkan aspek
normative muncul sebagai kekuatan batin yang memberikan pengakuan akan
kebenaran untuk mengatur kehidupan individu dan kehidupan sosial. Aspek
normative tersebut merupakan tugas teologi. Pendekatan semacam ini adalah
normative dan subjektif terhadap agama tertentu dalam usaha untuk menyelidiki
agam lain. Oleh sebab itu, ia selalu bersifat apologis. Yakni menyerang
keyakinan agama lain untuk memperkokoh agama penganutnya.[24]
Pendekatan teologis terhadap suatu agama pada
umumnya berpijak pada tiga fungsi: menjelaskan dasar-dasar dan klaim-klaim
suatu agama; membuktikan kebenaran dasar-dasar dan klaim-klaim tersebut; dan
terakhir mempertahankannya dari segenap keraguan, keberatan, dan serangan dari
pihak-pihak luar agama. Ciri utama pendekatan teologis adalah polemic dan
apologetic, dengan menggunakan metode rasional, dialektik maupun tekstual.[25]
Pendekatan teologis ini erat kaitannya dengan
pendekatan normative, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi
ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang terkandung dalam nash
(tekstualis) yang didalamnya belum terdapat penalaran manusia. Pendekatan
normative tekstualis dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif.
Pendekatan normative tekstualis sebagaimana telah disebutkan di atas telah
menunjukan adanya kekurangan seperti eksklusif dogmatis yang berarti tidak mau
mengakui adanya paham golongan lain bahkan agama lain dan sebagainya.[26] Sedangkan kelebihan dari
pendekatan teologis normative ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam
beragama sehingga berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang
benar tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya. dengan pendekatan yang
demikian seseorang akan memiliki sikap fanatic terhadap agama yang dianutnya.[27]
Dari pendekatan normative secara umum ada dua
teori yang dapat dipergunakan. Teori yang pertama adalah hal-hal yang bertujuan
untuk mengetahui kebenaran serta dapat dibuktikan secara empiric dan
eksperimental. Teori yang kedua adalah hal-hal yang sulit dibuktikan secara empiric
dan eksperimental. Untuk hal-hal yang dapat dibuktikan dengan empirik biasanya
disebut masalah yang berhubungan dengan ra’yu
(penalaran). Sedang masalah-masalah yang tidak berhubungan dengan empiric
(gaib) biasanya diusahakan pembuktiannya dengan mendahulukan dengan
kepercayaan.[28]
Penomena keagamaan yang menarik untuk diteliti
dengan menggunakan pendekatan teologis normative, misalnya:
1) Melacak teologi yang dianut Ahmadiyah terkait dengan ajaran dan
keyakinannya.
2) Organisasai Jemaah Tabligh terkait dengan aktifitas dakwahnya;
3) Komunitas muslim Gulamas dan welado terkait dengan etos dagangnya;
4) Komunitas Muslim Bugis, Makasara, Betawi, dan Bima tentang keinginan kuat
mereka untuk naik haji;
5) Sekte Kristen Davidian pimpinan David Coresh bersama 80 orang pengikutnya
melakukan bunuh diri missal pada Apri 1993;
6) Sekte Shinto Aum Shinrikyu yang melakukan pembunuhan dengan menebarkan gas
beracun di Jepang;
7) Sekte Hari Kiamat Kristen yang ingin menjemput kedatangan Hari Kiamat pada
tanggal 9 bulan 9 tahun 1999 jam 9 menit ke-9 detik ke-9;
8) Sekte Pondok Nabi di Bogor Jawa Barat;
9) Seorang Ibu yang terkenal fanatic bunuh diri setelah membunuh 4 anaknya
dengan cara minum racun yang diracik dalam bentuk pil di Malang Jatim dan
sebelumnya menulisn pesan lewat surat dan mengabadikan prosesi pembunuhan itu
melalui handphone.[29]
Keyakinan akan teologi yang dianut dapat
melahirkan sebagian sifat yeng terkesan negative, tetapi keyakinan teologis ini
memberikan corak khas kepada agama karena sifat militansinya yang begitu
tinggi.
Solusi atas masalah ini adalah munculnya wacana
teologi masa kritis, yaitu usaha manusia untuk memahami penghayatan iman atau
agamanya; suatu penafsiran atas sumber-sumber asli dan tradisinya dalam konteks
permasalahan masa kini; atau teologi yang bergerak diantara dua kutub, yaitu
teks dan konteks (situasi), masa lampau dan masa kini. Sifat kritis merupak
cirri dari teologi ini. Kritiknya pertama-tama ditujukan kepada agamanya
sebagai sebuah institusi sosial, lalu kepada situasi yang dihadapinya. Teologi
ini tidak hanya berhenti pada pemahaman mengenai ajaran agama, tetapi mendorong
terjadinya transormasi sosial, sehingga ini bisa disebut sebagai teologi
kepedulian sosial atau teologi transformative.[30]
Macam-macam Pendekatan
Teologis
Terdapat tiga (3) teologi jika dilihat dari pluralism
beragama:
1.
Pendekatan teologis
Normatif
Pendekatan
teologis normatif dalam memahami agama, ialah upaya memahami agama dengan
menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa
wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar bila
dibandingkan dengan yang lainnya. Model pendekatan ini, oleh Muh. Natsir Mahmud,
disebut sebagai pendekatan teologis-apologis. Sebab cenderung mengklaim diri
sebagai yang paling benar, dan memandang yang berada di luar dirinya sebagai
sesuatu yang salah, atau minimal keliru. Menurut Amin Abdullah, teologi tidak
bisa tidak, pasti mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok
sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang
bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah
merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.[31]
2. Pendekatan Teologis–Dialogis
Pendekatan
teologis dialogis ialah mengkaji agama tertentu dengan mempergunakan perspektif
agama lain. Model pendekatan ini, banyak digunakan oleh orientalis dalam
mengkaji Islam, dan sebagai upaya untuk saling mengubah pandangan antar
penganut agama dan saling terbuka dalam belajar satu sama lain, serta bermaksud
menghilangkan sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama yang lain
serta menghilangkan ajaran yang bersifar apologis dari masing-masing agama.[32]
3. Pendekatan Teologis-Konvergensi
pendekatan
teologi konvergensi adalah merupakan metode pendekatan terhadap agama dengan
melihat unsur-unsur persamaan dari masing-masing agama atau aliran. Maksudnya
dari pendekatan ini ialah ingin mempersatukan unsur-unsur esensial dalam
agama-agama, sehingga tidak nampak perbedaan yang esensial. Dalam kondisi
demikian, agama dan penganutnya dapat disatukan dalam satu konsep teologi
universal dan umatnya disatukan sebagai satu umat beragama.
Dari ketiga metode pendekatan
teologis tersebut di atas, maka yang paling akurat dipergunakan menurut analisa
penulis adalah pendekatan teologis konvergensi, di mana pendekatan ini telah
tercakup di dalamnya nilai-nilai normatif dan dialogis. Lain halnya hanya dengan
menggunakan metode pendekatan normatif atau dialogis saja, belum tentu terdapat
unsur konvergensi di dalamnya.[33]
Tokoh
Penting Pendekatan Teologis dan Karyanya
Peneliti pemula:
1.
Abu
Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidy al-Samarqandy karyanya “Kitab al-Tauhid”.
2.
Al-imam
Abi al-Hasan bin Isma’il al-Asy’ari, karyanya “Maqalat al-islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin”.
3.
‘Abd
al-Jabar bin Ahmad, karyanya “Syarh
al-Ushul al-Khamsah”.
4.
Thahawiyah karyanya “Syarh al-Aqidah al-Thahawiyah”.
5.
Al-Ghazali karyanya “al-iqtishad fi al-I’tiqad”.
6.
Al-
Amidy karyanya “Ghayah al-Maram fi Ilmu
Kalam”.
7.
Dll.
Penelitian lanjutan:
1.
Muhammad
Abu Zahra karyanya “Tarikh al-Mazahib
al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-‘Aqaid”.
2.
Mushtafa Ali al-Ghurabi
karyanya “Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa
Nasy’atu ilmu al-kalam ‘ind al-Muslimin”.
3.
Ahmad Mahmud Shubhi
karyanya “fi Ilmi Kalam”.
4.
Harun Nasution karyanya “Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan”.
Kesimpulan
·
Teologi
merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan tentang
hakekat ketuhanan. Tidak ada arti sederhana dan monolitik untuk mendefinisikan
kata teologi, karena teologi telah ada sejak bangsa Sumeria yang mulai menjadi
perkataan dalam istilah Yunani yaitu theologia
dan istilah ini mengacu pada tuhan-tuhan atau Tuhan.
·
Munculnya
teologi islam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin
Affan yang berbuntut pada penolakan
Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dan persoalan kalam yang pertama
kali muncul ialah siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir.
·
Pendekatan teologis sebagai
upaya memahami atau meneliti agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan
yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiric dari suatu keagamaan
dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya, atau suatu
pembahasan materi tentang eksistensi Tuhan. Pendekatan ini bersifat
partikularistik, dogmatis, fanatic, arogan, dan tidak jarang terjadi klaim
kebenaran (truth claim). Pendekatan
ini lebih menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang
masing-masing mengklaim dirinyalah yang paling benar sedangkan yang lainny
adalah salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir,
murtad, dan seterusnya. Selain itu, pendekatan ini menggunakan cara berfikir
deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinannya yang diyakini
benar dan mujtlak adanya karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti
benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai
dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
·
Dilihat
dari pluralism beragama, pendekatan teologis terbagi 3 (tiga) macam: Pendekatan teologis
Normatif, pendekatan teologis dialogis, dan Pendekatan teologis konvergensi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Amin, 2011, Studi Agama: Normativitas
atau Historitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Abdullah,
Taufik (ed), 1987, Sejarah dan Masyrakat,
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ahmad,
Jumal, Resume Buku Approaches to the
Study of Religion (Aneka Pendekatan Studi Agama) oleh Peter Conolly (ed),
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Resume, 2018.
Batubara,
Chuzaimah, 2018, Handbook Metodologi
Studi Islam, Jakarta: Prenadamedia Group.
Daradjat,
Zakiah, 1987, Ilmu Jiwa Agama, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang.
Daradjat,
Zakiah, dkk., 1996, Perbandingan Agama,
Jakarta: Bumi Aksara.
Dusa,
Bakri, 2001, Tauhid dan Ilmu Kalam. Padang: IAIN IBP Press.
Manaf,
Mujtahid Abdul, 2012, Ilmu Perbandingan
Agama, Cet. Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mudzhar,
Atho, 2002, Pendekatan Studi Islam
dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mustafa,
Muhtadin Dg, Reorientasi Teologi Islam
dalam Konteks Pluralisme Beragama. www.jurnalhunafa.org.article.viewFile,
diakses 2 November 2017
Nasution,
Harun, 1986, Teologi Islam: Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan. Cet. V,
Jakarta: UI Press..
Nata,
Abuddin, 2007, Metodologi Studi Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002,
Kamus Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka.
Sastrapratedja,
M., 1991, Agama dan Kepedulian Sosial, dalam
Soetjipto Wirosardjono, Agama
dan Pluralitas Bangsa, Cet 1, Jakarta: P3M.
Shabir,
Muslich r, 2015, Pengantar Studi Islam.
Cet. 1, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya.
Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat
Bahasa.
Yusuf,
Moh, 2017, Pendekatan Teologis atas Ayat
Khuruj sebagai Sandaran Dakwah Khuruj Fi Sabilillah Jemaah Khuruj, Jurnal
Dialogia Vol. 15 No. 1, Juni.
ZA,
Tabrani, 2015, Arah Baru Metodologi Islam, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
[2] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan
Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 13-14
[5]
Chuzaimah Batubara, Handbook Metodologi Studi Islam,
Jakarta: Prenadamedia Group, 2018, hlm. 138.
[7] Ibid, hlm. 10.
[8] Moh. Yusuf, Pendekatan Teologis atas Ayat Khuruj sebagai Sandaran Dakwah Khuruj Fi Sabilillah Jemaah Khuruj, Jurnal
Dialogia Vol. 15 No. 1, Juni 2017.
[9] Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 1177.
[11] Chuzaimah Batubara, Handbook Metodologi Studi Islam,
Jakarta: Prenadamedia Group, 2018, hlm. 135.
[12] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historitas?,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 10.
[13] Chuzaimah Batubara, Handbook Metodologi Studi Islam,
Jakarta: Prenadamedia Group, 2018, hlm. 136.
[15] Jumal Ahmad, Resume Buku Approaches to the Study of Religion (Aneka Pendekatan
Studi Agama) oleh Peter Conolly (ed), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Resume, 2018, hlm. 13.
[18] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan. Cet. V, Jakarta: UI
Press, 1986, hlm. 32.
[22] Chuzaimah Batubara, Handbook Metodologi Studi Islam,
Jakarta: Prenadamedia Group, 2018, hlm. 162.
[23] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historitas?,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 30-31.
[24] Mujtahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama, Cet. Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 29.
[30] M. Sastrapratedja, Agama dan Kepedulian Sosial, dalam
Soetjipto Wirosardjono, Agama dan Pluralitas
Bangsa, Cet 1, Jakarta: P3M, 1991, hlm. 83.
[33] Muhtadin Dg. Mustafa, Reorientasi Teologi Islam dalam Konteks
Pluralisme Beragama. www.jurnalhunafa.org.article.viewFile,
diakses 2 November 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar